27. Pemulihan Diri

1.4K 178 79
                                    


Jakarta, lima jam sebelumnya

Aku terbatuk untuk setidaknya satu menit sejak keluar dari celah sempit kurang ajar itu.

Satu tangan menyentuh pundakku. Tidak perlu menoleh. Aku sudah tahu siapa yang menyentuhku seperti ini. "Kamu butuh pengobatan segera. Biar aku antar—

"Gue nggak apa-apa." Aku singkirkan tangan itu pelan-pelan dan bangkit berdiri sebelum menoleh ke belakang, menatap Nara yang seperti biasa, memandangku dengan sorot yang benar-benar khawatir. "Gue tau jalan kok. Lo urus aja yang lain. Ada yang lebih butuhin lo daripada gue."

Ketika pandangan kami bertubrukan, aku lebih dari yakin Nara keberatan dengan ide ini. Perasaan itu tertulis dengan jelas di setiap gurat wajahnya, tapi aruna itu tidak mengeluh lebih jauh.

"Kalian akhirnya muncul juga." Suara yang—kurang ajarnya—terdengar bosan itu membuatku menoleh ke depan,bertatapan dengan Ghalih yang menatapku dengan pandangan tak minat. Dia menoleh ke belakang sambil tangannya menunjuk kami berdua. "Mereka berdua di sini!"

Di sebelah Ghalih, om Saka mendelik ke arahku dengan wajah bete berat.

"Kamu ajari apa anak ini setiap harinya?" Om Saka mengulurkan tangan kepada Nara untuk membantunya berdiri, yang disambut aruna itu dengan senang hati. "Tata cara menjadi begundal? Bagaimana bisa dia langsung melesat menembus reruntuhan yang jatuh tanpa pikir panjang?"

Nara tidak langsung menanggapi pertanyaan merendahkan itu. Ia langsug berjalan mendekati om Saka dan tidak pernah lagi sekadar melirik ke arahku.

"Bagaimana status kita saat ini?" Nara langsung memulai topik, tidak menanggapi sama sekali sindiran om Saka tadi.

"Sejauh ini tidak ada korban jiwa. Tidak ada yang tertimbun. Kamu, gadis itu, dan dia menggenapi jumlah kita," Saka menjawab dengan tenang dan ikut berbalik, mengikuti langkah Nara yang menjauh dari kami. "Tapi harus aku akui, kondisi mereka yang terinfeksi sedikit memprihatinkan. Tidak terlalu gawat, tapi...."

Tanganku menutup telinga dan menepuk-nepuknya pelan. Tidak ada satu pun daya yang cukup dalam diriku untuk menutupi perasaan risih ini.

Mereka baru lima langkah pergi dan aku sudah tidak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan atau membaca gerakan mulut mereka sejelas biasanya. Tidak hanya itu, tubuhku rasanya remuk redam. Seluruh otot dan tulangku terasa menjerit dan berdenyut sakit setiap detiknya.

"Ratna dan adik lo gimana keadaannya?"

"Baik. Nggak ada luka berarti."

"Bawaan istimewa lo?" Kuharap dia mengerti apa yang aku bicarakan.

"Aman tana tergores sedikit pun." Ternyata dia tidak bodoh-bodoh amat. "Ratna selalu ada di samping benda itu. Jadi kamu tidak perlu khawatir."

Di samping benda itu? Apa aku tidak salah dengar? Ah, masa bodolah. Itu bisa dipikirkan lain kali.

"Di mana tempat gue bisa ngobatin semua ini?" Aku menunjuk luka-lukaku yang terlihat kepadanya. Sungguh aku ingin sekali lepas dari semua luka sialan ini.

"Ada di dekat sini," jawab Ghalih. "Aku bisa menunjukkan. Tapi setelah kamu memastikan diri bisa bergerak, ikuti aku. Kita pindah dari markas ini menuju utara."

***

Tempat yang mereka maksud bisa mengobatiku ternyata tidak jauh dari pusat kekacauan. Yang mengejutkan, tempat yang mereka maksud bahkan tidak memiliki wujud yang terlihat. Maksudku, tempat pengobatan itu ternyata tidak lebih dari tempat beberapa orang berkumpul.

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang