13. Lawan yang Harus Kami Hadapi

1K 175 37
                                    


Ibukota Jogjakarta, 2013

"Selamat, kamu lolos seluruh tahapan tes untuk diterima ke dalam pasukan."

"Terima kasih, Pak." Aku menghormat dengan sikap sempurna.

Dengan bangga, aku membusungkan dada dan mendongakkan kepala dalam balutan seragam dinas yang kudapatkan kemarin. Diterima ke dalam pasukan Komite di Ibukota dan mendapat sambutan langsung dari Yusriza Ganendra sang Dua Belas Pilar terkuat dan komandan tertinggi di badan Komite, apa lagi yang bisa aku harapkan dari semua ini?

"Tapi sayang sekali penerimaan ini tidak akan membatalkan penggunaan sistem pemeriksaan baru di markas ini," tambah pak Riza. "Apa kamu keberatan dengan itu, Yureka Caiden?"

Aku terdiam. Yang beliau maksud pastilah mesin detektor baru yang ikut menyaring budak. Jika ada itu di seluruh pintu masuk Komite, aku tidak akan bisa masuk.

"Tenang saja," pak Riza mengimbuhkan. "Detektor hanya akan dipasang di pintu masuk utama. Pintu samping dan pintu-pintu lain tidak akan dipasangi detektor baru, jadi kamu bisa melewatinya tanpa harus cemas."

Sekuat tenaga, aku menyembunyikan rasa lega dalam diriku. "Baik, Pak."

"Ngomong-ngomong," Sorot mata pak Riza berubah tajam. "Apa Darius tahu kepindahanmu ke sini? Aku tidak mendapat kabar apa-apa dan tahu-tahu saja kamu mengajukan diri untuk bertugas di sini."

Bahkan mendengar namanya saja aku sudah sangat kesal.

"Beliau sudah memberi izin, Pak."

Seakan bisa membaca kebohonganku, pak Riza terdiam. Tidak ada perubahan ekspresi padanya, tapi ... instingku mengatakan saat ini beliau sedang membacaku. Menyelidiku.

"Baiklah," Pak Riza menaruh map bertuliskan namaku ke sudut meja. "Sekali lagi selamat kamu sudah diterima, Yureka Caiden."

***

"Aku hampir ngira kamu mau bunuh aku, Eka," ujar Ratna. Ia maju ke sisiku.

Aku tertawa mengejek tanpa menoleh. "Emang lo ngerasa sepenting itu buat ditebas di sini sekarang juga?"

Terdengar dengus tawa yang tertahan dari Ratna. "Nggak juga sih," sahutnya. "Tapi ini bener-bener nggak terduga ya? Ada dua orang yang nggak disangka langsung ke sini."

Dalam diam, aku setuju. Ini tidak biasa. Seluruh kewaspadaanku tersedot oleh dua orang ini. Amarahku membara sama besarnya untuk mereka berdua.

"Nggak disangka, kalian keluar bersamaan." Selagi mengajak mereka bicara, telingaku mendengar suara lain dari arah hutan, suara yang membuatku semakin waspada. "Apa kalian benar-benar berniat menghabisi kami?"

Serangan itu datang tiba-tiba. Nyaris saja aku tidak bersiap.

Bunyi denting pedang bergema ke telingaku berkali-kali sampai lenyap ketika pedangku dan pedang milik Arman berkontak dan saling menekan.

Apa-apaan kecepatan ini?

Aku memutar pedang, berusaha mengempaskan pedangnya dalam sekali sapuan, tapi tidak berhasil. Kesempatan ini justru dimanfaatkan Arman untuk menarik pistol dari balik seragam dinasnya. Moncong senjata api itu terarah tepat ke kepalaku. Sebelum tembakan sempat dilepaskan, aku menjejak tanah dan menerjang, mengayunkan pedangku untuk membelah pistolnya.

Arman berhasil menghindar mundur. Aku melirik ke arah lain, ke pertarungan di dekatku yang juga sudah berlangsung. Ratna sedang menghadapi Yusriza. Sang jenderal menggunakan pedang untuk menghadapi Ratna sementara gadis itu hanya bersenjatakan tangan kosong.

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang