7. Ini Baru Dimulai

1.1K 167 39
                                    

Kak Radit benar-benar menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir.

Semuanya terasa cocok. Setiap keping dan setiap kenangannya terasa pas dengan secuil informasi yang tersisa dalam kepalaku setelah amnesia dadakan menjengkelkan ini.

Sebagian besar hal yang terjadi di sekelilingku, jadi masuk akal sekarang.

Benang merah yang selama ini disembunyikan kak Yuda sampai ke liang lahat, akhirnya ditarik kembali dan digelar sejelas-jelasnya sampai tidak ada lagi misteri tersisa. Apa yang terjadi malam itu, apa yang terjadi sebelumnya, mulai dari lepasnya agatya di fasilitas laboratorium yang menampungku dan anak-anak hasil eksperimen yang lain, lalu munculnya kak Yuda di sana, tindakan kak Yuda yang membunuh semua staff dan membakar fasilitas itu seorang diri, semuanya jelas sekali maksud dan motif di baliknya.

Jika dicocokkan dengan semua kenyataan yang sudah aku ingat, dari semua kronologis rumit itu, ada satu hal yang pasti.

Kak Yuda sengaja mengamankanku dari mata semua orang.

Dengan tangan sendiri, dia membunuh semua orang yang ikut menyaksikan kekuatanku selain dirinya. Dia menyembunyikanku dengan membawaku ke rumah Caiden.

Lalu di malam ujian itu, tahap akhir rencananya berjalan dengan membawa kak Radit ikut serta.

Sekeping ingatan masuk lagi ke dalam kepalaku, ingatan akan wajah kak Yuda dalam rekaman yang menyampaikan beberapa pesan yang baru sekarang kuingat.

"Aku juga peduli padamu, sungguh, meski kita tidak terikat hubungan darah, kamu keluargaku. Kamu satu-satunya yang bisa kuanggap sebagai adikku... dan bersamamu, aku merasa menjadi manusia, bukannya senjata."

"Terima kasih, Yureka...."

Kami berdua memang pernah ke Taraksa, beberapa saat sebelum kak Yuda membawaku ke sel tempat kak Radit berada di hari pertama kami berkunjung ke Taraksa. Diam-diam, kami mengunjungi lapisan bawah tanah Taraksa lebih dalam dari seharusnya. Perjalanan kami berlangsung mudah tanpa ada petugas yang bertanya.

"Aku nggak suka ada yang utak-atik sistem keamanan selain aku. Tapi kamu pengecualian, Eka, karena kamu adalah passwordnya."

Di ruang rahasia itu, kak Yuda lantas membocorkan kata kunci untuk membuka sistem keamanan Taraksa. Saat itu aku senang bukan main, senang tanpa pernah tahu makna sebenarnya di balik kunjungan itu.

"Karena aku percaya, kamu bisa melakukannya."

Setetes air mata jatuh di pipiku.

"Eka?"

Aku buru-buru menghapus jejak air mata itu. Selain karena terganggu dengan nada khawatir yang terdengar dari suara kak Radit, aku juga merasa tangisan tidak akan banyak berguna sekarang.

"Nggak apa-apa. Ini bukan air mata dari gue yang sekarang kok." Aku menghela napas sebelum menatap kembali kak Radit. "Terus? Ada lagi yang mau diceritain?"

Kak Radit terdiam sejenak. "Aku rasa apa yang terjadi setelah malam ujian, itu kamu masih ingat apa yang terjadi kan?"

Aku mengangguk.

Tentu saja aku ingat. Aku bertingkah seperti anak kecil yang sudah kehilangan segalanya saat itu, tak peduli pada hidup ataupun mati, jahat maupun baik, gagal ataupun berhasil.

"Lo pengkhianat." Malam itu, di atap satu gedung yang tidak kukenal di dalam kota, aku mengucapkan kalimat yang demikian kejam itu kepada kak Radit.

"Nggak ada kata lain yang lebih pas buat lo dan itu emang faktanya. Tapi dasar gue yang tolol, nggak pernah sehari pun gue benci lo. Gue cuma benci sama diri gue sendiri, benci sama gue yang nggak mampu bunuh lo di hari pertama kita ketemu, benci sama diri gue yang terlalu percaya sama lo, dan juga... benci sama diri gue yang dengan naifnya berharap ada satu orang yang liat gue bukan sebagai alat."

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang