[MARADITYA]
-
Setiap pilihan pasti punya konsekuensi. Itu adalah hukum yang berlaku di belahan dunia mana pun. Berlaku bagi siapa pun. Aku bukan pengecualian.
Tapi aku paling tidak suka harus menanggung konsekuensi itu. Apalalagi kalau konsekuensinya tidak menyenangkan dan diakibatkan orang lain.
Seperti saat ini.
Ironisnya, aku menanggung konsekuensi dari pilihan yang diambil oleh adik perempuanku sendiri.
Yeah, berengsek, memang.
Di bawah purnama yang merajai langit malam yang gelap gulita, aku terduduk di tengah kebun sayur mayur yang siap dipanen. Dengan kaus oblong dan celana tanggung plus sandal jepit yang sudah berlumur tanah, aku mencabuti satu per satu timun dan terong belanda yang masak. Sekalian mencabuti gulma yang mengganggu. Sekalian mengusir hama yang terlihat. Sekalian juga merusak tanaman parasit.
Pokoknya apa saja.
Asalkan tidak perlu menatap perempuan di sampingku ini. Perempuan yang dengan santainya, memasang wajah tanpa dosa, jongkok di sampingku, memerhatikanku sejak satu jam lalu.
Benar, sejak aku memutuskan berkubang di halaman belakang yang gelap ini sendirian.
Dan perempuan ini sama sekali tidak memberiku waktu untuk sendiri! Padahal dia yang membuatku jadi yang terakhir tapi sekarang dia malah ... aaaargghh!
Apa maunya perempuan sinting satu ini sih?!
"Kak Radit?"
Dengar kan? Bagaimana dia dengan santainya menegurku? Tanpa perlu aku menengok saja, aku tahu dia sedang pasang tampang polos terkutuk itu! Cih, dia pikir aku akan luluh hanya karena dia berjongkok, menghabiskan satu jam di sini, mengikutiku, memasang tampang polos, dan memanggilku dengan akrab begitu?
"Kakak gak tau malu ya."
APA?!
Satu buah terong belanda hancur di kepalan tanganku.
Apa katanya barusan? Tidak tahu malu? Aku?! Harusnya dia yang dihina-hina seperti itu!
Setelah membiarkan kami tidak dapat kabar dan malah membiarkan aruna sialan satu itu yang dapat kabar duluan—bahkan memberiku harapan palsu dengan selembar kertas aneh—kemudian seenaknya datang tanpa memberi kabar pada kami semua hari ini, dia pikir dia masih punya malu? Aku bahkan heran kalau kata 'malu' masih ada di kamusnya! Oke, bukannya aku emosi karena dia mendahulukan laki-laki itu. Jelas dia punya alasan dan sialnya aku tidak mungkin menentang alasan super masuk akal itu, tapi tetap saja, jika dia ingin membuat kami ada di daftar belakang setelah Gilang, seharusnya jangan mengirimiku pesan aneh yang membuatku melambung tinggi begitu! Apa dia mau merasakan jatuh dari gedung setinggi dua puluh lantai?!
Bisa kudengar dia berdecak. "Pendendam."
Astaga, kadang aku lupa betapa dia sangat menyebalkan! Kenapa pula aku merindukannya selama tiga tahun ini?! Kenapa tidak pernah sekalipun aku berharap dia mati saja?!
Dan bagaimana bisa aku dengan tololnya merasa senang setengah mati—walaupun kesal luar biasa—melihatnya ada di sini sekarang!
Perasaan sialan! Seharusnya anak ini tidak usah hadir di hidupku sekalian! Dulu hidupku aman dan tenteram sebelum mengenal dia dan saudara busuknya itu!
"Muka lo kayak orang kebelet masuk jamban."
Oke, persetan! "Muka lo tuh yang kayak bibir jamban, Dasar Adik kurang ajar!"
Aku siap menghadapi hinaan balasan, sungguh, tapi alih-alih ajakan berkelahinya yang biasa, aku justru mendapati gadis itu tertawa.
Tawa lepas yang dulu jarang sekali aku dapatkan darinya, tapi malam ini bisa kudapatkan dengan mudah hanya karena keceplosan satu kaliamat hinaan penuh dalam gaya bicara Manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Destiny
Vampire[ARUNA SERIES #3] [Young Adult Fiction! Rated for Detailed Violence!] Aruna kini diburu untuk dimusnahkan. Mereka menjadi mangsa bagi predator baru yang lebih ganas dan tidak memiliki akal maupun hati nurani yang diciptakan oleh Yusriza Ganen...