33. Situasi yang Pelik

1K 170 62
                                    

Aku sering dinasihati oleh banyak orang soal mengendalikan emosi. Kak Yuda, Nara, Zen, kak Radit, bahkan pak Darius menasihatiku untuk mengendalikan emosi. Nasihat mereka berbeda, tapi intinya tetap sama: emosi yang berlebihan hanya akan membuatku mengamuk kehilangan kendali di pertarungan. Yah, mereka pantas khawatir karena jika aku sedang diliputi kemarahan, aku tidak segan-segan menyingkirkan saksi mata yang seharusnya bisa membantu penyelidikan.

Aku menerjang sosok yang berdiri pongah seakan tak bakal terkalahkan itu. Pedangku menyambar, tapi sayangnya Arka berhasil meloloskan diri dengan hanya pakaiannya yang koyak.

"Berengsek!" Seseorang di bawah sana berbaik hati mewakili suara hatiku saat ini walau entah hinan itu tertuju untuk siapa.

Pertempuran yang sempat terhenti karena aksi tak penting aruna satu ini, kembali berlanjut. Para agatya di bawah kembali aktif menyerang ke semua yang menghalangi. Rintihan kemenangan mereka berakhir sudah. Untungnya, aruna-aruna di bawah sana tidak terlalu lambat.

Pertarungan yang kembali ada di tangan membuatku berada di atas angin. Pedangku membelah udara, bermaksud menyayat leher Arka. Aruna itu berkelit lagi, membuat pedangku hampir saja menebas leher aruna lain. Aku baru akan menyerang lagi saat lima agatya berdiri melompat mengepungku dari berbagai penjuru.

Dari sudut mata, Arka memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur.

Makhluk-makhluk ini benar-benar menguji kesabaranku.

Detik berikutnya, mayat-mayat agatya itu jatuh dan terlupakan, menumpuk sepanjang jejakku berlari menyusul satu aruna ke dalam hutan yang gelap. Jarak yang lebih sempit dengan Arka membuat lebih banyak agatya muncul.

Dala hitungan menit, Arka sudah ada dalam jarak jangkau pedangku. Dalam sekali lompatan, bilah pedangku sudah ada di atas kepalanya, siap membelah kepala itu jadi dua ketika keganjilan itu membuat tubuhku membeku.

Kepala Edric tidak ada padanya.

Kenyataan itu tidak membuat pedangku lantas berhenti dan mundur. Setelah mendapat pengendalian diri lagi, tebasanku berlanjut. Akan tetapi Arka kembali berhasil menghindar. Ia lalu berbalik, menahan pedang itu dengan tangan kosong. Merasa ditantang, aku menekannya, penasaran seberapa jauh kulitnya yang melepuh itu mampu menahan pedangku.

Tidak butuh waktu lama, Arka menyerah menggunakan tangan, melepaskan pedangku, dan membiarkanku menebas tubuhnya. Tidak puas hanya dengan melayangkan satu sayatan panjang sampai pinggang, kakiku melayangkan tendangan tepat ke rusuknya, menabrakkan tubuh aruna itu ke batang pohon lima meter dari titik tempatku berdiri.

Tanganku mencabut satu pisau dan menerjang, menancapkan pisau itu ke pundak Arka, memintirnya perlahan. Aku berharap dapat melihatnya minimal meringis, tapi jangankan bersuara, berubah air muka pun tidak.

Suara gaduh di sekitar kami menghalangi pengdengaranku untuk melihat lebih jauh. Suara deru senapan, rintihan agatya, dan pertarungan para aruna bercampur menjadi satu sampai aku sama sekali tidak bisa membedakan satu suara dengan suara lain. Sejauh ini aku tidak mendengar informasi apapun yang bisa menuntun ke tempat kepala Edric berada.

"Di mana kepala Edric?" Dia diam. Aku memutir pisau di pundaknya. Tapi seperti sebelumnya, aruna ini seakan tidak memiliki rasa sakit. "Gue tanya, di mana kepala Edric?"

Mata Arka melirik pisauku. Hanya sekilas, tapi cukup dengan momen singkat itu aku tahu, dia sedang menghinaku. "Kamu butuh lebih dari sekadar mainan ini untuk menginterogasi seseorang."

Seringai kejam terbentuk di wajahku. "Jangan merasa tangguh. Lo belum lihat apa-apa." Wajahku kembali serius. "Di mana kepala Edric?"

"Kalau memang tidak ada di depan matamu, artinya memang tidak ada di depan matamu," Ia berkedip bosan, seakan-akan aku sudah membuang waktunya yang berharga dengan melontarkan lelucon paling garing sejagad. "Otakmu sama kecilnya dengan tubuhmu."

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang