Kedua tanganku yang bebas beristirahat dengan tenang di sisi kanan dan kiri, menyadari dengan tidak nyaman, udara kosong mengisi kedua sisi pinggangku.
"Jadi...." Aku memulai pembicaraan karen sepertinya patung batu satu itu tidak berniat memulainya. "Apa saya udah mati dan Anda malaikat maut atau saya lagi sial karena masih hidup ketemu Anda?"
Tidak ada jawaban. Yusriza hanya menatapku dalam diam dengan sorot mata tenang. Masih tanpa emosi.
Memang ada kemungkinan dia tiruan seperti yang pernah kuhadapi di rumah Ratna. Tidak ada nafsu membunuh di udara dan dia tidak tampak mengancam. Radar bahayaku tidak berbunyi sama sekali. Tapi jika yang ini asli, aku tidak bisa menurunkan kewaspadaan.
"Kapan terakhir kali kita ketemu, Nomor 668?"
Satu urat di kepalaku rasanya baru saja pecah. Setelah sikap diamnya yang agak-ak menjengkelkan, itu kalimat pertamanya? Sungguh? Apa dia bisa lebih menjengkelkan lagi dari ini?
"Jangan habisin waktu dengan basa-basi nggak guna," balasku tak minat, ikut-ikutan memasang sikap santai dengan ongkang-ongkang kaki di depannya. "Anda nggak mungkin lupa."
Atmosfer di antara kami masih seintens garis depan pertempuran, tapi jika hanya aku yang terus menerus memasang sikap waspada yang berlebihan, akulah yang akan dirugikan karena sudah lelah secara mental lebih dulu. Karena biar bagaimanapun, bajingan ini punya ketahanan mental jauh di atasku.
"Kenapa menurutmu aku mustahil lupa?" tanyanya dengan suara bosan, seakan hal pernyataanku adalah hal jelas yang tidak perlu lagi ditegaskan.
"Entah ... mungkin karena saya pikir keterlaluan kalau Anda lupa hal yang seharusnya gampang. Anda pakai saya buat pernyataan perang ke Gilang soalnya," Kutatap sepasang mata gelap itu lekat-lekat, meski tak menyingkirkan kesan santai dari sikap dan cara bicaraku. "Kalaupun Anda lupa, itu artinya saya yang salah sangka. Yah, saya bisa apa? Anda emang dari dulu susah ditebak."
Yusriza sedikit membungkuk, lalu menautkan jari jemarinya di depan wajah. Sorot matanya bertambah dingin.
"Kamu terlalu banyak bicara untuk satu unit mesin pembunuh."
"Karena saya bukan mesin."
"Karena itulah kamu sudah gagal dari awal," Yusriza menegaskan. "Dan sebuah sikap yang luar biasa kurang ajar untuk membangkang orang yang sudah memberimu naungan di Komite ketika kamu dalam fase tolol itu kan?"
"Udah saya bilang, saya nggak pernah bisa nebak Anda." Aku menumpukan satu tangan dan menekuk satu kaki, menahan nyeri yang menyengat saat menggerakkan keduanya. Sialan. "Waktu saya nggak ingat apa-apa dan dengan tololnya mulai pertengkaran dengan pak Darius, Anda terima saya begitu aja ketika saya minta masuk ke Komite pusat. Anda bahkan nggak memperlakukan saya sama seperti yang lain—walau pada akhirnya kita semua tau untuk apa semua itu."
Untuk membodohiku, pada akhirnya. Dia menempatkanku tanpa pikir dua kali di arena pertarungan yang dapat mencabut nyawaku, mendiskriminasikanku di dalam Komite dengan semua pintu masuk rahasia itu sambil tetap memanfaatkanku, dan semua itu untuk apa?
Untuk melihat keberpihakanku, apakah berpindah kepada Nara ataukah tetap pada Komite.
Dan ketika ia tahu, segala yang telah ia kerahkan ternyata tidak bisa membuatku berpihak padanya, ia mencoba menghapusku.
Pikiran yang singkat, kekanak-kanakan, gila, tapi juga efisien.
"Sampah." Sekali lagi urat di kepalaku berkedut. Itu memang hanya satu kata, tapi aku tidak setolol itu untuk mengira satu kata itu hanya sekadar kata dan bukan hnaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Destiny
Vampire[ARUNA SERIES #3] [Young Adult Fiction! Rated for Detailed Violence!] Aruna kini diburu untuk dimusnahkan. Mereka menjadi mangsa bagi predator baru yang lebih ganas dan tidak memiliki akal maupun hati nurani yang diciptakan oleh Yusriza Ganen...