9. Perjalanan

974 169 20
                                    

"Kamu benar-benar tolol!" Kak Radit memaki keras-keras, tidak lagi peduli itu akan mengumumkan keberadaan kami ke para agatya sekalipun. "Pernyataan perang? Di saat kamu bahkan tidak bisa mengingat wajah majikan dan pembunuhmu? Apa yang ada di otakmu, Eka?!"

"Bermacam hal." Dia kira dirinya pusing? Dia kira aku yang harus mengais-ngais ingatan ini tidak kalah pusing? "Emangnya pernyataan perang itu salah?"

"Umumnya keputusan perang akan diambil sebagai jalan terakhir," Albert menimpali, tidak terlihat begitu mendukungku. "Bukannya jalan pertama seperti yang lo lakukan tadi."

Sial, kalau kupikirkan, pemuda ini ada benarnya juga!

Perang memang adalah keputusan terakhir bagi semua orang. Jika tidak ada lagi jalan damai terbuka, kontak senjatalah satu-satunya keputusan, kecuali jika aku pihak oportunis, alias orang yang hidup dari konflik. Bodohnya, aku justru menjadikan pernyataan perang seringan perang bantal di pesta piyama dan bukannya perang yang melibatkan darah dan nyawa.

Arrgh, baiklah, aku memang bodoh!

"Dan lo masih marah karena gue biarin pria itu kabur, Kak?"

"Itu hanya alasan kecilnya! Kamu ini benar-benar tidak melihat lebih luas atau apa? Membiarkan pria itu kabur dan memberitahu Yusriza bisa saja jadi pengumuman hukuman mati buatmu!" omel kak Yuda panjang lebar. "Bagaimana kalau kamu mati lagi dan...."

Kakakku tidak sanggup lagi bicara dan hanya mengacak-acak rambutnya persis orang stress. Aku memegang pundaknya, berusaha menenangkannya, dan mendapati kak Radit tidak menepis sentuhanku.

Sambil mengalihkan pandang ke luar jendela, menatap ke pemandangan yang berlalu pergi di sekeliling kami dengan cepat, aku menarik tangan dari pundak kak Radit.

"Tadi dia bilang sang raja akan terbunuh." Hutan di sekeliling kami melintas dengan cepat tanpa adanya cahaya. "Anggi juga secara nggak langsung mengiyakan kalau yang waktu itu bunuh gue adalah Yusriza."

Urat di pelipisku berkedut mengingat kata-kata itu.

"Gue emang belum ingat, tapi cukup dengan fakta itu ada, gue udah tau nggak bisa biarin Yusriza begitu aja," imbuhku.

"Pernyataan Anggi tadi pun belum tentu benar. Dia bisa berbohong." Albert menyangkal.

"Atau mengecohmu," kak Radit menimpali, sekali lagi tidak berada di pihak yang mendukungku.

Aku bersedekap, merapatkan tudung jaket.

Albert mendesah di kursi depan. "Kelihatannya tujuanmu sudah jelas sekarang ya?"

Aku diam, tidak mengiyakan, tidak juga menyangkal.

"Lo memutuskan untuk ngelawan Yusriza atas nama balas dendam?" Albert menatapku dari spion tengah, mendadak informal kembali. "Atas dendam yang bahkan lo sendiri nggak bisa ingat?"

"Anggap aja, bunuh Yusriza itu sesuatu yang diperlukan buat menghentikan konflik ini." Baik Albert maupun kak Radit terdiam, tidak setuju, pun tidak menyangkal. "Membunuhnya dan ... mungkin beberapa hal lain."

Kepuasan yang tampak dari mata mereka berdua membuatku bisa lega untuk saat ini. Dua pasang mata agatya tampak di balik bayang-bayang hutan. Bergerak mengikuti mobil kami. Pedangku siaga.

"Elis," Aku menatap Albert lewat spion tengah. "Lo tau nama itu, Bert?"

"Dia perempuan yang sering bareng sama lo dan Anggi sejak lo dipromosiin ke ranking S." Wow, aku dipromosikan ke ranking S? Sepertinya Albert lupa memberitahukan soal ini. "Ada apa sama dia?"

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang