16. Kejutan-kejutan

815 127 20
                                    

"Itu tadi gila!" omelku keras-keras di tengah hutan, dipantulkan berulang kali oleh ratusan pepohonan dalam hutan. Aku tidak pernah pikir panjang apakah teriakan ini akan terdengar para agatya atau tidak.

Ratna dan dua Aruna kembar yang diputuskan satu kelompok denganku hanya saling bertukar pandang bingung.

"Kalian nggak protes sama sekali sama ledakan itu? Yang meledak itu rumah kalian lho!" imbuhku sebelum terbatuk-batuk. "Dan lagi apa harus ledakannya segede itu?"

Salah satu Aruna itu menaikkan sebelah alis, sementara yang lain duduk dan memeriksa isi tas.

"Memangnya salah?" Aruna dengan tampang kurang ajar itu malah balik bertanya. "Itu hanya rumah. Kami punya beberapa seperti itu. Daripada rumah, bukannya seharusnya kamu menanyakan apakah ada yang terluka atau tidak? Dan lagi, ledakannya memang harus sebesar itu jika ingin mengalihkan pasukan mereka untuk sementara."

Aku benar-benar ingin tahu nama Aruna satu ini sekarang.

"Kak Adit benar, kamu nggak seharusnya memikirkan benda yang bisa kami dapatkan lagi nanti. Daripada memikirkan itu, kamu sendiri gimana?" Ratna bertanya melepaskan tas ransel dan meletakkannya ke tanah. "Kamu nggak apa-apa?"

Sekilas, aku melirik Aruna yang ternyata bernama Adit itu. "Selain kaget dan nyaris aja lupa harus ngumpul sama kalian? Nggak." Sejujurnya, itu tidak sepenuhnya benar. Aku merasakan sedikit sakit di pergelangan kaki dan siku, tapi kurasa rasa itu akan hilang dalam beberapa menit.

"Kamu nggak pandai berbohong sama sekali." Adit mendekat dan berlutut di dekat pergelangan kakiku. Tanpa permisi, dia meraih kaki kananku, menyentuh sedikit di atas pusat rasa sakitku.

Oh sial. Api itu kelihatannya sanggup menjangkau ujung celana dan sedikit pergelangan kakiku.

Adit menyingkirkan sedikit kain celanaku, memperlihatkan luka bakar segar yang baru akan mulai menghitam. Aneh sekali melihat luka itu masih segar dan tidak ada tanda-tanda mau pulih. Sebelum dia melakukan sesuatu, aku buru-buru menarik kaki darinya.

"Aku mau membantu, bukannya mau memakan kakimu!" sembur Aruna satu ini jengkel.

Tanpa banyak menaruh peduli pada omelannya, aku mencebik. Selepas menaruh ransel ke tanah dan menancapkan pedang ke dekat kaki, aku menggulung celna yang terbakar dan mengulurkan tangan kepada Aruna itu.

"Ada air?"

"Dengar, kamu ini budak kan? Pemulihan yang tidak normal seperti ini—

"Ya, gue tau," potongku cepat. "Airnya mana, Adit?"

Aruna itu berdecak kesal sebelum dengan pasrah mengambil sebotol air mineral dari dalam ranselnya, menyerahkan botol itu dengan kasar ke tanganku. Beruntunglah aku tidak sedang terlalu kesal untuk mengkritisi sikap kasanya barusan.

Mataku melirik Aruna satu lagi yang bicara pada Ratna. "Kalau yang itu?"

"Ghalih. Kakakku."

"Pantas suara lo lebih cempreng dari dia." Dari sudut mata, aku tahu Adit memberengut. Wajar, aku pun akan kesal dikatai cempreng oleh anak yang suaranya jauh lebih cempreng daripada aku sendiri.

Sehalus mungkin, aku menuangkan air ke luka bakar itu, memastikan tidak terlalu banyak memakai air. Setelah seluruh bagian luka basah semua, aku mengembalikan botol itu yang diterima Adit dengan senang hati.

Satu kotak salep diberikan Adit kepadaku. "Salep luka bakar. Bersyukur saja aku sempat berjaga-jaga dengan membawa beberapa obat tadi."

Kuterima obat itu dengan satu ucapan terima kasih. Sensasi dingin yang menyejukkan mengalir ke seluruh kulitku ketika salep itu melakukan kontak dengan lukaku yang mulai tampak menghitam.

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang