"Kau berubah, Ratna."
Kata-kata itu ... sekali lagi terulang di dalam kepalaku.
"Jika kau tidak berubah, kita tidak akan seperti ini."
Mengabaikan segala impuls lain yang datang menyerbu, aku memeriksa diri sendiri. Kedua tangan dan kaki lengkap. Pendengaran dan penciuman berfungsi. Tubuhku hangat dan tidak terasa cairan apa pun membasahi pakaian ata kulitku selain air yang kuyakin adalah keringat sendiri.
Tanah tempatku berbaring terasa lembab dan basah, khas tanah hutan. Strukturnya keras yang artinya mungkin kami jauh dari sumber air.
Segera saja kugerakkan tubuh untuk menganalisis sekitar. Sepelan mungkin.
Telapak tanganku menyentuh permukaan tanah yang kasar, basah dan lembab. Aroma tanah menyusup masuk diikuti embusan angin yang membawa banyak suara keributan dan aroma darah.
Darah aruna.
Agatyakah?
Aku membuka mata, sekecil mungkin agar tidak kentara. Hanya tanah dan tidak ada dedaunan khusus yang terlihat di dekatku. Hanya ada dedaunan perdu yang memang khas dari sebuah hutan di iklim tropis.
Merasa keadaan aman, aku pun membuka mata lebih lebar, melihat deretan pohon dan semak mengelilingi. Lagi-lagi, aku gagal mengenali sekitar.
"Aku tidak mau! Tidak tanpa Bella bersama kita!"
Suara itu asing, tidak kukenal sama sekali, tapi berkatnya, kemarahan mengetuk-ngetuk belakang kepalaku. Cukup kencang untuk membangunkanku di tengah malam dan menular kepadaku dengan intensitas kemarahan yang sama parahnya. Sepela sebelumnya, aku kembali menutup mata.
Tetap tenang, kubisikkan larangan itu ke dalam diri sendiri. Dia ada di dekat sini, Ratna. Kau harus tetap terlihat belum sadarkan diri.
"Lalu apa maumu?" Suara Arka menggelegar membelah kesunyian. "Kita menyia-nyiakan pengorbanannya dan gila di sini karena tidak bisa melaksanakan perintah bajingan itu?"
"Pengorbanan?" Lawan bicara Arka tampaknya tidak berniat untuk mundur dan mengalah. "Tidak ada yang ditinggalkan! Itu peraturan kita! Kamu sendiri yang mengatakannya! Dan sekarang, kamu berkata kita tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan Bella? Keluarga macam apa itu?"
Angin hutan kembali berembus, kali ini lebih kencang, menerbangkan lebih banyak bebauan.
"Aku tidak akan mengorbankan siapapun lagi." Ketika akhirnya terdengar suara Arka kembali, suaranya bergetar. Amarahku yang ikut mendidih menandakan suara itu bukan sekadar bergetar karena kesedihan. "Tidak kalian juga."
"Kamu sudah kehilangan semua orang ketika menjual kami semua ke makhluk laknat itu!" Hardikan itu menggema dengan keras. "Kamu menurutinya, membuat kita menjadi tidak lebih dari kaki tangan rendahan manusia—
"Aku hanya mencoba menyelamatkan kalian!" Arka balas berteriak, namun kali ini, suaranya terdengar sangat putus asa. "Aku tidak akan membiarkan kalian mati di sana!"
"Dengan membuat kita semua menjadi anjing seperti sekarang? Itu lebih buruk dari kematian!" Lelaki itu menghardik Arka lebih keras.
"Kita akan mendapatkannya kembali!" Arka bersikeras. "Aku sudah bersumpah tidak akan meninggalkan siapapun."
"Bagaimana dengan Evan?"
Dentam amarah Arka meletup, meledakkan emosiku ke tahap yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Tidak pernah ada yang bernama Evan di sini." Suara Arka terdengar berbeda: miskin dari emosi semacam apa pun.
"Karena dia pengkhianat?" Suara perempuan itu angkat bicara lagi. "Aku paham tidak ada kata ampun baginya, tapi tidak bisakah kita memanfaatkan dia? Setidaknya kita bisa berpura-pura meminta tolong sebelum gantian mengkhianatinya. Berkhianat pada orang semacam itu tidak salah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Destiny
Vampiros[ARUNA SERIES #3] [Young Adult Fiction! Rated for Detailed Violence!] Aruna kini diburu untuk dimusnahkan. Mereka menjadi mangsa bagi predator baru yang lebih ganas dan tidak memiliki akal maupun hati nurani yang diciptakan oleh Yusriza Ganen...