Bandung, Dua minggu lalu
Kami sudah dikepung. Ada lebih dari seratus pasukan Komite mengepung rumah ini. Dari detak jantung mereka yang tidak lebih tinggi dari status stabil, jelas sekali mereka punya persiapan yang matang sampai bisa begini percaya dirinya.
"Jangan konyol, Darius. Menyerah sama sekali bukan pilihan di sini!" Sekuat tenaga, aku menahan diri untuk tidak menggebrak meja sampai hancur, di sini, detik ini juga. "Lagipula kalau kamu menyerah, apa jaminan yang mereka berikan untuk tidak menghancurkan kami di sini sekarang juga?"
Di bawah kami, Rini dan yang lain sudah berhasil dievakuasi lewat jalur bawah tanah menuju rumah lain tujuh ratus meter jaraknya dari sini.
"Tidak ada." Darius memandangku yang sudah pasang wajah jengkel luar biasa, mempertanyakan akal sehatnya sudah melayang ke langit lapis ke berapa sampai bisa memikirkan kemungkinan menyerah di saat dia sendiri sudah tahu konsekuensi tertingginya. "Dan aku memang tidak berharap mereka akan melepaskan kalian. Mereka tidak bia diharap."
"Kalau kamu tahu lantas kenapa—
"Itu memberi kalian waktu." Di saat aku bertanya-tanya, Darius menulis tulisan imajiner di atas meja. Ada Yusriza di antara mereka.
Seketika itu juga aku membelalak, meminta konfirmasi langsung darinya yang langsung aku dapatkan. Darius serius pada pernyataannya. Kami baru berhadapan dengan musuh di luar beberapa menit dan dia sudah bisa langsung mendapatkan Yusriza.
Benar juga. Seharusnya jika memang Yusriza ada di antara mereka, ia tidak akan membiarkan Rini dan yang lain kabur. Lorong bawah tanah kami bukannya sangat jauh dari jangkauan pendengaran makhluk sekelas Yusriza.
"Dan aku akan menjamin nyawa kalian aman selama beberapa saat, setidaknya sampai mereka tidak membutuhkanku lagi." Selagi mulutnya bicara, tangan Darius menulis tulisan imajiner lagi di atas meja.
Kamu pimpin mereka.
Aku tidak bisa menahan diri dari tidak menganga di sana. "Kamu sipil saat ini, Darius. Kamu tidak punya perlindungan apapun di tangan Komite!"
"Bukan berarti aku tidak tahu beberapa trik." Seperti sebelumnya, ia menulis di atas meja.
Aku akan keluar segera dari sana. Jaga Eka dan Ditya.
Itu menjadi pesan terakhir Darius sebelum aku akhirnya memilih pergi dan dirinya menyerahkan diri. Aku tidak sempat melihat seperti apa rupa Yusriza, menjadikan hari itu hari terakhir kami berhadapan, walau tidak secara langsung.
***
Nusa Kambangan, masa kini
Kami baru akan menembak ketika tiba-tiba dari pintu lain di tengah blok, muncul ledakan. Sebagian agatya menyingkir, tertimpa puing-puing yang tiba-tiba meluncur ke arah mereka.
Debu mengalihkan perhatian kami semua selama beberapa saat. Para agatya kebingungan. Pintu yang jebol di tengah-tengah blok itu membuatku terheran-heran. Senjata sudah siap memuntahkan peluru di tanganku.
"Alamak, ternyata di luar lebih ramai daripada di dalam! Balik lagi aja yuk!" Suara Ryan terdengar dari balik kepulan asap. Rasanya isi perutku sudah jungkir balik sekarang.
"Kamu saja duluan. Aku lebih suka di luar."
"Apa ini saatnya bergurau, Ryan?"
Itu suara Ditya dan Albert. Aku nyaris saja mempertanyakan kewarasanku sendiri ketika wujud nyata dari suara-suara itu muncul tepat dari lubang baru di dinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Destiny
Vampire[ARUNA SERIES #3] [Young Adult Fiction! Rated for Detailed Violence!] Aruna kini diburu untuk dimusnahkan. Mereka menjadi mangsa bagi predator baru yang lebih ganas dan tidak memiliki akal maupun hati nurani yang diciptakan oleh Yusriza Ganen...