34. Kecemasan Semua Orang

955 146 55
                                    


Basis aruna, Manhattan, Februari 2007

Untuk ketiga kalinya, tangan itu menepis bantuanku dengan kasar. Darah hitam memercik ke wajahku. "Sudah kubilang, urus saja lukamu sendiri!"

"Lo nggak waras?" hardikku balik tak habis pikir. Sekali lagi aku meraih lengan bajunya, hendak memeriksa salah satu dari sekian banyak lukanya yang tidak kunjung pulih, tapi untuk kesekian kalinya, Maraditya menepis tanganku. Bahkan kali ini lebih kasar dan tak pelak, aku pun naik pitam. "Lo itu mau mati ya?"

"Katakan itu pada dirimu sendiri!" Maraditya balas menghardik. Tatapannya sarat akan hinaan. Satu lengannya sibuk menekan luka yang menganga di perut sementara tangannya yang lain bersandar di tembok, menopang tubuhnya. Meski sudah dalam kondisi seperti itu, ia masih memiliki tenaga untuk menyeringai. "Ada apa? Kamu kesal karena gagal menggadaikan nyawamu malam ini?"

Kata-kata itu menohok demikian tajam, mengembalikan luka masa lalu yang hampir saja aku lupa ke permukaan. Mulutku terkunci rapat, tak sanggup bekomentar. Dan hal ini justru membuat Maraditya tersenyum puas.

Kekehan tawa yang terdengar menyayat keluar dari mulut Maraditya. Perlahan tubuhnya merosot ke lantai. "Kurasa memang hanya cara mengakhiri hidup terkutuk inilah yang ada di pikiranmu selama ini...." Tak butuh waktu lama bagi genangan darah untuk terbentuk di bawah tubuhnya.

"Lo mau bilang gue kepingin mati?" desisku kesal sebelum berlutut di tanah dan meraih kerah bajunya, menariknya paksa. "Jangan sembarangan menyimpulkan, Berengsek."

Maraditya berhenti tertawa. "Kamu benar." Senyum ironis itu masih belum mau beranjak dari wajahnya. "Maaf. Aku sembarangan menyimpulkan."

Lagi-lagi begini.

Aku membalas senyum menghinanya. "Bukannya lo pun sama selama ini?" Tanganku perlahan lepas dari kerah bajunya. Maraditya bergeming. Tidak kembali bersandar. "Lo pun nggak pengen ada di sini kan? Makanya lo selalu begini. Nurut, jawab ya, nggak pernah nolak, nggak pernah ngomel, nggak beda sama budak."

Seakan ia tidak pernah tulus menjalankan semua ini. Seakan ... ia 'mematikan' dirinya sendiri jika sudah berhubungan denganku.

Setelah aku pikir kami sudah mencapai titik baru, titik komunikasi ketika kami berdua benar-benar sudah saling bicara, hanya dengan satu masalah ini, kami kembali ke titik awal: aku cerewet, sementara dia pasif.

Mendadak merasa muak melihat wajahnya, aku pun berdiri dan menjauh. "Di sini gue yang budak. Gue yang terikat, sementara lo aruna yang bebas," Aku menjeda sejenak, memberi diriku sendiri ruang untuk bernapas.

Perasaan iba dan tak tega untuk meninggalkannya menusuk-nusuk dasar hatiku, tapi berusaha kukeraskan nurani untuk kali ini. Wajah Maraditya—wajah kak Yuda—menatapku. Kami bertukar pandang dalam suasana diam yang terasa menyesakkan. Orang ini, pembunuh ini, malam ini terluka karena melindungiku mati-matian. Aku selamat malam ini dengan hanya beberapa luka gores karena dia menjadi tameng hidup ... demi seorang anak sebatang kara yang dia bunuh saudaranya.

"Gue nggak tau apa yang terjadi antara lo dan kak Yuda. Dan nggak mau tau." Maraditya terperanjat, tapi seperti sebelumnya, mulut aruna itu terkunci. "Tapi apapun itu, lo nggak perlu usaha sampai begini jauhnya. Kayak kata gue tadi, lo aruna yang bebas. Selagi hidup dan nggak ada Komite ngejar lo, mendingan lo segera minggat dari sini."

Aruna itu terdiam. Mulutnya masih saja tertutup rapat, tapi wajahnya yang berubah pahit memberiku lebih dari satu jawaban.

"Gue tau ... gue ngatain lo pengkhianat dan julukan itu sampai sekarang masih belum berubah. Di mata gue lo masih pengkhianat, tapi gue yakin, nggak ada pengkhianat yang bekerja sendirian."

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang