Aku mengantuk.
Hanya satu hal itu yang bia kupikirkan sepanjang waktu yang entah sudah berlalu berapa lama. Aku bahkan tidak tahu apakah ada ujung pangkal dari pikiran itu. Yang aku tahu hanya, aku sangat mengantuk. Dan beruntungnya, kedua mataku yang terpejam mendukung penuh keputusanku satu itu.
Sayang, cahaya lembut it uterus menerus menggangguku. Terus saja berkata sebaliknya dalam diam.
Terus saja membujukku untuk membuka mata.
Semburat jingga lembut yang aneh terus mengetuk kelopak mataku yang tertutup. Warna yang aneh. Aku belum pernah melihat cahaya terang menembus kegelapan dengan kelembutan seperti ini. Biasanya, aka nada semburat merah yang sangat kuat yang sudah pasti akan sangat menyakiti mata jika berani membuka.
Namun cahaya kali ini sama sekali tidak terasa mengganggu. Tidak terasa menyakitkan.
Hampir seolah-olah selembut buaian angina sejuk pembawa hujan di tengah paceklik.
"Eka?'
Suara. Sebuah suara yang anehnya sangat familiar.
Benakku yang berkabut mencoba menarik-narik sulur pikiran yang tersebar entah ke mana. Betapa familiernya suara itu mengusik sesuatu dalam diriku.
Kemudian, seolah ingin menunjukkan keberhasilan, sebuah sosok terbentuk dari suara itu dalam pikiranku. Sosok itu seorang laki-laki. Berambut pendek dan berkacamata hitam tipis. Rambutnya disisir rapih ke kanan sementara ekspresi wajahnya walaupun tanpa senyum, terlihat rileks. Matanya tertuju padaku dan hanya kepadaku.
Yuda.
Bagaikan sebuah reka ulang adegan film yang dipercepat, beragam imej berseliweran dalam kepalaku, memberitahuku berbagai hal yang aku rasa. Semua hal yang aku saksikan sedari awal hingga hal terakhir yang aku ingat, kembali ke dalam benakku. Kembali kepada pemiliknya. Mereka datang, walau dengan kecepatan tinggi, masih seutuh yang aku ingat. Tanpa ada bagian yang dilewatkan.
Kemudian, semua terpotong begitu saja.
Lautan api, rasa sakit, ratusan monster tanpa kulit dengan lidah panjang menjulur mematikan mengepung, dan seseorang yang berlari menjauhiku.
Nara.
Nama itu membuat jantungku ebrdetak lebih cepat.
Sosoknya yang pergi melewati lautan api dengan selamat menjadi hal terakhir yang benar-benar kuperhatikan. Dia pergi setelah aku memerintahkannya. Setelah aku memaksanya.
Kemudian, segalanya ditelan api yang membara dan menyilaukan. Api yang anehnya kemudian berubah putih dengan cepat. Dan semuanya berhenti.
Aku membuka mata perlahan.
Benar adanya. Sinar itu tidak menyakitkan. Sinar itu menyambutku lembut seperti buaian angin setelah hujan berhenti. Di atas kepalaku, tirai biru berayun lembut tertiup angina yang menyelinap lewat jendela yang membuka. Di luar, tidak ada sinar matahari yang menyengat. Namun langit tampak biru dan awan putih yang berarak di atasnya terlihat sejelas hari yang cerah.
TIdak ada suara keramaian yang bisa kudengar. Hanya suara napasu sendiri, degup jantungku yang stabil. Dan tambahan, suara angina yang berembus sepoi-sepoi memanggil dari luar.
"Akhirnya kamu bangun."
Suara itu membuat kepalaku menyentak ke arah sebaliknya. Ke sisi yang lain.
Kak Yuda tersenyum, tipis dan sekilas, kepadaku. Sebelum wajahnya kembali menjadi tanpa ekspresi seperti kak Yuda yang aku kenal.
Aku langsung bangun, terduduk di alas yang ternyata kasur berselimut, dan mundur sampai tanganku menyentuh tepian kasur. Mataku menelusuri ruangan tempatku berada dengan liar, memergoki lemari, meja belajar mungil berwarna khaki di sudut, tumpukan buku di atas rak kayu mini, lemari baju yang berdiri di sebelahnya, serta cermin ukuran tubuh yang berdiri di depan sebuah meja rias kecil yang kosong. Di dekatnya, pintu kayu kamar ini tertutup. Tidak ada kunci di lubang pintunya, jadi aku tidak punya jalan keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Destiny
Vampiri[ARUNA SERIES #3] [Young Adult Fiction! Rated for Detailed Violence!] Aruna kini diburu untuk dimusnahkan. Mereka menjadi mangsa bagi predator baru yang lebih ganas dan tidak memiliki akal maupun hati nurani yang diciptakan oleh Yusriza Ganen...