23. Albert: Terperangkap

1K 150 17
                                    

Hal yang pertama aku pelajari dari menjadi informan bagi orang lain adalah menjaga ketenangan apa pun yang terjadi, termasuk di situasi paling mematikan sekalipun.

Yah, termasuk juga saat harus tersadar dalam keadaan terikat bersama beberapa orang grupmu di dalam sebuah ruang tertutup dengan sasaran utama kami duduk manis menjadi penonton.

Coba aku ingat apa yang terjadi ... ah ya, kami diserbu lebih banyak orang yang kami duga di dermaga dan berakhir kalah jumlah. Orang yang kami sandera pun ternyata ada yang cukup keras kepala sampai bisa bangkit kembali dan balik menyerang. Ditya dilumpuhkan dengan serum penenang sementara aku dan Ryan dengan peluru berisi obat bius.

Dilihat dari darah yang membekas pada pakaian kami, peluru yang mengenai kami bukan hanya peluru bius biasa.

Ini bukan hal baru untukku. Namun terjebak dalam keadaan yang tidak menyenangkan selalu bisa membuat siapapun mengerutkan kening.

Aku menarik napas, kelihatannya tidak ada rusuk yang patah. Kemudian kedua tangan dan kedua kaki: semuanya masih berfungsi.

"Aku belum sejahat itu untuk meninggalkan kalian cacat." Pandanganku berpindah ke depan, ke arah seorang wanita yang berdiri mengawasi di balik jeruji rapat dari baja tebal yang memisahkan kami.

Novia Andramasya, dalam balutan seragam hitam Komite berdiri tegap. Matanya tak lepas dari kami. Menanti.

"Aku tersanjung. Dan kurasa belenggu adalah sentuhan akhir yang diperlukan bagi kami, bukannya begitu?" sahutku sarkastis.

Novia tidak menyahuti ucapanku dan beralih ke kedua teman satu selku. Berturut-turut di sebelahku, Ditya dan Ryan tampak baik-baik saja. Mereka berdua juga tidak terlihat terkejut dengan keadaan ini. Lebih parahnya, Ryan tampak bersemangat sekali bisa terjebak dalam situasi ini.

Dengan cepat, aku mengamati situasi. Kami bertiga, terbelnggu. Ujung rantainya tersambung ke dinding. Dari struktur dan tampilannya, rantai ini terlihat baru. Kabar buruk bagi kami, jeruji di depan sana juga terlihat sama barunya.

"Kurasa sekarang adalah saatnya mengucapkan selamat datang."

"Terima kasih," Ryan menyahut. "Kami sudah menganggapnya rumah sendiri."

Lima petugas Komite bersenjata lengkap menodongkan senapan ke arah kami. Aku tidak ragu mereka akan menembak kami di tempat-tempat yang tidak berbahaya, hanya untuk memastikan kami kesakitan dan tersiksa di sini. Jika kami dibiarkan hidup dan tidak mati, artinya mereka ingin melakukan sesuatu yang lebih. Jauh lebih buruk dari ini.

"Sama-sama," Novia menjawab setengah hati. "Sekarang setelah kita berkenalan dengan cara yang beradab, aku rasa harus menyambut kalian dengn ramah. Aku tidak menyangka kalian berhasil menumbangkan satu dari kami dengan sangat mudah."

Kami menumbangkan banyak dari mereka, jika yang ia maksud adalah prajurit kelas teri. Tapi jika dia menyebut hanya satu orang, artinya yang ia maksud pastilah....

"Arman emang udah mati." Ryan berdecak, kontras dengan decakan itu, senyum terlukis di wajahnya. "Seharusnya saya memang bawa kepalanya ke sini untuk oleh-oleh."

"Tidak perlu," pungkas Novia. "Kami sudah menyitanya. Kami membereskan kekacauan yang kami buat."

"Kekacauan yang sangat barbar." Ditya berkomentar sinis. "Tapi setidaknya kalian mengaku kalau kekacauan itu buatan kalian."

"Lalu kamu sendiri, Ryan?" Pertanyaan justru beralih kepadanya. "Tidak merasakan apapun setelah membunuh ayah—

"Dia bukan siapa-siapa!" Perlu seluruh tenaga untuk tidak terlonjak di sana, saat itu juga. Ryan tipe orang yang banyak bicara, tapi menjerit dan menghardik tidak pernah menjadi kebiasaannya. "Dia bukan ayah saya! Bukan ayah siapapun! Saya cuma kloning yang dibuat dari dia! Nggak lebih, jadi jangan coba-coba bawa moral ke mari jika kalian saja nggak sama sekali punya kompas moral!"

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang