Pada awalnya, aku hanya tahu beberapa hal.
Pertama, aku adalah 668. Kedua, ruang putih raksasa penuh mainan ini adalah 'rumah'. Ketiga, anak-anak dengan pakaian putih dan gelang label di tangan sepertiku ini adalah 'teman'
Sementara para pria dan wanita berpakaian serba putih dan terlihat sangat tinggi dan selalu mengawasi kami dari balik kaca itu adalah 'keluarga'.
Di dalam rumah, aku ditempatkan di rumah anak baik: anak-anak yang dapat berbicara dan dapat tersenyum. Di sebelah rumahku, terdapat rumah yang selalu saja ribut setiap hari. Rumah itu adalah anak nakal.
Keluarga kami tidak senang dengan para anak nakal. Wajah mereka selalu kehilangan senyum setiap kali menyinggung soal mereka. Keluarga kami tidak ingin kami jadi anak nakal, karena itulah mereka ingin kami selalu menuruti keinginan mereka, termasuk ketika disuruh berlomba berbagai macam hal, mulai dari lomba lari, hingga lomba saling menjatuhkan di arena yang dibatasi tali beraneka warna seperti pelangi.
Aku selalu berusaha keras menjadi anak baik. Aku tidak mau dipindahkan ke rumah anak nakal karena seringkali di malam hari keluar darah dari dinding. Keluarga kami bilang, darah di dinding itu berasal dari anak nakal yang berulah.
Tapi ... walaupun menjadi anak baik, aku tetap saja berbeda.
Anak gagal, begitulah mereka sering memanggilku.
Awalnya aku tidak mengerti, tapi kemudian aku menduga, mereka memanggilku begitu karena aku sering sekali kesulitan bernapas dan terjatuh tiba-tiba.
Asma, begitulah mereka menyebut penyakitku. Aku tidak begitu mengerti, tapi sepengetahuanku, tidak ada anak lain yang pingsan ataupun asma sepertiku.
Hanya aku yang berbeda.
Aku sering terjatuh di arena dan hampir tidak pernah bisa bangun lagi setelah jatuh dan berdarah. Hampir setiap hari, napasku sesak. Hampir setiap hari, aku selalu terbangun di ranjang ruang perawatan dengan satu anggota keluarga mengawasiku semalaman.
Ada yang salah denganku, mereka bilang begitu, tapi aku tak tahu apa. Mereka tida mau bercerita. Yang aku tahu, setiap kali terbangun, selang-selang aneh ditancapkan ke tubuhku dan tabung aneh selalu ada di samping ranjang.
Meski begitu, aku tidak pernah mau kalah. Aku tidak mau jadi anak nakal dan disuruh bertengkar dengan anak-anak nakal. Aku tidak mau membuat keluargaku kecewa.
Hingga hari itu datang.
***
Hari itu, keluarga kami bilang, anak-anak nakal sudah berulah. Keluarga kami meminta kami, anak baik, menghukum mereka.
Saat itu adalah kali pertama aku melihat banyak sekali darah.
Anak baik dan anak nakal bertengkar di satu rumah yang sama. Para anak baik dan anak nakal yang kalah pada akhirnya seperti boneka, tercerai berai dan tergeletak di tanah dengan mata kosong. Sementara keadaan kacau balau dan berubah menakutkan, aku hanya bisa berlari, menghindar, dan bersembunyi dalam ketakutan sambil berharap semua ini berakhir.
Aku tidak tahu apa-apa. Kenapa anak nakal itu berulah? Kenapa mereka nakal? Kenapa kami?
Secara paksa, aku diberitahu betapa menakutkannya anak-anak nakal. Untuk pertama kalinya, aku tidak mau tertawa. Untuk pertama kalinya juga aku tidak mau bermain, karena kedua hal itu adalah hal yang biasa dilakukan oleh anak-anak nakal. Aku bahkan takut menelan ludah dan membuka mulut karena para anak nakal selalu mengeluarkan ludah dari mulut mereka yang selalu terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Destiny
Vampire[ARUNA SERIES #3] [Young Adult Fiction! Rated for Detailed Violence!] Aruna kini diburu untuk dimusnahkan. Mereka menjadi mangsa bagi predator baru yang lebih ganas dan tidak memiliki akal maupun hati nurani yang diciptakan oleh Yusriza Ganen...