42. Reuni Keluarga

1.1K 161 71
                                    

"Menurut Anda, kapan dia akan sadar?"

"Kapan pun itu, lebih baik kita siap-siap."

Siapa yang sedang bicara?

Beribu impuls datang menyerbu seluruh inderaku, mengangkatku ke permukaan alam sadar. Hidungku mencium puluhan aroma berbeda dalam sekali tarikan napas. Kulitku merasakan bulir keringat yang mengalir dan dinginnya besi di bawah telapak tangan. Telingaku mendengar suara bising mesin, puluhan degup jantung, dan bunyi berdentam yang berkali-kali terdengar di bawah kepalaku, mengguncang tubuhku dalam lonjakan-lonjakan variatif yang menjengkelkan.

"Bener juga. Soalnya Radit bilang, kalau dia bangun pasti ribut."

Apa?!

Dengan ceroboh—sangat ceroboh—aku bangun secara tiba-tiba. Tak heran, karena kepalaku berdenyut sakit sedetik setelahnya dan pandanganku berputar hebat.

"Aduh, kamu ini!" Satu tangan dengan lembut menopang belakang leherku dan membaringkanku kembali.

Tidak ada bedanya. Alas tempatku berbaring berguncang sama hebatnya dengan kepalaku saat ini. Malah mungkin memperparahnya.

"Kenapa kamu bangun tiba-tiba begitu? Kamu udah nggak sadar selama tiga jam—

"Apa?!" Sekali lagi aku bangun, terang-terangan mengabaikan pengalaman melotot selebar-lebarnya.

Dua perempuan yang ada di hadapanku mengerjap. Aku ikut mengerjap.

Di detik pertama, aku tidak mengenali mereka sedikit pun. Kepalaku masih terombang-ambing karena rasa sakit. Ditambah goncangan yang tidak enak ini dan cahaya remang-remang yang membungkus, ingatanku yang baru bangun semakin memburuk kinerjanya.

Sampai ... kenangan terakhir itu masuk ke dalam kepalaku sejurus kemudian.

Kepala yang tadi kosong langsung terisi berbagai umpatan. Dua perempuan yang asing langsung terlihat sangat familiar. Namun hanya dua. Sisanya—wajah-wajah lain yang menunduk dan tampak murung di belakang mereka—sama sekali tidak bertambah familiar.

Pandanganku beredar ke setiap sudut dan sadar, lantai telah—jika sesuai yang dikatakan dokter Citra tadi—tiga jam menjadi alas tidurku. Dan hanya aku. Maksudku, tidak ada orang lain di lantai dan aku ditatap setidaknya tiga puluh orang wanita dan anak-anak lain dengan pandangan aneh.

Jika saja tidak ada yang lebih mendesak untuk dikeluarkan di dalam kepalaku, sudah pasti aku akan minggat sejauh mungkin dan mengubur diri hidup-hidup.

Atau mungkin hanya minggat.

Segera saja, aku melakukan analisis cepat. Tidak ada anggota tubuhku yang patah. Sepatuku masih ada di tempat. Kami sedang bergerak entah ke mana di dalam mobil. Dari kegelapan dan jumlah kursi yang ada, kurasa saat ini aku ada di dalam boks mobil truk bak tertutup yang biasa digunakan Komite dalam misi penyergapan.

Jika mengesampingkan suara impuls dari orang lain buah dari kecemasan yang menumpuk, tidak ada yang bisa didengar selain deru mesin. Tidak ada bau yang bisa dicium selain bau mesin dan lumut. Aroma humus tercium samar dari udara yang mengalir ke dalam boks. Kelembapan tinggi.

Kami ada di bawah tanah.

"Kita jalan ke mana sekarang?" Aku bertanya pada tante Rina dan dokter Citra, siapapun yang bersedia menjawab.

"Ke tempat persembunyian." Dokter Citra memberitahu. Mendapat pandangan tak puas dariku, ia mengangkat bahu. "Nggak ada yang kasih tau. Makanya disebut tempat persembunyian."

Dokter ini kira aku bego?

Sekali lagi pandanganku mencari, kali ini termasuk celah tersempit di antara kaki-kaki yang menghalangi pandangan, karena menyadari tubuhku benar-benar terasa hampa.

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang