Hutan Perbatasan Pandeglang, 1975
Untuk kesekian kalinya, pemuda itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Beruntungnya, lenganku berhasil menggamit lengannya sebelum ada insiden lebih parah.
"Kurasa sebaiknya kamu hentikan usaha yang sia-sia ini, Surya," ujarku saat pemuda itu bangkit kembali dengan bertumpu pada tepian meja. "Kelumpuhan bukan sesuatu yang bisa disembuhkan dengan semangat saja. Butuh terapi yang diawasi dokter dan—
"Gue ini dokter! Gue tau prosedur medis yang nggak membahayakan dan ini termasuk nggak membahayakan!" Surya bukan orang yang sering membentak, tapi soal kelumpuhannya yang permanen ini, kesabarannya selalu menipis. "Daripada ngomong, kenapa lo nggak lepasin gue dan biarin gue coba sekali lagi?"
Kuturuti permintaannya tanpa banyak bicara. Dan rentetan adegan yang sama pun terulang: Surya berdiri dengan bertumpu pada dinding, kakinya gemetar hebat, dan pada akhirnya, sebelum sempat dia mengambil satu langkah, tubuhnya akan jatuh dan aku menangkapnya.
Rutinitas rahasia Surya ini baru kuketahui satu bulan belakangan ini ketika tak sengaja pulang berburu lebih cepat. Saat aku memergoki, dia malah memintaku membantunya dan memperingatkanku untuk tidak memberitahu Chandra. Aku setuju. Bukan karena ingin membantunya, melainkan lebih karena tidak ingin mendengar ceramah panjang Chandra.
"Kenapa kamu berusaha sekeras ini?" tanyaku saat Surya berhasil berdiri dan bersiap memasuki fase hampir jatuh sekali lagi. "Chandra tidak masalah kalaupun harus menggendongmu. Lagipula kalau kelumpuhan ini memang sudah divonis permanen, apa yang bisa kamu lakukan?"
"Gue nggak pernah ngarep bakal dapat keajaiban macam bisa jalan atau lari marathon," Surya menampik sambil mempertahankan posisi berdirinya. Tangan Surya yang bersandar ke dinding mengepal keras. "Gue cuma pengen berdiri terus jalan satu langkah aja."
Aku mendesah. "Kamu tidak akan berhenti di satu langkah. Setelah mencoba satu langkah, kamu pasti akan mencoba langkah kedua dan seterusnya." Sekali lagi aku menghela napas. "Itulah kalian, manusia."
Surya tertawa di sela napasnya yang tersengal. "Yah, apa boleh buat kan? Abisnya, kalau nggak kayak begitu, nggak bakal ada yang jalan." Surya berdiri tegap sekali lagi. "Selain itu ... gue ini kakaknya. Nggak mungkin gue repotin adik gue terus-terusan. Lo pun ... bakalan begitu kalau jadi gue kan?"
Aku tidak bisa mengelak. Jika itu menyangkut Chandra, gadis keras kepala yang selalu ingin berusaha lebih keras dari siapapun di rumah ini, gadis yang selalu pergi pagi dan pulang petang hanya untuk mencari makanan, menolong orang-orang, dan mencari air segar, kami akan melakukan sebaik-baik yang kami bisa.
"Surya?"
"Apa?"
"Kamu pernah berpesan padaku untuk mengambil tubuhmu, namamu, dan menjaga Chandra sebagai gantinya kan?"
Pemuda itu menoleh kepadaku. "Ya."
"Biar bagaimanapun, Chandra itu manusia," ujarku serius. "Mungkin Chandra akan mati duluan sebelum aku mati."
Alih-alih, Surya malah tersenyum. "Kalau itu yang terjadi, lo sebaiknya cari orang lain." Aku terperanjat. "Cari harapan hidup yang baru dan lanjutin hidup lo." Lalu Surya memberengut. "Tapi itu bukan alasan supaya lo bisa lari dari janji lo."
Aku memalingkan wajah. "Tidak, aku hanya bertanya."
"Bagus deh." Kemudian Surya memulai lagi percobaannya. Kali ini aku sudah terlalu jenuh untuk memerhatikan, jadi aku berpaling.
Surya tiba-tiba memekik. Aku sempat mengira dia jatuh, tapi ternyata Surya masih berdiri tegak ... malahan, tubuhnya terlihat bergeser satu langkah maju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Destiny
Vampire[ARUNA SERIES #3] [Young Adult Fiction! Rated for Detailed Violence!] Aruna kini diburu untuk dimusnahkan. Mereka menjadi mangsa bagi predator baru yang lebih ganas dan tidak memiliki akal maupun hati nurani yang diciptakan oleh Yusriza Ganen...