Mungkin ini adalah malam yang paling mengerikan bagi Wiro Sableng selama dia menginjakkan kaki dalam rimba persilatan Tiongkok. Segala sesuatunya gelap, hitam memekat. Hujan turun dengan lebat, angin bertiup dingin mengeluarkan suara aneh tiada hentinya. Sekali-sekali guntur menggeledek dan di kejauhan terkadang terdengar suara lolongan liar serigala hutan.
Dalam keadaan basah kuyup Wiro berusaha mencari perlindungan. Saat itu dia berada di lereng sebuah bukit gundul, sekitar 100 lie dari tembok besar.
"Hujan gila!" memaki Wiro. Dia lari terus. Dalam kepekatan itu di kejauhan dilihatnya satu bayangan hitam sebuah bangunan. Dia tak dapat memastikan bangunan apa adanya itu, namun Wiro segera menuju ke sana. Sesaat kemudian, bila dia sampai ke tempat tersebut ternyata klenteng yang sudah tidak terpakai lagi, Wiro mendekam di bawah atap klenteng yang miring.
Hawa dingin baginya bukan apa-apa tetapi perut yang kosong keroncongan betul-betul merupakan siksaan.
Sekilas kilat menyambar. Bumi sekejapan terang lalu gelap lagi. Ketika sekali lagi kilat berkiblat tiba-tiba sepasang mata Wiro yang tajam melihat sebuah batu empat persegi yang tebalnya hampir tiga jengkal, lebar dua meter dan panjang tiga meter. Batu ini menutupi hampir separuh dari bagian depan klenteng itu.
Meskipun dia tak mengerti mengapa batu itu sampai berada di tempat tersebut, dan kelihatannya di sana, semula Wiro tak mau ambil perduli. Namun ketika sekali lagi pula kilat menyambar menerangi tempat itu. Tepat di atas batu besar itu menggeletak sebuah tengkorak kepala manusia. Sepasang matanya yang merupakan dua buah lobang besar, memandang menyorot mengerikan pada Wiro sedang mulutnya seolah-olah melontarkan seringai maut ke arah pendekar ini. Pada batu besar itu, tepat di bawah tengkorak tadi, terdapat tulisan yang agaknya dibuat dengan darah berbunyi: Liang Se-thian (Liang Akhirat).
"Gila betul! Apa-apaan ini?" membatin Wiro. Meskipun bulu kuduknya agak merinding juga, namun dia melangkah maju mendekati batu besar itu.
Tangannya diulurkan menjamah tengkorak. Batok tulang kepala itu terasa dingin. Jari-jari tangan Wiro Sableng bergetar. Wiro garuk-garuk kepala dengan tangan kiri. Tangan kanannya kemudian mengangkat tengkorak tersebut. Maksudnya hendak ditelitinya. Namun mendadak sontak kelihatan dua larik sinar hijau yang busuk membersit dari sepasang rongga mata yang seram dari tengkorak, menyambar ke muka Wiro. Dari warna dan baunya sinar tersebut Wiro serta merta dapat memastikan bahwa sinar ini mengandung semacam racun yang amat jahat. Sebenarnya dengan memiliki Kapak Naga Geni 212 yang dapat memusnahkan segala macam racun itu, Wiro Sableng tak usah kawatir. Akan tetapi saking kagetnya, pemuda ini secepat kilat meloncat sambil memaki membantingkan tengkorak itu hingga hancur berkeping-keping.
Secara tak sengaja tengkorak yang dibantingkan Wiro membentur sebuah tombol kecil yang terletak di saiah satu sudut batu besar. Dan belum lagi pemuda ini habis kejutnya tiba-tiba pula batu besar di hadapannya bergeser ke samping. Sebuah lobang gelap terbentang dan dari lobang ini tiba-tiba sekali melesat sesosok bayangan disertai mengumbarnya suara tertawa bekakakan yang amat dahsyat.
Angin kelebatan bayangan tadi demikian hebatnya hingga membuat Pendekar 212 Wiro Sableng terhuyung-huyung ke samping, Wiro cepat berpaling.
Sesosok tubuh yang berpakaian compang camping kurus kering tiada beda dengan jerangkong hidup dan di bawah rambutnya yang panjang awut-awutan terdapat wajahnya yang menyeramkan macam iblis ganas. Dia masih terus mengumbar tertawanya yang seram menggetarkan itu. Sedang sepasang matanya yang cekung memandang tidak berkedip pada Pendekar 212.
Wiro Sableng tetapkan hati mengusir rasa ngeri dan berseru, "Siapa kau?! Manusia apa bangsa setan pelayangan!"
Orang yang ditanya tidak menjawab. Malah dia mendongak dan kembali menghamburkan suara tertawanya yang lantang menyeramkan. Dia tertawa sepuas-puasnya. Dan bila tawanya itu berhenti tiba-tiba dia membuka mulut.
'"Tiga tahun dipendam tidak membuat aku mati! Tiga tahun disekap tidak membuat aku mampus! Tiga tahun dikubur tidak menjadikan aku modar! Betapa tingginya kekuasaan Thian!"
Wiro yang tak mengerti makna kata-kata orang aneh itu jadi garuk-garuk kepala. Siapakah adanya manusia yang ada di depannya itu, kalau dia memang manusia? Apakah dia telah terkurung atau dipendam dalam liang batu itu selama tiga tahun? Tanpa makan dan minum tapi toh bisa hidup." Hanya satu hal yang dapat dipastikan oleh Wiro yakni orang bermuka hampir seperti muka tengkorak itu memiliki ilmu yang tinggi. Ini terbukti dengan angin kelebatannya waktu keluar dari liang tadi, yang telah membuat Wiro Sableng terhuyung!
"Budak! Kau kemarilah!" Tiba-tiba orang itu berseru dan melambaikan tangannya ke arah Wiro.
Aneh! Seolah-olah ada satu kekuatan gaib yang menariknya, Wiro kemudian melangkah ke hadapan orang itu. Dia memperhatikan pendekar kita dengan matanya yang cekung seram.
"Heh, kau orang asing? Bukan orang sini! Tapi sudah, aku tak perduli! Katakan siapa namamu!"
Wiro sebutkan namanya.
"Locianpwe sendiri siapakah kalau siauwte boleh tanya?"
"Saat ini kau belum layak mengetahui siapa diriku. Tapi budak, ketahuilah. Kau telah menyelamatkanku. "Ujarnya mengatakan. "hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati. Membawa mati budi itulah yang aku tidak sudi. Karena kau telah selamatkan jiwaku dari liang neraka keparat ini maka aku akan memberikan tiga jurus ilmu pedang!"
Wiro Sableng jadi kaget.
"Locianpwe..." katanya. "Aku tak merasa menolongmu, apalagi menyelamatkan jiwamu?"
"Tidak merasa...?" Orang aneh bermuka dan bertubuh tengkorak itu kembali tertawa gelak-gelak. "Kau telah menggeser batu besar itu hingga kini aku bebas. Tiga tahun lamanya aku disekap di liang jadah ini! Kalau tidak ada kau mungkin sampai mati aku akan mendekam terus di situ! Bukankah itu berarti kau telah menyelamatkan diriku? Menolong jiwaku!?"
"Kurasa semua itu terjadi dengan tidak Sengaja. Hari hujan dan aku tersesat kemari...."
"Sengaja atau tidak tapi tetap kau adalah tuan penolongku, budak! Nah sekarang kau bersiap-siaplah untuk menerima tiga jurus ilmu pedang dariku!"
"Aku tanya dulu, Locianpwe!" memotong Wiro.
"Tanya apa?"
"Tiga tahun dipendam di dalam liang batu ini, bagaimana Locianpwe masih bisa hidup?"
"Bukan cuma masih bisa hidup, malah menambah ilmu kesaktianku."
"Ah, itu hebat sekali! Tapi cobalah Locianpwe terangkan bagaimana hal itu bisa terjadi. Manusia biasa tak bakal bisa terus hidup. Kecuali kalau Locianpwe ini sebangsa jin...!"
Sesaat orang tua bermuka tengkorak itu mendelik dan mimiknya seperti hendak menelan Wiro bulat-bulat. Tapi sesaat kemudian kembali suara tertawanya yang dahsyat terdengar.
"Terhadap orang yang telah menolong jiwaku tiada beda seolah-olah aku telah meminjam nyawamu sendiri. Karenanya apa pun yang kau bilang aku tak akan marah!"
"Ah, kau terlalu berlebih-lebihan, Locianpwe..."
"Mungkin... mungkin. Sekarang bersiaplah untuk menerima pelajaran ilmu dariku. Tapi..." Orang itu sejenak berpikir-pikir.
"Sebelum pelajaran ilmu pedang, sebaiknya lebih dulu kuberikan sepertiga iwekangku padamu!"
"Locianpwe, sebenarnya untuk satu pertolongan yang tidak sengaja itu aku tidak meminta balas jasa apa...."
"Perduli apa, toh aku memberikannya dengan sukarela."
"Walaupun begitu aku tetap tak layak menerimanya."
"Sudahlah, jangan banyak mulut. Lekas duduk bersila dan hadapkan punggungmu padaku. Aku akan buka jalan darah tay hwi hiat di bagian tubuhmu itu!"
Wiro tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti dan duduk bersila. Si muka tengkorak kemudian berlutut di belakang Wiro dan letakkan kedua telapak tangannya pada punggung pemuda ini. Sesaat kemudian Wiro merasakan punggungnya menjadi hangat. Hawa hangat itu terus mengalir menembus kulit dan daging di punggungnya, mengalir ke seluruh pembuluh darahnya. Sekira seperempat jam kemudian dengan butiran-butiran keringat di kening dan pakaiannya yang compang-camping basah kuyup, si orang tua itu buka kedua matanya dan berdiri. Dia menghela nafas lega.
"Berdirilah!"
Ketika berdiri Wiro merasakan betapa tubuhnya kini terasa amat mantap dan enteng. Sebagai seorang pendekar sakti mandraguna sebelumnya Wiro Sableng telah memiliki iwekang (tenaga dalam) yang amat tinggi. Ini ditambah pula dengan sepertiga bagian tenaga dalam baru dari seorang sakti misterius itu, dengan sendirinya dapat dibayangkan bagaimana hebat dan luar biasanya tenaga dalam yang sekarang dimiliki oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu.
"Sekarang kau perhatikan baik-baik. Aku akan mainkan tiga jurus ilmu pedang yang dahsyat. Sesudah itu kau menirukannya."
Orang sakti aneh itu rentangkan kedua kakinya. "Ini jurus pertama. Bernama Cip hian-jay-hong (Tiba-tiba muncul pelangi). Perhatikan baik-baik!" Kemudian, "Jurus kedua Lo han Ciang-yau (Malaikat Menundukkan Siluman)" Setelah itu, "Dan ini jurus terakhir kunamai: Kui-gok-sin-ki atau Setan Meratap Malaikat Menangis! Nah sekarang kumainkan sekali lagi satu persatu dan kau menirukannya."
Wiro manggut-manggut sambil garuk-garuk kepala dan sepasang matanya memperhatikan dengan teliti. Bila orang tua tak dikenal ini selesai memainkan jurus pertama yang disebut "Tiba-tiba Muncul Pelangi" maka Wiro pun menirukannya. Demikian seterusnya.
Si orang tua tertawa lebar dan usap-usap janggutnya yang panjang acak-acakan. "Budak, ternyata kau memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan meskipun tampangmu tolol tapi otakmu cerdas. Hanya dua kali melihat, kau sudah dapat menirukan masing-masing jurus ilmu pedang tadi tanpa salah sedikitpun! Dan dalam gelapnya cuaca begini, kau betul-betul hebatl Asal kau rajin melatih diri, pasti kau tak akan dapat dirubuhkan oleh jago pedang dari negeri mana punl"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Nah, untuk sementara segala hutang budi kurasa sudah terbayar. Cuma hutang nyawa yang masih belum impas. Di lain hari kelak aku akan datang membayarnya berikut bunganya. Selamat tinggal budak.... "
"Locianpwe, tunggu!" Wiro berseru cepat.
"Ada apa pula, budak?!"
"Sudilah Locianpwe mengatakan siapa adanya manusia jahat yang telah mencelakakan dan memendam Locianpwe dalam liang batu itui"
"Memangnya kenapa, budak?"
"Aku akan mencarinya guna membalaskan sakit hati Locianpwe sebagai tanda terima kasih atas budi baik yang Locianpwe berikan hari ini padakul"
Si orang tua tertawa gelak-gelak. "Budak, ternyata kau seorang yang punya hati polos, budi luhur dan tahu peradatan. Tapi ketahuilah, soal dendam kesumat dengan orang yang telah menjebloskan diriku dalam liang akhirat ini biarlah tetap menjadi urusanku dan tanggung jawabku!"
"Satu pertanyaan lagi, Locianpwe," kata Wiro. Tapi astaga! Padahal kata-kata terakhir orang itu masih ternigiang di telinga Wiro, tapi sosok tubuhnya sendiri sudah berkelebat lenyap dari hadapannya. Tadi dia hendak menanyakan bagaimana selama tiga tahun terpendam di liang batu itu si orang tua masih bisa hidup. Tapi yang hendak ditanya sudah melesat pergi. Wiro melangkah mendekati lobang batu itu. Gelap. Dia berlutut dan meluruskan tangannya meraba-raba. Aneh, dinding liang itu dirasakannya basah dan berlapis semacam benda lembut. Ketika dikorek dan diteliti ternyata adalah sejenis lumut yang dapat dimakan.
"Hemm..." menggumam Wiro. Kini dia mengerti. Liang batu tersebut ditumbuhi oleh lumut dan lumut inilah yang menjadi satu-satunya makanan yang menjadi pengisi perut orang misterius tadi selama tiga tahun dipendam di situ!
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Di luar hujan telah mulai reda. Tiba-tiba sepasang telinga Wiro yang tajam mendengar suara berdesir, di belakangnya lima pisau terbang menderu ke arah lima bagian tubuh pendekar ini. Tahu bahaya mengancam secepat kilat Wiro jatuhkan diri dan berguling ke sudut ruang ini. Lima pisau melabrak dinding, sebuah menancap, empat lainnya jatuh berkerontangan di lantai.
"Pembokong pengecut! Coba perlihatkan tampangmu!" teriak Wiro marah.
Dua sosok tubuh kemudian melesat masuk ke ruangan itu.
***
DUA orang yang barusan melesat masuk itu bertampang garang dan seram. Rambut merah panjang awut-awutan, kumis dan janggut berangasan. Mereka mengenakan jubah hitam. Pada leher masing-masing tergantung sebuah kalung emas yang mata kalungnya merupakan kepala seekor harimau tengah mengangakan mulutnya.
"Aku tidak kenal siapa kalian! Sama sekali tidak ada permusuhan di antara kita. Kenapa kalian menyerangku?" Wiro menghardik.
Kedua orang itu tidak menjawab. Yang satu melangkah mendekati liang batu dan memandang tajam ke dalam. Sesaat kemudian dia berpaling pada kawannya dan dengan paras berubah kaget dia berseru, "Liang batu ini kosong!"
"Hah?!" sang kawan tampaknya juga kaget sekali dan dengan satu gerakan kilat tahu-tahu sudah berada di tepi lobang batu. Memandang ke bawah dilihatnya liang batu itu benar-benar kosong.
"Pasti bangsat inilah yang telah melepaskannya!"
Sesaat kedua orang itu memandang melotot pada Wiro. Salah seorang dari mereka mendengus, dan buka mulut, "Mengaku! Bukankah kau yang telah menggeser batu besar ini dan melepaskan orang yang dipendam di dalamnya?!"
Wiro Sableng paling benci pada manusia-manusia yang kasar dan galak serta memandang rendah orang lain seenak perutnya. Apalagi barusan kedua orang tak dikenal itu telah membokongnya dengan satu serangan maut. Maka pemuda ini pun menjawab.
"Datang dengan baik, berkata dengan baik, bertanya dengan baik itulah peradatan dunia kangouw!"
"Kurang ajar! Budak hina dina macammu ini hendak memberi kuliah pada kami? Apakah tidak melihat gunung Thay-san di depan mata?!"
Sebenarnya Wiro telah jengkel melihat dua manusia-manusia di hadapannya itu. Namun ditindasnya rasa jengkel itu dan sebelum dia menghajar mereka, ingin terlebih dahulu hendak dipermainkannya. Dia garuk-garuk kepala, mendelikkan mata dan kerenyitkan kening lalu memandang berkeliling celingukan.
"Gunung Thay-san, katamu heh! Aku tak mellihatnyal Kau tentu sudah keblinger sobat! Gunung Thay-san jauh dari sini. Ribuan lie, mana aku bisa melihat? Apalagi malam gelap gulita begini!"
"Bangsat gila! Berani kau mempermainkan Siang-mo-kiam! Kepalamu menggelinding detik ini juga!"
Habis membentak begitu, tak tahu kapan dia mencabut pedang, tiba-tiba saja sinar putih bertabur di depan hidung Wiro Sableng. Untung saja pendekar ini waspada dan buru-buru menyurut tiga langkah.
Kalau tidak niscaya lehernya tersambar putus dan kepalanya benar-benar dibikin menggelinding oleh pedang lawan.
"Siang mo-kiam? Sepasang Pedang Iblis?! Hem, tampang kalian memang pantas disebut iblis kesiangan!"
Di hadapan Wiro kini kedua orang berjubah hitam itu masing-masing telah mencekal sepasang pedang perak. Keduanya berputar-putar mengelilingi Wiro. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak nyaring dan detik itu juga empat bilah pedang berkiblat bersuitan menggempur empat bagian tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng!
Wiro jadi terkesima. Memandang berkeliling dia tak dapat lagi melihat kedua musuhnya. Di sekitarnya kini hanya terlihat gulungan-gulungan sinar putih yang membuntal-buntal menyelubungi dirinya. Tak satu jalan keluar pun tampak, sedang buntalan gulungan-gulungan sinar pedang musuh detik demi detik semakin menyempit. Pakaian dan rambut Wiro sampai berkibar-kibar oleh kerasnya deru angin sambaran empat pedang lawanl
"Hebat!" mengagumi Wiro dalam hati. Seumur hidupnya baru hari itu dia melihat ilmu pedang yang demikian luar biasanya.
Pendekar ini bersuit nyaring dan lepaskan satu pukulan sakti. Segulung angin menerpa ke depan memapasi sinar pedang yang bergulung-gulung.
Terdengar dua seruan tertahan dan kedua penyerang merasakan tubuh mereka terdorong, pedang masing-masing menyibak tak karuan. Mau tak mau keduanya cepat mundur. Namun serentak kemudian mereka menyerang kembali. Dan kali ini permainan pedang mereka berubah amat ganas hingga dalam waktu singkat terdengar "bret... bret...!" Dua bagian pakaian putih Pendekar 212 kena dirobek!
Wiro menggerung marah. Dia bersult nyaring dan lepaskan pukulan sakti bernama "Benteng Topan Melanda Samudera". Dia cuma kerahkan sepertiga bagian tenaga dalamnya, tetapi karena tadi sebelumnya dia telah menerima tambahan iwekang dari si orang tua misterius maka kini daya kekuatan tenaga dalam itu hebatnya bukan main.
Siang-mo-kiam terpental hampir setengah tombak.
Memikir sampai di situ maka Wiro kerahkan ginkangnya yang tinggi dan berkelebat lenyap. Sebelum kedua musuh tahu di mana dia berada tahu-tahu salah seorang dari mereka merasakan pedang di tangan kirinya terbetot lepas! Dan di lain kejap bila dia memandang ke depan dilihatnya Wiro telah berdiri dengan dua kaki terpentang dan pedang melintang di depan dada!
Saking kagetnya, kedua orang itu sesaat jadi kesima. Betapa tidak. Selama 20 tahun malang melintang dalam dunia kangouw belum ada satu lawan pun yang mampu berbuat demikian terhadap sepasang Pedang Iblis. Jangankan untuk merampas pedang, lolos dari kepungan empat bilah senjata maut itu pun tiada yang sanggup. Hari ini Sepasang Pedang Iblis atau Siang-mokiam betul-betul dibuat
mendelik mata masingmasing.
"Orang asing, siapakah kau sebenarnya?!"
Wiro ganda tertawa.
"Kalian berlututlah minta ampun di depanku, baru aku kasih tahu nama tuan besarmu ini!"
Wajah kedua orang itu tegang membesi. Mata mereka laksana dikobari api, saking marahnya. Penghinaan begini rupa tak pernah mereka terima sebelumnya.
"Anjing liar! Lekas sebutkan namamul Siang-mokiam tak pernah membunuh musuh yang tak bernama!"
Kembali Wiro perdengarkan suara tertawa. Kali ini bernada mengejek.
"Jika kau tidak mau kasih tahu nama tidak apa. Berarti kau bakal mati dengan penasaran! Sekarang beri tahu cepat ke mana perginya orang yang dipendam di dalam liang sini?!"
"Katakan dulu apa sangkut paut kalian dengan dia?!" balik bertanya Wiro.
"Budak keparat ini terlalu banyak bacot! Lebih bagus kita bereskan saja cepat-cepat dan bawa kepalanya ke hadapan Dewi sebagai pertanggungan jawab!" Habis berkata begitu salah seorang dari dua manusia berjubah itu mendahului menyerang, tapi kawannya pun kemudian menyusul pula dalam satu gerakan kilat. Kini hanya tiga pedang yang datang menggempur, tapi kehebatannya tetap tiada kepalang dan sedikit saja Wiro lengah pastilah akan terkutung-kutung bagian tubuhnya!
Di lain pihak Wiro memang sudah tunggu dan mengharapkan serangan ini. Tiga pedang bertaburan di depan matanya. Dengan tenang Wiro mainkan jurus pertama ilmu pedang yang baru diterimanya yakni "Cip-hian jay hong" atau "Tibatiba Muncul Pelangi". Pedang perak di tangannya bersuit ke udara menimbulkan sinar berkilauan hampir selebar satu tombak dan melengkung!
"Jurus Tiba-tiba Muncul Pelangi!" salah seorang dari Siang-mo-kiam berseru kaget dan melompat mundur.
Tapi "tring... tring!"
Pedang kedua orang mental patah ke udara. Yang satu terhuyung sambil pegangi dadanya yang koyak besar. Lalu tergelimpang mandi darah. Kawannya mengerang terduduk di pojok kiri ruangan sambil pegang lengan kirinya yang buntung dan berkucuran darah!
Sesaat Wiro sendiri jadi melotot, tak percaya akan apa yang dilihatnya. Dia barusan telah memainkan jurus pertama dari ilmu pedang aneh yang dipelajarinya, bahkan jurus pertama itu pun belum rampung keseluruhannya dan tahu-tahu kedua lawannya telah roboh demikian rupa!
Melihat kawannya mati si jubah hitam yang lengan kirinya buntung menggembor marah. Mukanya ganas sekali.
"Keparat! Ada hubungan apa kau dengan Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun?!"
"Aku mana tahu segala macam akhiratl Sebaiknya nanti saja kau lihat sendiri bagaimana keadaan di akhirat itu!"
"Setan! Jika kau bukan muridnya tua bangka Long-sam-kun itu tak nanti kau memiliki ilmu pedang itu! Tapi jangan kira aku takut padamu! Hari ini aku mengadu jiwa denganmu! Nyawa kawanku harus kau bayar dengan nyawa anjingmu!"
Orang itu melompat. Meskipun lengannya luka parah, buntung dan masih mengucurkan darah serta cuma memegang satu pedang di tangan kanan, namtjn masih saja serangan yang dilancarkannya itu hebat berbahaya.
Wiro berkelebat ke samping dan siap membalas kembali dengan ilmu pedang yang baru di-kuasainya, namun tiba-tiba serangan itu ditariknya kembali. Dia tak ingin musuh kedua ini menemui kematian pula. Lebih penting bila dia bisa mendapatkan keterangan mengapa mereka begitu bernafsu menginginkan jiwanya dan siapakah sebenarnya Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun itu, apakah orang tua yang dipendam dalam liang batu dan ditolongnya itu?
Pada saat tebasan pedang lawan lewat, Wiro kirimkan satu serangan susupan ke arah iga musuh. Namun ini cuma satu tipuan saja, karena begitu lawan berkelit dan hendak membacok ganas, Wiro sudah selundupkan kaki kanannya. Tendangannya tepat menghantam pinggul orang itu dan membuat musuh terpekik melintir dan pedangnya lepas dari genggaman.
Selagi dia terhuyung-huyung, Wiro jambak rambutnya yang merah dengan tangan kiri.
"Katakan, siapa yang menyuruhmu inginkan jiwaku?!"
"Tidak ada yang menyuruhl"
"Keparat, jangan dusta! Jika kau tak mau bicara...." Wiro Sableng pelintir kepala orang itu hingga dia merintih kesakitan. "Kau masih ingin hidup?"
"Percuma saja. Kau sudah bunuh kawanku.
Dan kalaupun aku hidup tiada gunanya."
"Kenapa tiada guna?"
"Pemimpinku akan menghukumku dengan kematian juga!"
"Hem... sekarang kau nyerocos sendiri. Ayo katakan siapa pemimpin kalian!" sentak Wiro.
"Baik, aku akan bicara. Tapi lepaskan dulu jambakanmul" jawab orang itu.
Wiro lalu lepaskan jambakannya pada rambut musuh. Namun baru saja jambakan dilepaskan, tiba-tiba sekali, di luar dugaan Wiro, orang itu angkat tangan kanannya dan "brak!" Dia berjibaku.
Kepalanya dipukul sendiri hingga rengkah! Nyawanya putus detik itu juga!
"Keparat, aku kena ditipu! Manusla tolol! Diberi hidup inginkan mampus!"
Wiro bantingkan pedang perak ke lantai. Setelah merenung sejenak dia mendekati mayat Siang-mo-kiam dan menanggalkan kalung emas berkepala harimau itu dari leher keduanya.
***
WIRO SABLENG Sableng lenggang kangkung memasuki kota Khay-hong tanpa memperdulikan orang yang memperhatikannya. Di hadapan sebuah kedai kecil dia berhenti. Masuk ke sana didapatinya sudah ada beberapa orang tamu asyik makan bubur ayam dan meneguk teh hangat. Wiro mengambil tempat duduk dan sebagaimana biasa pandangan mata orang kemudian tertuju penuh perhatian padanya. Selesai mengisi perut Wiro bermaksud untuk melanjutkan perjalanan. Dia ingin buru-buru mencari tahu siapa adanya kedua orang berkalung emas yang semalam berniat membunuhnya di bekas reruntuhan klenteng. Karenanya, setelah membayar harga makanan dan minuman, segera dikeluarkannya kalung harimau emas dan diperlihatkannya pada pemilik kedai.
"Lopek, mungkin kau mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan kalung ini...?"
Sesaat matanya melihat kalung harimau emas yang digoyang-goyangkan Wiro di tangan kanannya, paras pemilik kedai serta merta berubah pucat pasi. Tetamu lain yang juga ada di kedai itu kelihatan menjadi ketakutan, beberapa di antaranya segera menyingkir.
"He...?" Wiro tentu saja menjadi heran.
Di hadapannya pemilik kedai jatuhkan diri berlutut dan menjura berulang kali.
"Mohon dimaafkan aku si orang tolol ini yang tidak mengetahui gunung Thay-san di depan mata."
"Lagi-lagi gunung Thay-san!" menggerutu Wiro di dalam hati.
"Ampunilah selembar jiwaku yang tiada berharga ini karena aku sebelumnya tidak mengetahui kalau tayhiap adalah anggota dari Hun-tiong Houw mo yang termasyur itu."
Habis berkata demikian pemilik kedai itu lantas keruk sakunya, mengeluarkan beberapa tail perak yang barusan diterimanya dari Wiro dan mengembalikannya pada pemuda itu seraya berkata, "Harap tayhiap sudi menerimanya kembali. Untuk segala hidangan yang tak seberapa itu masakan aku berani meminta bayaran pada tayhiap. Kehadiran tayhiap di sini sesungguhnya satu kehormatan besar bagiku...."
"Eh, lopek. Jadi aku ini tak usah membayar...?"
"Betul... betul...."
Wiro garuk-garuk kepala dan memasukkan kembali beberapa tail perak itu ke dalam pakaiannya. Diam-diam dia semakin heran.
"Jika sekiranya tayhiap ingin anggur atau arak yang baik untuk di perjalanan, aku segera akan menyediakannya...."
"Tak usah... tak usah," kata Wiro pula seraya geleng-geleng kepala. Sebenarnya Wiro ingin menanyakan apa yang dinamakan Hun-tiong Houw-mo (Siluman Harimau Dari Hun Tiong) itu. Siapa pemimpinnya dan di mana letak markasnya. Di samping itu apakah kalung harimau tersebut merupakan tanda bagi setiap anggota Hun-tiong Houw-mo. Namun tentu saja saat ini dia menjadi kebingungan karena si pemilik kedai telah menganggapnya sebagai salah seorang anggota dari Hun-tiong Houw-mo. Tampaknya nama Hun-tiong Houw-mo begitu ditakuti di Khay-hong. Dan ini berarti Hun-tiong Houw-mo bukanlah sesuatu yang baik. Setelah merenung sejenak akhirnya sambil garuk-garuk kepala Wiro putar tubuh dan tinggalkan kedai itu. Kalung emas dimasukkannya kembali ke dalam pakaiannya.
Pada saat dia keluar dari kedai, matahari telah mulai naik. Wiro memandang berkeliling di mans kira-kira dia bisa mendapatkan keterangan tentang spa yang dinamakan Hun-tiong Hauw-mo itu. Di ujung jalan sebelah kanan dilihatnya dua orang pemuda berjalan kaki ke arahnya Wiro menunggu sampai kedua orang pemuda itu sampai ke dekatnya. Namun tiba-tiba dari ujung lain sebelah kiri terdengar gemeletak roda gerobak yang ditingkah oleh derap kaki-kaki kuda berisik sekali.
Wiro berpaling ke kiri! Sebuah gerobak yang ditarik oleh dua ekor kuda besar lewat dengan cepatnya. Di sebelah depan duduk dua orang lelaki bermuka bengis. Di bagian belakang yang terbuka duduk pula dua lelaki yang juga bermuka ganas.
Masing-masing memanggul golok besar pada punggungnya. Di atas gerobak terdapat sebuah peti mati berwarna hitam.
Di belakang gerobak ini mengikuti seorang lelaki separuh bays berpakaian ungu. Di balik pinggang pakaiannya tersembul gagang sebilah senjata. Orang ini menunggang seekor kuda coklat. Sebenarnya tak ada yang menarik perhatian Wiro atas lewatnya rombongan pembawa peti mati ini, jika saja sepasang matanya yang tajam tidak melihat seuntai kalung emas berkepala harimau yang tergantung pada leher penunggang kuda coklat itu.
Wiro memandang berkeliling. Di seberang jaIan sana dilihatnya tertambat seekor kuda putih di depan sebuah toko kecil. Tanpa pikir panjang lagi Wiro segera lari ke seberang jalan, membuka ikatan kuda pada tiang lalu melompat ke punggung binatang ini. Baru saja dia menarik tali kekang kuda tiba-tiba dari toko keluarlah seorang dara berbaju merah. Parasnya yang jelita serta merta berubah marah.
"Pencuri kuda kurang ajar! Berhentilah jika tidak kepingin mampus!"
Namun mana Wiro mau perduli. Menoleh pun tidak. Niatnya sudah bulat untuk mengejar rombongan pembawa peti mati tadi dengan cepat.
Melihat teriakannya tidak diacuhkan, dara baju merah tadi keruk saku pakaiannya dan sesaat kemudian dua puluh jarum beracun berwarna hijau melesat menyebar, hampir tak kelihatan saking cepatnya, menderu ke arah 20 jalan darah di tubuh Wiro Sableng.
Di antara kerasnya derap kaki kuda putih yang sedang dipacunya itu, Wiro mendengar suara bersiuran di belakang punggungnya yang disertal sambaran angin halus. Sebelumnya dia sudah mendengar bentakan seorang perempuan. Semua itu sudah jelas menunjukkan bahwa dia tengah diserang dengan piauw secara ganas.
Tingkat kepandaian murid Eyang Sinto Gendeng yang tengah merantau di negeri orang itu seperti diketahui sudah mencapal tingkat tinggi. Karenanya meskipun diserang dari belakang demikian rupa, cukup tanpa menoleh dia lambaikan tangan melepas pukulan "Angin Puyuh".
20 piauw beracun yang dilemparkan dara berbaju merah serta merta mental dan luruh ke tanah. Sang dara kaget bukan kepalang. Dia menggembor marah dan melompat sampai tiga tombak ke depan untuk mengejar Wiro. Namun tentu saja dia tak dapat mengejar kuda besar yang larinya cepat luar biasa itu. Baru saja dia membuat lompatan, Wiro dan kuda putihnya sudah lenyap di balik tikungan jalan. Dara ini mengomel setengah mati. Namun apakah yang bisa dibuatnya...?
Setelah menempuh jarak lebih dari 80 lie, rombongan yang dibuntuti oleh Wiro Sableng berhenti di sebuah telaga kecil. Sebenarnya Wiro sudah gatal untuk buru-buru turun tangan terhadap rombongan tersebut. Pertama untuk menyelidiki apa sebenarnya rahasia yang ada di balik kalung emas berkepala harimau itu. Apa dan siapa sebenarnya Hun-tiong Hauw-mo itu dan di mana markasnya. Apa tujuan komplotan Siluman Harimau tersebut jika memang dia merupakan satu komplotan. Lalu apa sangkut pautnya dengan tua renta aneh yang secara tak sengaja telah ditolongnya ke luar dari Hang akhirat malam tadi. Namun karena memikir mungkin sekali rombongan pembawa peti mati itu tengah menuju ke markas Hun-tiong Hauw-mo maka Wiro mempersabar diri dan terus melakukan penguntitan secara diam-diam.
Memperhatikan peti mati di atas gerobak dari tempat persembunyiannya di balik semak-semak, Wiro jadi berpikir-pikir kembali. Apakah peti mati itu kosong atau ada isinya? Jika kosong apa gunanya dibawa demikian jauh. Kalaupun untuk penguburan jenazah, adalah terlalu mencapaikan diri harus memesan peti mati dari tempat yang amat jauh. Sebaliknya jika dalam peti mati itu memang ada jenazahnya, kenapa rombongan membawanya dengan amat tergesa-gesa? Tidak lazim sama sekali mayat diangkut begitu sembrono, di atas gerobak yang dipacu kencang terus menerus, apalagi jalan demikian buruknya.
Sementara orang-orang dalam rombongan itu beristirahat sambil meneguk arak, Wiro Sableng cuma bisa leletkan lidah membasahi bibir.
Tak lama kemudian rombongan itu dilihatnya bersiap-siap hendak berangkat kembali. Dan kembali pula Wiro bersama kuda curiannya mengikuti orang-orang itu.
Beberapa jam kemudian di ufuk barat sang surya telah mulai merosot ke titik tenggelamnya. Warnanya yang tadi putih menyilaukan dan terik kini kelihatan menjadi redup kemerah-merahan. Pada saat itulah rombongan pembawa peti mati memasuki kota Ci-bun. Mereka langsung menuju sebuah hotel. Dua orang jongos keluar menyambut kedatangan mereka. Namun keduanya serta merta tersurut langkah ke belakang dan pucat pasi wajah masing-masing. Mata mereka mendelik memandang kalung kepala harimau yang tergantung pada leher penunggang kuda berpakaian ungu. Seolah-olah kedua jongos hotel ini telah melihat setan kepala sepuluh yang mengerikan!
Orang yang dipandang dengan mimik ketakutan itu kelihatan menyeringai. Dia membuka mulut dan bicara dengan nada keras. "Untuk malam ini semua kamar hotel kami sewa. Ini hadiah dua tail perak untuk kalian. Tapi ingat! Awas jika kalian berani memberikan satu kamar saja buat siapa pun!"
Habis berkata demikian lelaki baju ungu lantas lemparkan dua tail perak pada kedua jongos. Meskipun tadi ketakutan setengah mati, namun diberi uang dua jongos hotel itu ulurkan tangan menyambut.
"Loya, apakah peti mati ini perlu diturunkan juga?" salah seorang dari empat lelaki bertampang bengis yang mengawal gerobak bermuatan peti mati bertanya begitu lelaki berpakaian serba ungu loncat turun dari atas kuda.
Yang ditanya menjawab sambil memandang sekeliling halaman hotel. "Gotong ke kamar tidurku. Kau dan tiga kawanmu harus berjaga-jaga di luar kamar. Perjalanan kita masih cukup jauh dan aku tidak ingin terjadi kesulitan mendadak."
"Perintahmu akan kami jalankan, Loya. Dan kau tak usah kawatir soal keamanan peti mati itu. Serahkan saja kepada kami Empat Golok Kematian...."
Orang itu kemudian putar tubuh dan bersama tiga kawannya dia menggotong peti mati ke kamar yang disediakan jongos hotel untuk lelaki berbaju ungu. Empat Golok Kematian adalah empat perampok berkepandaian tinggi yang sering malang melintang di daerah barat. Rata-rata memiliki tenaga dalam yang besar. Namun dari cara mereka mengangkat peti mati tersebut kentara sekali bahwa peti tersebut amat berat. Apakah sebenarnya isinya? Bahkan Empat Golok Kematian sendiri pun tidak mengetahui. Mereka cuma dibayar untuk mengawal gerobak tersebut ke satu tempat yang mereka tidak tahu. Sepanjang perjalanan antara mereka saling bisik-bisik menduga-duga apa isi peti misterius tersebut. Hendak menanyakan pada lelaki baju ungu mereka tidak berani. Mereka tahu betul salah-salah mulut dan tingkah bukan mustahil nyawa mereka imbalannya. Meskipun mereka berjumlah lebih banyak dan rata-rata berkepandaian tinggi, namun terhadap si baju ungu berkalung harimau itu mereka laksana kelinci dengan singa!
Setelah peti mati dimasukkan ke dalam kamarriya, lelaki berpakaian ungu lantas kunci pintu dan jendela kamar, memeriksa keadaan tempat itu lalu duduk bersila di lantai. Di luar kamar Empat Golok Kematian berjaga-jaga sedang di pintu halaman dua jongos hotel tegak pula melakukan penjagaan.
Seekor kelelawar menggelepar di puncak sebuah pohon, ketika dua jongos yang mengawal di pintu halaman hotel melihat seorang penunggang kuda putih mendatangi. Acuh tak acuh orang ini hendak masuk melewati pintu halaman begitu saja. Kedua jongos serta merta menahannya.
"Bukankah bangunan di dalam halaman ini sebuah rumah penginapan," penunggang kuda putih bertanya. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu hari sudah gelap. Dua jongos hotel tidak begitu jelas melihat wajah penunggang kuda putih. Namun dari logat bicaranya kentara sekali kalau orang itu adalah orang asing.
"Betul dugaanmu cuwi. Tapi harap dimaafkan. Jika kau bermaksud bermalam di sini ketahuilah semua kamar hotel telah penuh."
"Penuh? Tak satu pun yang ketinggalan?"
"Tak satu pun!"
"Tapi barusan kalau aku tak salah lihat serombongan yang terdiri dari lima orang telah datang kemari. Masakan untuk mereka berlima ada, untuk aku yang sendiri tidak ada!"
"Mereka... mereka memborong semua kamar dalam hotel ini. Harap cuwi mau cari rumah penginapan yang lain."
"Tubuhku letih, perutku lapar. Aku perlu buru-buru istirahat. Harap kalian beri jalan!"
"Kami sudah bilang semua kamar penuh. Harap cuwi mengerti dan jangan kelewat memaksa?"
"Aku bisa tidur di dapur!"
"Itu tidak mungkin!"
"Kenapa tidak mungkin?" sentak Wiro lantas gebrak kudanya dan menerobos masuk ke dalam halaman. Kedua jongos hotel cepat memburu. Satu menahan tali kekang kuda putih, satu lagi menarik ekor binatang itu.
Wiro jadi jengkel. Jelas sudah ada apa-apa yang tak semestinya. "Kalian minta digebuk!" desis pendekar ini lalu melompat turun dan hadiahkan masing-masing satu tamparan pada kedua jongos tersebut.
Karena tamparan cukup keras, kedua jongos itu melolong kesakitan dan rubuh ke tanah. Wiro putar tubuh untuk melangkah ke pintu depan hotel. Baru maju dua tindak, sesosok bayangan hitam berkelebat. Satu bentakan terdengar, "Bangsat rendah dari mana yang berani mengacau di sini?!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian Tito
General FictionWiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...