Eropa Timur, Tahun —Tidak Diketahui—
"Apa yang aku bilang soal mendekati manusia?!" Suaranya menggelegar sekeras gemuruh petir.
Kepalaku menunduk sementara tanganku meremas ujung-ujung baju. Serat rami dari baju yang mengancam untuk lepas membuatku harus berhenti dan pasrah menaruh kedua tangan di samping badan.
"Ma-maafkan saya ... Tuan...."
Terdengar helaan napas kasar darinya. "Ada berapa kerusakan yang kau buat?"
Kaget mendengar tuduhan itu, aku pun mendongak, lupa alasan menundukkan kepala tadi. "A-aku tidak membuat kerusakan apapun, Tuan Klaus." Mata merah itu menyipit. Aku kenal ekspresi itu: dia tidak percaya padaku. "Aku bersumpah tidak melakukan apa-apa. Aku hanya bicara dengan anak-anak dan menggendong mereka yang terluka kakinya karena bermain di dekat kolam air terjun. Aku tidak—
"Mereka melihatmu berbeda?"
Aku menggeleng. "Saya tidak menunjukkan apapun." Kemudian aku menunjuk kedua sandalku yang berlumur lumpur dan rumput. "Ini buktinya. Sandal saya masih utuh." Lalu aku teringat sesuatu dan langsung merogoh saku baju, memperlihatkan satu bungkus manisan yang aku terima. "Ini dari orang tua anak-anak itu. Mereka baik, Tuan."
Tuan Klaus sekali lagi memicingkan mata, memandangi kantung kulit penuh manisan di tanganku sebelum berbalik menuju pintu. "Kita akan pindah segera."
Aku yang kaget hampir saja menjatuhkan manisan itu. "Kenapa....?"
"Karena kamu sudah berinteraksi dengan mereka. Hanya butuh waktu sebelum semuanya berubah buruk," jelasnya tanpa menatapku selagi memakai sepatu. "Mereka hanya manusia, Ratna. Kau berbeda dari mereka. Jika kau semakin dekat dengan mereka, itu hanya akan membahayakan mereka sendiri. Harus berapa kali aku mengatakannya baru kau paham?"
Dengan satu ucapan itu, pintu terbanting di hadapanku dan tidak pernah membuka lagi ... sampai beberapa hari kemudian.
***
Bogor, masa kini
Satu hal yang tidak bisa aku kendalikan adalah impuls.
Dalam satu detik, ada paling sedikit lima seratus impuls yang masuk ke lima inderaku. Hidungku membaui aroma aneh yang sejak tadi memang menguar dari tubuh Arman: aroma yang familiar. Mataku melihat tidak ada Yusriza di mana pun, jadi kemungkinan dia memang tidak terjun langsung di sini. Kakiku meraba getaran langkah agatya tak jauh dari sini. Ini siang hari, tapi jika sampai darahku tumpah, para agatya itu akan kemari. Telingaku mendengar suara persiapan oleh Ibu dan Aldiva sudah selesai di belakang, suara pertarungan Ryan yang sepertinya berlangsung cukup mudah, dan pertarungan Eka, Ditya, serta kak Ghalih yang baru saja berhenti.
"Apa yang sebenarnya kalian cari?" Ryan terdengar bertanya di belakang. Ia kelihatannya tidak terlalu ambil pusing dengan perubahan situasi kami.
Yah, atau mungkin dia memang tidak melihat ke belakang.
"Kenapa kalian semua ke sini? Oh, jangan-jangan kalian menganggap kami lawan yang terlalu mengancam?" ejek Ryan.
"Yusriza tidak menganggap kalian setinggi itu," Terdengar Arman menjawab. "Tapi ancaman sekecil apapun harus dimusnahkan."
Ryan tertawa. "Ancaman apa yang ia maksud?"
"Kepala Edric." Jawaban itu membungkam mulutku rapat-rapat. "Kepalanya ada di sini kan?"
Telingaku berjingkat oleh suara lain yang terdengar di dalam hutan.
"Klaus?" Kudengar Eka mengucapkan nama itu. "Itu ... Klaus kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Destiny
Vampire[ARUNA SERIES #3] [Young Adult Fiction! Rated for Detailed Violence!] Aruna kini diburu untuk dimusnahkan. Mereka menjadi mangsa bagi predator baru yang lebih ganas dan tidak memiliki akal maupun hati nurani yang diciptakan oleh Yusriza Ganen...