40. Sepihak

1.2K 182 105
                                    


Basis Aruna, kota Jakarta

Fei pernah memberitahuku di sebuah masa silam yang telah lama berlalu, bahwa tidak ada orang yang bisa menyentuh kenangan perihal Chandra maupun Surya. Itu adalah teritori siapapun tiada yang bisa memasuki. Sebuah teritori yang dijaga Nara untuk dirinya sendiri. Segala hal tentang mereka berdua bersifat terlalu pribadi dan selalu ditutup Nara rapat-rapat, seakan dirinya tidak rela membagikan kenangan tentang mereka berdua kepada orang lain.

Namun kini, salah satu aruna terkuat yang jadi majikanku ini, menceritakan semuanya tanpa pernah menahan diri. Ia menceritakan dengan detail tanpa banyak kalimat cengeng yang membuat jengah, mulai dari bagaimana ia bertemu dua bersaudara itu, bagaimana ia terikat kepada mereka untuk lebih dari satu hal, bagaimana ia kemudian membunuh Surya tanpa sadar, dan bagaimana ia kehilangan Chandra tanpa bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya.

Tidak berlebihan jika Nara tidak ingin siapapun mendengar kisah ini. Kisahnya terlalu pribadi dan terasa sangat ... intim, kental akan kehilangan, dan kenangan. Memalukan jika sampai benar akulah orang pertama yang mendengar semua ini.

Ah, aku tidak ingin mendengarnya lagi. Tidak sedetail ini.

Sialan, rasa sakit di perutku benar-benar tidak bisa ditahan! Kenapa tiba-tiba sakit begini? Apa aku lapar? Tidak, aku tidak lapar, tidak pula mual. Dan aku tidak ingat punya luka di sebelah sini.

Munafik. Kamu cemburu dan kamu tahu itu.

Aku menahan diri dari menjambaki rambut sendiri. Suara hati sialan!

Terus fokus mendengarkan Nara. Ia sedang bercerita bagaimana dirinya membunuh Mirja dan para anggota Dewan enam bulan setelah eksekusi publik itu dilakukan dan Chandra dimakamkan. Ada banyak darah, pembantaian, pemenggalan, mutilasi, dan penghinaan derajat, itu seharusnya bisa jadi penghiburan.

Tapi memang dasar pikiran sialku tidak mau mendengarkan, tidak ada satu pun bagian dari cerita itu yang benar-benar masuk dan kupahami dengan baik.

Pembantaian yang seharusnya terdengar menyegarkan malah tidak bisa dipahami sama sekali. Yang aku dengar hanya kata 'mati' berulang kali, dalam beberapa kesempatan. Sisanya, segala kata yang terlontar dari mulut itu masuk ke dalam telingaku, tapi selayaknya membentur kaleng logam kosong, tidak ada satu pun yang bisa kumengerti.

Anehnya, aku merasa itu sudah cukup. Tidak ada desakan untuk mengulangi kisah itu yang muncul dalam kepalaku.

Aku merasa cukup dengan cerita ini tanpa ia harus mengulangi atau memperjelasnya lagi.

"Dinding dan lantai dipenuhi darah sampai aku sulit mencari pegangan yang pas tanpa tergelincir dengan sepatu atau mencakar tembok sampai merusaknya, jadi aku meneruskannya dengan bertelanjang kaki." Nara bercerita dengan tempo yang kurasa semakin lambat. Apa dia merasa kalau aku mulai tidak mendengarkan? "Fei mendengarkan nasihatku dan tidak ada di tempat. Aku membunuh semua yang aku temui, tidak peduli pesuruh rendahan ataupun petinggi."

Semua itu demi Chandra, pikiran sialku berkomentar diam-diam.

"Mirja terpojok. Semua orang yang mendukungnya telah tumbang sementara aku masih berdiri," lanjutnya, tentu saja tidak mendengar suara hatiku keparatku itu. "Dia berusaha melawan sekuat tenag seperti binatang yang terpojok. Tapi serangannya jadi membabi buta dan mudah terbaca. Aku berhasil membuatnya tak berkutik."

Semua itu ia lakukan untuk Chandra.

"Dia memohon padaku untuk tidak membunuhnya, berkata bahwa kami teman dan waktu yang kami lalui bersama terlalu lama dan terlalu berharga untuk dihancurkan hanya oleh satu orang perempuan manusia yang bahkan umurnya belum satu abad," Nara tertawa mengejek dan menggumamkan soal arti umur yang mungkin tidak akan berpengaruh pada Mirja. "Aku mendegarkannya. Lalu memotong tangannya. Lalu aku mendengarkan lagi. Lalu aku memotong kakinya. Terus kuulangi hal itu sambil melihat Mirja merayap di lantai seperti ulat, memohon belas kasihan kepada siapapun yang masih hidup. Kubiarkan darah itu mengalir, pulih, lalu mengalir lagi, terus menerus mengulanginya sampai permohonan berhenti keluar dari mulut Mirja, berganti kemarahan sekali lagi."

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang