Basis aruna, kota Jakarta, Satu jam Sebelumnya
"Tolong tahan sebentar." Aku melilitan kain sekencang mungkin ke lukanya.
Pria tangguh itu tidak meringis ataupun tampak kesakitan. Dia menahan diri dari terlihat kesakitan, seperti layaknya pria-pria lain yang sudah aku temui sepanjang zaman.
Pandanganku sekilas menyisir sekeliling sejauh berkilo-kilometer. Puluhan bahkan ratusan orang terbaring tak berdaya di lantai seadanya. Aruna ataupun manusia. Terluka maupu terinfeksi. Masing-masing dari mereka menderita berbagai luka dan tahapan infeksi, mulai dari yang ringan sampai yang tidak memiliki harapan lagi. Darah mereka yang menetes ke tanah memenuhi udara dengan aroma amis yang menyesakkan. Sementara yang berdiri dan sehat termasuk aku hanya bisa dihitung dengan jari.
Enam meter di sebelahku, Citra menangani pasien-pasien dari kalangan aruna yang terinfeksi gigitan agatya. Tanpa takut gadis itu menyuntikkan cairan serum kepada banyak Aruna, mulai dari mereka yang masih normal sampai yang mulai menunjukkan sifat agresif dan tidak segan hendak menggigitnya.
Citra luar biasa. Dengan kondisi pemulihan yang sudah sangat lemah sampai menyamai kecepatan pemulihan manusia, sungguh luar biasa dia masih ada di sini dan bersedia membantu. Sekarang dia memiliki kak Ghalih yang membantu. Tidak bisa dibayangkan seperti apa kondisinya ketika dia sendirian.
"Kenapa kalian menolong kami?"
Pertanyaan itu menyentakku sampai bertukar pandang dengan pria yang kini tampak kebingungan itu. "Kenapa maksudnya?"
Pria itu mengernyit. Telunjuknya menuding lambang di seragamnya sendiri. "Aku ini Komite. Kami ke sini untuk membunuh kalian. Kenapa kalian menolongku? Menolong kami semua?"
Entah ekspresi apa yang harus aku berikan, jadi aku hanya bisa tersenyum. "Kalau itu jangan tanya saya...." Karena aku pun sebenarnya tidak ingin menolong kalian semua.
Teringat olehku saat ledakan besar beruntun itu tiba-tiba terjadi dan meruntuhkan markas. Gilang sudah berhasil mengevakuasi sebagian besar Aruna di markas, tapi kedatangan pasukan bantuan membuat kami kewalahan terutama karena para aruna yang terinfeksi ikut lepas dan menyerang semua orang.
"Tapi mungkin...." Aku meneruskan, memberikan senyum terbaik kepada petugas itu. "Kalau Anda tanya kenapa kami nolong kalian semua juga ... karena para aruna ini ... udah nggak mau lihat kematian karena konflik seperti ini lagi. Banyak dari mereka adalah survivor dari tragedi agatya yang pertama. Mereka tahu dampak jika agatya sampai dibiarkan sebanyak dulu dan nggak mau konflik ini terus berlanjut."
Meski harus kuakui, usaha itu kian sulit sekarang ini. Jumlah aruna yang terus berkurang dan agatya yang bertambah di luar kendali membuat usaha untuk mencegah kondisi di masa lalu terulang kembali semakin terasa mustahil. Kabar diserangnya banyak pasukan yang diam-diam dibentuk Dewan Kehormatan juga menjadi pukulan tersendiri bagi Gilang. Itu pencorengan nama, tapi Gilang lebih memikirkan soal bertambahnya jumlah agatya daripada kenyataan bahwa Dewan Kehormatan sudah tidak percaya padanya lagi.
Gilang terlihat terpukul dengan jumlah orang-orangnya yang kembali berkurang, tapi dia bukan tipe pemimpin yang mudah terpuruk. Tanpa ragu, dia memerintahkan untuk menolong semua pihak, Aruna maupun manusia, orang sipil maupun Komite. Kondisinya yang tetap kuat memengaruhi aruna yang lain dan itu hal yang baik.
Jadi mumpung aku ada di sini, kupikir tidak ada salahnya aku membantu mereka.
"Mereka?" Pria itu sekali lagi terlihat heran. "Kamu nggak sependapat?"
Ah, meski terluka, otaknya tetap saja tajam ternyata. "Sekarang Bapak lebih baik istirahat dan memulihkan diri." Aku bangkit berdiri. "Saya akan bawakan air."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Destiny
Vampire[ARUNA SERIES #3] [Young Adult Fiction! Rated for Detailed Violence!] Aruna kini diburu untuk dimusnahkan. Mereka menjadi mangsa bagi predator baru yang lebih ganas dan tidak memiliki akal maupun hati nurani yang diciptakan oleh Yusriza Ganen...