53. Terima Kasih

801 129 66
                                    


Mungkin inilah yang dimaksud sedikit bagian dari neraka bocor ke bumi.

Di tengah kepulan api dan ledakan yang terdengar beruntun membakar segalanya, kami bertiga terjebak dalam pertarungan tiada akhir. Para agatya terus menyerang bagai setan-setan penghuni kerak neraka, sementara di depan sana, iblis yang abadi masih terus menyerang kami para pendosa yang tidak kenal kata jera.

Yah, bukannya aku akan protes juga jika memang dimasukkan ke neraka sebenarnya. Aku cukup tahu diri tidak membuat banyak kebaikan untuk dapat masuk ke tempat seindah surga.

Kaki Yusriza, untuk kesekian kalinya, menampar wajahku telak.

Tubuhku terpental, berputar di udara, sebelum akhirnya mendarat ke tanah. Tanpa kedua pedang di tangan yang menjadi tuas rem, wajahku saat ini mungkin sudah lebih hancur lagi. Tidak berleha-leha, aku langsung mencabut pedang dari tanah, menebas agatya yang berani mendekat, melempar mereka ke api yang membara di sekeliling kami, atau sekadar melemparnya sambil lalu, menyimpannya untuk dihadapi nanti.

Di depan sana, Nara beradu sengit dengan Yusriza.

"Aku tidak paham kenapa kalian berjuang sekeras ini." Yusriza berhasil menendang perut Nara, memberiku rasa sakit yang sama. Yang artinya dalam beberapa jam ini, rasa sakit itu bertambah dua kali lipatnya. "Peran penjahat dan pahlawan sudah ditentukan bahkan sebelum semua konflik ini dimulai."

Untuk mungkin kesepuluh kalinya, aku meludahkan darah ke satu agatya, membuat makhluk itu sibuk untuk beberapa lama, sebelum aku membantai mereka tanpa ampun.

Pedangku menembus mulut seekor agatya sampai ke tengkoraknya. Bilah lengkung dari katana milikku membelah udara dengan mudah, menebas agatya yang berusaha mendekat kendati tubuhku sendiri tidak bisa lolos dari satu-dua luka gores.

Mungkin dia memang sudah membuat dunia melihat semua ini dan berhasil membaut semua negara mendiamkan pembantaian yang terjadi di sini. Dia sudah mendapat persetujuan dari dunia yang juga dipimpin oleh para pemimpin yang ketakutan pada Aruna.

Sementara dia mungkin akan jadi pahlawan setelah semua ini berakhir dan menjadi percontohan yang ditiru oleh banyak orang, pihak yang melawan seperti pak Darius, dan kaum seperti Nara di akhir semua konflik ini akan menjadi penjahat yang tidak akan dimaafkan.

Tidak ada akhir yang baik bagi semua konflik ini. Jika Aruna menang, artinya Perang Merah Kedua dimulai. Tapi, jika Manusia yang menang, pemunahan semacam ini akan berulang di berbagai negara sampai Aruna benar-benar bersih dari dunia ini.

Kalau begitu sejak awal semua konflik ini adalah kesalahan. Aku benar-benar mengutuk orang yang menciptakan semua ini hanya karena ambisi egois dan ketakutannya pada aruna!

"Dengan kata lain, pertarungan ini sia-sia." Kerugian yang tak terukur, korban yang tidak akan dapat kembali walau kami telah memohon sampai suara kami habis, dan pengucilan akibat gelar pengkhianat negara, hanya semua itu yang akan kami dapatkan setelah semua ini berakhir. "Gue nggak sedangkal itu, Keparat!"

Aku berputar, menyerag sekumpulan agatya yang menyerang ke arahku secara bersamaan. Mereka semua tewas dengan mudah sementara aku melompat, menerkam Yusriza dari atas. Manusia itu melihat seranganku dengan jelas dan ikut melompat, membuat serangan kami saling bertemu di udara dan mementalkan kami sekali lagi ke dua arah yang berbeda.

Tapi aku tidak berhenti semudah itu. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, sambil menahan rasa sakit yang semakin menggerogoti badan, aku menerjang Yusriza, berkali-kali. Lagi dan lagi. Tanpa kenal kata berhenti.

"Kalau kalah artinya kami jadi penjahat...." Seranganku sekali lagi bisa ditepis Yusriza. "Dan menang bukan berarti kami bakal dilihat sebagai pahlawan...." Serangan berikutnya yang datang dari Yusriza berhasil kutepis. "Persetan dengan semuanya!"

Blood and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang