51. Tertahan

1K 152 55
                                    

[Unedited Chapter]

-

Gadis itu menjerit. Sekuat tenaga. Sekuat nyawanya dapat mendukungnya saat ini.

Untuk pertama kali, gadis itu menjerit murka. Sepanjang tahun aku mengenalnya, baru kali ini gadis itu tampak semarah ini.

Ratna menjadi seseorang yang sepenuhnya tidak kukenal. Wajahnya yang biasa ramah, kini murka. Mata yang biasanya berbinar bahagia, kini hanya menelurkan air mata. Mulut yang biasa menularkan tawa, kini hanya menularkan jeritan penuh derita. Gadis yang kuingat apatis, kini sekuat tenaga berusaha meraih sayap yang terlepas dari jangkauannya.

Jeritan itu begitu kuat dan menyayat hati. Volumenya sekuat keberadaannya sendiri, membelah semua rintihan agatya di sekeliling kami. Deritanya membuat kami tidak bisa mengabaikan walau hanay satu detik. Tangisannya membuat kami tidak bisa memalingkan muka. Dan permohonannya membuat kami tak bisa berkata-kata.

"Aku bisa menolongnya! Masih bisa, Albert! Kita masih punya waktu! Dia ada di sana! Evan masih ada di sana!" Ia terus memberontak dari pegangan Albert yang berusaha menariknya menjauhi pusat ledakan yang melebar.

"Ratna, hentikan!" Albert ikut menjerit dengan mata memerah dan aku tidak yakin penyebabnya hanya karena asap.

Di sisi mereka, aku dan Nara terus berlari sambil menghancurkan agatya man pun yang menghalangi. Nara melirikku, lalu menunjuk satu tingkat gorong-gorong yang terbuka. Aku mengangguk paham dan Nara pun melesat lebih dulu untuk membuka jalan. Di belakangku, Ratna masih saja menjerit. Aku membantu Albert untuk menjauhkan kami semua dari pusat ledakan, menerima beberapa kali hajaran dan tendangan karenanya.

Yah, sedikit pukulan dan tendangan terdengar lebih baik dari mati terpanggang.

"Buka matamu!" Albert menjerit lebih keras dari sebelumnya, terdengar frustrasi. "Evan sudah hancur berkeping-keping di sana!"

Itu bukan ucapan yang baik untuk dikatakan kepada orang yang tengah berduka. Alih-alih menghibur, ucapan itu menohok nurani. Kenyataan yang terpampang jelas di depan mata diungkapkan secara lugas tanpa ada kelembutan sama sekali. Orang biasa mungkin akan syok dan semakin gencar melawan.

Tapi Ratna tidak demikian.

Jeritannya mereda dan berhenti, berganti sepenuhnya menjadi tangisan. Suara jeritan Albert lenyap. Tendangan dan tinju yang sempat bersarang ke tubuhku pun berkurang jauh, baik dari jumlah maupun intensitasnya.

"Aku paham perasaanmu, tapi sekarang kita punya tujuan yang lebih penting," Albert terdengar lebih membujuk. "Kita tidak boleh lupa tujuan kita sebenarnya."

Ledakan kembali terdengar. Suara langkah Albert terdengar menjauh. Bunga api membumbung semakin tinggi ke angkasa. Tidak mau tahu apa jadinya jika api sebanyak itu menerpa tubuhku, tanganku memasukkan pedang, dan melempar sebanyak mungkin agatya yang dapat kujangkau. Melemparnya langsung ke tengah api yang membara. Panas dari ledakan sebelumnya masih belum reda. Udara terasa meleleh di sekelilingku. Api terasa membakar kulitku. Bajuku lepek oleh keringat selama sedetik sebelum detik kemudian kembali kering oleh api yang membara. Anomali suhu itu membuatku semakin gencar melemparkan makhluk-makhluk mengganggu di sekeliling kami, membiarkan jeritan mereka pada akhirnya lenyap ditelan api.

Lalu gelombang kejut melemparku.

Tubuhku yang tidak terlindung langsung terlempar ke arah barisan agatya yang menggunung di belakang. Celah yang dibuat Nara telah tertutup kembali, memberiku jalan buntu di berbagai sisi. Kucabut dua pedang sekaligus dan berbalik. Selusin agatya sudah membuka mulut. Lidah mereka terjulur, siap menerkam.

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang