Rumah Caiden, 1998
Selama lima tahun hidup bersama kak Yuda dan keluarga Caiden yang lain, aku banyak sekali bertanya, terutama pada kak Yuda.
Aku bertanya di setiap kesempatan. Berbagai macam hal kutanyakan. Sebagai seorang anak kecil, rasa penasaranku begitu menggunung. Dan di satu waktu, aku ingat pernah bertanya pada kak Yuda.
Kenapa aruna ada di dunia ini?
Di ingatanku yang lain, kak Yuda menjawab karena mereka sudah ada dari awal. Namun tidak hanya itu. Kak Yuda juga mengatakan hal yang lain lagi setelahnya, tepat sebelum aku bertanya hal lain lagi.
"Aruna ada sebagai cermin dari kesalahan manusia di masa lalu," terangnya. "Manusia itu melakukan banyak hal bodoh. Mereka mewarisi noda dari dosa yang mereka lakukan kepada kita. Sepanjang hidup, yang mereka lakukan hanya berperang, tapi dengan bodohnya, mereka mewarisi pikiran tentang perdamaian kepada generasi selanjutnya, generasi yang hanya menyaksikan perang yang mereka lakukan sedari masih dalam timangan."
Aku tidak pernah mengerti seluruh penjelasan panjang itu, tapi setiap kali ingin tidur, aku selalu mengingatnya, mengulangnya di dalam kepala agar aku terus ingat dan dapat mengerti apa maksudnya suatu hari nanti.
***
Rumah Caiden, 27 Desember 1998, 21.30
Jantungku tidak pernah berhenti berdegup kencang. Lusa adalah penentuannya.
"Kalau kamu lulus, kamu akan tetap ada di rumah ini dan terus menyandang nama Caiden untuk lima tahun ke depan."
Lulus artinya tetap tinggal, sedangkan gagal artinya keluar. Aku tidak ingin gagal. Aku tidak ingin berpisah dengan orang-orang yang ada di rumah ini. Ayah dan Ibu, meski mereka keras, apa yang mereka lakukan adalah untuk kebaikanku. Kak Ferdi, kak Ina, kak Jati, dan kak Saras, walaupun jarang bicara denganku, mereka tetap saudaraku yang berharga, sama seperti kak Yuda.
Dengan hati masih berdebar kencang, aku terbayang percakapan Ayah, Ibu, kak Yuda, dan semua saudaraku yang lain semalam.
"Karena kalian salah soal Eka. Anak itu paling berbakat dari kita semua. Aku bisa buktiin, Ayah."
Itu bohong kan? Kak Yuda hanya memberi alasan kan? Paling berbakat apanya? Jika dibandingkan dengan saudara-saudara yang lain, aku hanyalah sebuah kegagalan. Benar kata kak Jati, aku ini hanya produk gagal.
"Ya, aku punya rencana."
Kira-kira apa maksud kak Yuda? Apa rencana Kakak sampai menentang kemauan Ayah dan Ibu seperti itu? Dan apakah rencana itu akan dijalankan pada malam ujian lusa?
Ketukan di pintu kamar membuatku langsung duduk di atas ranjang.
"Eka, ini aku." Kak Yuda bersuara dari seberang pintu.
"Masuk aja, Kak. Nggak dikunci." Pintu pun membuka. Kak Yuda masuk tanpa berkata apa-apa.
Setelah menutup pintu, kakak tertuaku itu duduk di tepian ranjang. Menemaniku.
Diam. Kak Yuda hanya duduk, sedikit membungkuk sambil menyatukan kedua telapak tangannya di atas paha sendiri. Matanya menunduk memandangi lantai.
"Kamu nguping."
Aku menelan ludah dengan gugup. Kak Yuda benar sadar keberadaanku yang menguping perdebatan mereka semalam.
"Maaf," cicitku takut. "Aku cuma kebetulan denger dan ... tau-tau aja ... jadi keterusan."
"Lalu?" Kak Yuda menatapku tanpa berkedip. "Bagaimana menurutmu?"
Aku mengerjap bingung. "Bagaimana ... apanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Destiny
Vampire[ARUNA SERIES #3] [Young Adult Fiction! Rated for Detailed Violence!] Aruna kini diburu untuk dimusnahkan. Mereka menjadi mangsa bagi predator baru yang lebih ganas dan tidak memiliki akal maupun hati nurani yang diciptakan oleh Yusriza Ganen...