47. Emosi yang Tersimpan

913 146 187
                                    


[Unedited Chapter}

-

Hutan Perbatasan Jawa Barat

Rasa sakit yang menghunjam tubuhku hampir tidak bisa lagi ditahan ketika kami akhirnya tiba di pos checkpoint jalur darat untuk masuk ke propinsi Jawa Barat. Seperti pos checkpoint lain, pos checkpoint yang ini pun telah hancur dan ditinggalkan.

Mesin-mesin detektor PL dibiarkan teronggok dalam kondisi rusak parah di pintu masuk. Kemudian, seperti kata pak Darius, terdapat satu sungai lebar beraliran deras tidak jauh dari pos checkpoint .

Aku meneliti pakaian sendiri, menyadari bentuknya yang sudah tidak keruan dan berbau menyengat. Aku harus benar-benar mengganti baju sebelum bau ini membuat penyergapan apa pun yang mungkin akan kulakukan nanti gagal.

Mengikuti kedua orang di depan, aku pun masuk pertama kali ke dalam meja depan pemeriksaan. Nara mengikuti tanpa suara di belakang. Sebuah pintu kecil di lorong yang luput dari perhatian meja depan menarik perhatianku. Aroma busuk yang kuat menguar dari sana. Tanpa meminta izin, aku pun masuk ke lorong pendek itu, membiarkan dua orang laki-laki di depan mencari sesuka hati mereka.

Pintu itu tidak lagi dikunci. Pedang di pinggangku siap untuk ditarik kapan pun. Perlahan, langkah kakiku masuk tanpa suara ke dalam ruangan itu. Berat di perutku terasa anjlok melihat banyaknya percikan darah dan sisa-sisa dari beberapa manusia di dalam ruangan itu, pertanda pernah ada pembantaian yang terjadi dalam ruangan ini. Pandanganku beralih dari pemandangan menyedihkan itu menuju delapan deret loker karyawan yang masih berdiri cukup layak meski pintu beberapa pintunya menggantung dan lepas dari engsel.

Aku melongok ke dalam loker, melihat satu jaket masih tergantung, satu kaus merah yang berantakan, dan satu sepatu tipis berwarna putih tergeletak di dalamnya.

Kelihatannya siapapun pemilik loker ini pergi dengan terburu-buru.

"Maaf saya ambil." Aku buru-buru mengambil jaket dan kaus yang tampak kebesaran dua ukuran itu, serta tak lupa mengambil sepatunya juga.

Aku pergi meninggalkan ruangan itu. Di luar, pak Darius dan kak Radit bicara dengan Nara yang telah membawa sejumlah pakaian juga.

"Kelihatannya kalian duluan yang bakalan bersih-bersih." Kak Radit yang masih bertangan kosong mengamati kami berdua.

"Kalau begitu, kami akan mencari apa yang bisa dimanfaatkan di dalam." Pak Darius memutuskan. "Kalian berdua urus badan kalian. Kalian sebau bangkai."

Pernyataan itu meninggalkanku dalam kondisi pikiran kosong dan wajah yang agak-agak tolol. Lain denganku, Nara sudah berbalik dan berjalan ke arah pintu keluar kembali. Tanpa sepatah kata. Ataupun isyarat tatapan mata.

Aku sepenuhnya ia abaikan.

Ah, sial, ini artinya dia sudah marah besar. Benar-benar marah yang tidak akan bisa dipulihkan kecuali aku minta maaf atau bertingkah baik satu kali saja. Terakhir kali ia mengabaikanku begini ... aku ditampar.

"Kamu tidak perlu mendengarnya."

Tapi perlakuan lembut dan kata-kata baik hati itu ... apa artinya dia tidak begitu marah? Ah, sebenarnya siapa yang perempuan sih di sini? Kenapa rasanya dia malah lebih sulit dipahami daripada aku yang perempuan ini?

Meniru dirinya, aku pun tidak bicara. Tidak mau memancing kemungkinan akan jadi bahan pelampiasan amarahnya jika aku tak sengaja menekan detonator emosinya.

Sementara aku terdiam seperti orang bodoh, di depan sana Nara hanya terdiam seribu bahasa. Ketika aku berlama-lama meliriknya pun—cukup lama baginya untuk menyadari kalau aku sedang memerhatikan—dia tidak melakukan apa pun. Tidak ada perubahan ekspresi. Tidak menoleh untuk sekadar melirik. Tidak ada bentakan seperti biasa. Hanya kesunyian yang terasa sangat canggung dan menyesakkan.

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang