10. Gadis Itu

914 170 15
                                    

Perjalanan kami selanjutnya diwarnai kesunyian sampai tiba di kota Bogor.

Berkat istirahat singkat itu, tenagaku sudah terisi penuh dan kami bisa mencapai Bogor tepat sebelum matahari terbenam. Faktor hari yang cerah dan sepinya kami dari para pengganggu menjadi faktor yang menguntungkan hari ini. Tidak ada agatya yang keluar dan tidak ada geng yang menyerang kami.

Kota ini tidak jauh berbeda dari kota-kota lain: berbau kematian, beraroma kental darah, dan sepi. Tidak banyak manusia di sini, tapi setidaknya tidak seperti Cirebon yang sudah jadi kota mati, aku merasakan beberapa aktivitas manusia di sini, bahkan mungkin yang paling banyak dari yang pernah aku jumpai dari semua kota yang pernah kami lewati selama perjalanan ini.

Aku mengembuskan napas. Lega. Apa sebabnya aku sendiri juga tidak tahu. Namun memikirkan kota ini secuil lebih baik dibanding kota-kota lain ... itu meledakan sekali.

Temukan sisa ingatanku.

Tuntaskan dendam pada Yusriza.

Bebaskan pak Darius.

Bebaskan majikanku dari ancaman pembunuhan.

Oke, yang terakhir itu tidak penting-penting amat, tapi hal itu selalu berhasil membuatku tak tenang.

Satu-satu, Eka. Satu demi satu, jangan sekaligus.

"Semoga mereka belum pindah."

"Hah? Apa?"

Albert tidak menanggapi ucapanku, hanya diam dan terus memimpin jalan bersama kak Radit sementara aku di belakang, mengikuti mereka tanpa banyak protes.

Apa tadi itu aku salah dengar atau aku mendengar orang lain di kejauhan menggumamkannya?

Yah, semoga saja aku salah dengar.

Setelah melangkahi satu batang kayu raksasa yang tumbang dan melangkahi lagi beberapa tiang-tiang dan pagar kawat pengaman yang tadinya membatasi kota dengan hutan, kami bertiga secara resmi keluar dari kota.

Sejenak, kami beristirahat di bawah pohon, menunggu kak Radit memulihkan diri karena banyaknya perak yang berserakan di dalam kota. Tubuh kak Radit juga sedikit berasap karena selama seharian kami berlari tanpa henti dengan hanya berjalan di sedikit daerah yang terlindung bayangan. Namun kak Radit dengan konyolnya berpura-pura kuat dan bilang pada kami untuk tidak peduli.

Ya, aku tahu. Dia masih bodoh seperti biasa.

Tiba-tiba, perasaan itu datang, meremang di belakang leherku seperti angin musim hujan.

Kami diikuti.

Aku baru akan memberikan isyarat pada Albert ketika pemuda itu mendadak melemparkan pisau lipatnya ke atas, ke dahan terdekat dari kami.

Dan sesuatu menjerit membalas kami dari atas pohon.

Sepersekian detik setelahnya, satu sosok turun dari pohon yang disasar Albert tadi. Sosok itu mendarat dalam posisi berdiri tegap tepat di samping kami. Tanganku sudah siap di gagang pedang tepat saat sosok itu mendongakkan kepala dan menatap kami sambil memamerkan senyum ceria yang kekanak-kanakan.

Saat itu juga gerakan tubuhku berhenti.

"Kejem amat sih, lempar-lempar pisau segala!" Pemuda itu memutar-mutar pisau Albert. Tanpa melihat arah pisau, ia terus bermain-main dengannya, tanpa takut terluka. Dengan santai, dia melirikku dan kak Radit sekilas. "Kok gerombolan lo nambah, Bet?"

"Gue nggak pernah berencana bergerombol," jawab Albert dengan nada datar yang terkesan tak suka.

"Siapa juga yang mau ikut sama dia," imbuhku dan kak Radit bersamaan.

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang