"Nara?"
Lagi, dia terlihat seperti itu. Matanya memandang lurus ke bawah, tapi tidak ada yang ditatapnya di sana.
"Apa?" Aruna di sampingku menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali.
Kurang ajar.
"Gue bilang gue bisa sendiri."
Sayangnya, aruna keras kepala satu ini sama sekali tidak menigndahkan ucapan itu dan malah memasukkan daging ayam rebus yang telah dipotong dadu ke dalam panci.
Nara menutup panci dengan santai sebelum melirik ke arahku. "Kamu seharusnya istirahat."
Oke, aku mati kutu.
Kenapa kalimat pertama yang diutarakannya sekali lagi berkaitan denganku?
"Cih, gue nggak selemah itu!"
Aruna itu tertawa pelan. "Kamu masih keras kepala."
"Lo lebih keras kepala," Telunjukku menuding lantai tidak bersalah di seberang ruangan dan pintu yang dipasang seadanya di sana. "Kalau bukan gue berdiri duluan, kita masih bakalan di—
Telunjuk yang tadinya menuding dengan sangar itu mendadak saja lunglai saat tangan Nara terulur menyentuh wajahku.
"Aku masih tidak percaya semua ini...." Sementara aku masih kehilangan kata-kata, Nara sudah menunduk, memberikan satu kecupan di puncak kepalaku dan terdiam di sana. "Aku masih sangat tidak memercayainya."
Ada kebingungan dalam suaranya. Ada tanya dalam kata-katanya.
"Lo masih ragu," ujarku tanpa bermaksud menuduh.
Nara mengiyakan dengan samar.
"Aku tidak bisa merasakan apa-apa sejak saat itu." Ah, benar. Aku yang membuatnya begitu. "Kamu tidak ditemukan di mana pun, seolah kamu lenyap menjadi abu ... tapi kamu sekarang datang dalam keadaan yang benar-benar sehat."
Dan aku berani taruhan seluruh isi kantongku sekarang, kalau yang dia maksud itu salah satunya adalah tanda budak di leherku yang lenyap tanpa bekas.
Nara tertawa sebelum kembali membentuk jarak di antara kami. "Aku ... benar-benar bingung harus berkata apa atau berbuat apa."
Aku mencuri pandang ke arah lantai di ruang tamu. Pintu di sana kupasang seadanya karena toko material pastinya belum buka dan tidak ada cukup peralatan di belakang untuk memperbaiki satu pintu ke posisi semula. Hanya beberapa senti dari pintu depanlah, kami berdua bergumul di lantai seperti anak kecil. Di lantai sekeras itu, Nara memeluk dan menciumku, membisikkan kata-kata penuh rindu yang sampai sekarang juga sulit kupercaya.
Ini memang tampak mustahil. Aku sendiri ingat betul saat merasakan api itu membakar tubuhku, panasnya, baranya, baud aging yang terbakar, rintihan menyedihkan para agatya yang mati bersamaku, dan tubuhku yang jatuh ke dalam kobaran api. Kemudian, seperti ada yang menekan tombol berhenti, semua panas, rasa sakit, dan teriakan itu berhenti.
Segalanya benar-benar berhenti.
Entah untuk berapa lama kesunyian itu bertahan sampai aku kembali mendengar suara-suara.
Kenanganku kembali mengembara ke saat-saat itu, tiga tahun lalu saat aku pertama kali bangun. Saat yang pertama kali kudengar adalah kicauan burung dan wajah yang pertama kali kutemui adalah Ratna. Aku ingat betul betapa mengejutkannya semua impuls yang muncul saat kesadaran menghantam. Seperti ada yang sedang berperang dalam tubuhku dalam keadaan seru-serunya. Semua impuls itu membuatku nyaris gila dan Ratna butuh beberapa kali usaha bersama orang lain untuk menenangkanku.
Butuh waktu seminggu yang benar-benar parah bagiku untuk bisa menguasai semua impuls ini tanpa melukai siapa pun.
Beruntung, tidak seperti sebelumnya, kali ini aku tidak kehilangan sekeping memori pun. Dan dampak dari perbuatan kacau berlandaskan modal dengkulku lumayan membuahkan hasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Destiny
Vampire[ARUNA SERIES #3] [Young Adult Fiction! Rated for Detailed Violence!] Aruna kini diburu untuk dimusnahkan. Mereka menjadi mangsa bagi predator baru yang lebih ganas dan tidak memiliki akal maupun hati nurani yang diciptakan oleh Yusriza Ganen...