50. Mayat Hidup Gunung Klabat

5.2K 103 3
                                    

INI SATU PEMANDANGAN yang mengerikan bagi siapa saja yang menyaksikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

INI SATU PEMANDANGAN yang mengerikan bagi siapa saja yang menyaksikan. Bagaimana tidak. Di malam buta ketika tak ada rembulan dan langit tidak pula berbintang, di bawah kepekatan yang menghitam gelap disertai hembusan angin mencucuk dingin, ditambah dengan turunnya hujan rintik-rintik, seekor kuda putih berlari kencang menuju puncak Gunung Klabat. Sambil lari binatang ini tiada hentinya keluarkan suara meringkik keras dari sela mulutnya yang berbusa.

Di atas punggung kuda putih itu membelin-tang sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Sesosok mayat seorang lelaki separuhbaya berambut panjang sebahu dengan luka bekas bacokan pada pangkal lehernya. 

Sebagian wajah dan leher serta dadanya dibasahi oleh darah yang masih hangat tanda orang ini belum begitu lama menemui ajalnya.

Di belakang mayat yang membelintang di atas punggung kuda itu, duduk seorang perempuan berwajah bulat, berpakaian merah. Rambutnya yang panjang tergerak lepas dan berkibar-kibar ditiup angin. 

Perempuan inilah yang memacu kuda itu dengan segala kemampuan yang ada. Dia menunggang kuda putih sambil air mata mengucur membasahi kedua pipinya yang merah.

Betapapun mengerikan melihat berkelebatnya tiga mahluk itu dalam kegelapan malam namun mereka bukanlah setan atau mahluk jejadian. Ketiganya tetap mahluk ciptaan Tuhan, dua dalam keadaan hidup dan satu sudah jadi mayat!

Menjelang dinihari, kuda putih itu mencapai puncak gunung yang sangat curam dan perjalanan tak mungkin diteruskan dengan menunggangi binatang itu. 

Menyadari hal itu, perempuan muda penunggang kuda cepat melompat turun, menarik sosok mayat lelaki lalu memanggulnya di bahu kanan. Sebelum pergi, dia memegang leher binatang itu dan berkata

"Putih! Kau tetap disini. Tunggu sampai aku kembali!"

Seperti mengerti ucapan orang, kuda putih itu meringkik keras, lalu tundukkan kepalanya, menyusup mencari rerumputan liar diantara semak belukar.

Setengah berlari perempuan muda itu memanggul mayat di bahu kanannya menuju puncak gunung sementara di timur langit mulai tampak membersitkan sinar kekuning-kuningan tanda tak lama lagi sang surya akan kembali muncul menerangi bumi Tuhan. Di puncak gunung yang temaram itu udara semakin keatas terasa dingin. 

Tapi perempuan yang memanggul mayat itu justru telah basah kuyup pakaian merahnya. Sekujur tubuhnya sakit dan letih bukan kepalang bahkan kedua kakinya laksana kaku dan sukar untuk diajak berlari lebih cepat. Namun kekerasan hatinyalah yang membuat perempuan itu terus bersikeras mendaki sampai ke puncak teratas Gunung Klabat. 

Dan tepat ketika sang surya tampak menyembul di ufuk timur, dia sampai di puncak gunung. Matanya memandang ke arah sebuah pondok kayu beratap ijuk, satu-satunya bangunan di tempat itu. Dia langsung melangkah naik ke atas langkan berlantai papan dan mengetuk pintu yang tertutup.

"Bapak Tua Walalangi, bukakan pintu. Saya datang dari jauh membawa berita buruk! Saya memerlukan bantuanmu!" Lalu perempuan itu kembali mengetuk pintu, lebih keras dari tadi.

Di dalam terdengar suara tempat tidur berderik. Disusul suara orang berdehem beberapa kali. Kemudian terdengar langkah-langkah kaki menuju ke pintu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dengan mengeluarkan suara berkereke-tan.

"Tamu dari mana yang muncul pagi-pagi buta begini?!" Satu suara lebih dulu terdengar baru menyusul muncul orangnya dari balik daun pintu.

Orang ini ternyata adalah seorang kakek berwajah tirus, berambut putih panjang sebahu tapi jarang, mengenakan baju lengan panjang dan celana gombrong putih.

"Saya Sulami Tangkario datang dari selatan Gunung Klabat "Tangkario. Hem... Aku pernah dekat dengan nama keluarga Tangkario. Tapi..." Si orang tua dongakkan kepalanya. Cuping hidungnya sesaat tampak mengembang.

"Hemmm... Aku mencium bau mayat..." desisnya kemudian "Bapak Tua Walalangi," perempuan yang mendukung jenazah berkata dengan heran.

"Apakah sejak tadi kau tidak melihat saya memanggul mayat di bahu kanan..." Perempuan ini memandangi wajah orang tua itu lekatlekat.

Kemudian terdengar suaranya agak tertahan : "Astaga, Bapak Tua... Kedua matamu ternyata buta! Harap maafkan orang Ternyata Bapak tua bernama Walalangi itu memang buta nyalang sepasang matanya yang berwarna kelabu. Dia mengangguk perlahan lalu ulurkan tangan meraba kepala mayat. Tangannya kemudian turun kebawah, sampai di leher berhenti beberapa ketika. Ada darah hangat dan licin terasa membasahi jari-jarinya dan dia dapat meraba luka bacokan di leher mayat.

"Siapa yang berbuat sekejam ini..." katanya dengan suara tercekat. "Kau telah mendukung mayat itu cukup jauh tentunya. Letakkan di lantai dan katakan apa kau punya hubunganmu dengan mayat yang kau bawa kemari ini!"

Sulami Tangkario perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati menurunkan mayat di bahu kanannya lalu membujurkannya di lantai langkan yang bertutupkan tikar jerami. Dia duduk bersimpuh di depan mayat, mengusap air mata yang membasahi pipinya baru menjawab pertanyaan orang tua tadi.

"Siapa yang membunuhnya saya tidak mengetahui dengan jelas, Bapak Tua. Saya hanya bisa menduga. Ketika suami saya sedang tidur, tiba-tiba sebuah golok besar secara aneh melesat, menembus langitlangit kamar, langsung menghantam pangkal lehernya. Saya berusaha mengejar si pembunuh ke atas atap setelah lebih dulu mencabut golok. Tapi siapapun pembunuhnya dia telah lebih dulu raib..."

"Jadi yang kau bawa ini adalah jenazah suamimu sendiri, Sulami?"

"Betul Bapak Tua..."

"Siapakah nama suamimu, perempuan malang?"

"Mararanta Tangkario..." Jawab Sulami.

Paras si orang tua tampak berubah. "Jadi... Mararanta. Ah, dia masih salah satu cucu-cucuku yang bertebaran di Minahasa ini... Sulami, ceritakan apa yang terjadi..."

"Saya sudah menceritakannya tadi Bapak Tua Walalangi."

"Betul. Tapi kau belum menerangkan apa latar belakang semua kejadian ini. Suamimu bukan manusia sembarangan. Seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi. Hampir mustahil kalau ada orang yang mampu membokongnya sekalipun dalam keadaan tidur. Kalau itu terjadi, berarti ada orang berkepandaian sangat tinggi yang melakukannya!"

"Sayapun menduga demikian Bapak Tua," sahut Sulami Tangkario. Lalu perempuan ini menuturkan. "Enam bulan yang lalu saya bertemu pertama kali dengan Mararanta. Waktu itu dia baru saja kembali dari tanah Jawa. Mungkin kami berjodoh lalu melangsungkan pernikahan. Setelah nikah satu bulan saya melihat ada satu kelainan dalam diri Mararanta. Dia sering bersikap seperti ketakutan. Seperti ada sesuatu atau seseorang yang selalu membayanginya. Berkali-kali saya tanya dia tidak mengaku. Namun dua minggu yang lalu akhirnya dia menceritakan bahwa di Jawa dia telah bentrokan dengan seorang pendekar berkepandaian tinggi sekali. Karena tidak mungkin menghadapinya, Mararanta akhirnya cepat-cepat kembali ke Minahasa. Namun dia merasa seperti ada seseorang atau makhluk aneh yang mengikutinya."

"Suamimu menerangkan apa sebab musabab bentrokan itu dan siapa orang yang menjadi lawannya?" bertanya Bapak Tua Walalangi.

"Menurut suami saya waktu berada di Jawa dia sempat mengawini seorang gadis bernama Minari. Gadis itu ternyata adalah kekasih seorang pendekar berkepandaian tinggi: Namun Minari sendiri tidak menyukai pendekar itu. Itulah sebabnya dengan seizin kedua orang tuanya Minari kawin lari dengan Mararanta. Tapi Minari kemudian diculik sedang Mararanta sendiri dikejar-kejar. Dalam keadaan sangat terancam jiwanya Mararanta melarikan diri. Dia berusaha mencari Minari terlebih dahulu, ketika sia-sia akhirnya dia kembali ke Minari terlebih dahulu, ketika sia-sia akhirnya dia kembali ke Minahasa..."

Sulami terdiam sejenak. Setelah menyeka air mata yang masih mengucur dia melanjutkan. "Malam tadi, begitu saya tidak berhasil mengejar' si pembunuh, saya cepat kembali ke dalam kamar. Saya dapati Mararanta dalam keadaan sekarat. Namun sebelum menghembuskan nafas dia sempat meninggalkan pesan..."

Bapak Tua Walalangi usap dagunya yang licin lalu bertanya : "Apa pesan suamimu itu Sulami?"

"Dia minta agar jenazahnya dibawa kemari dan diperlihatkan pada Bapak Tua. Dia juga mengatakan bahwa yang membunuhnya adalah kekasih Minari. Dan katanya lagi... Dia tak akan tenteram di dalam kubur sebelum dapat membalaskan sakit hati dendam kesumat pembunuhan keji atas dirinya ini!"

Paras si orang tua kembali berubah. Kali ini lama dia berdiam seperti merenung. "Begitu katanya...? Ah, sungguh satu pesan yang berat. Tapi apa lagi yang disampaikannya sebelum meninggal?"

"Mohon maaf Bapak Tua..." kata Sulami. Dan bulu kuduknya mendadak saja jadi merinding. "Dia berkata bahwa hanya Bapak Tualah yang bisa menolongnya untuk membalaskan sakit hati itu. Dia minta agar Bapak Tua memberi kehidupan sementara padanya agar dia dapat mencari si pembunuh..."

"Ya Tuhan... Mengapa cucuku ini meninggalkan pesan berat begini macam...?" Membatin Walalangi. Lalu dia berkata: "Ketahuilah Sulami, aku bukan Tuhan bukan Malaikat. Aku tidak berkemampuan memenuhi pesanan mendiang suamimu. Apalagi memberikan kehidupan sementara seperti yang dikatakannya sebelum menghembuskan nafas..."

"Itulah yang saya tidak mengerti Bapak Tua. Jika pesannya saya abaikan dan langsung menguburkannya, saya khawatir di liang kubur keadaannya tidak tenteram seperti yang dikatakannya. Dan lebih dari itu, yang paling saya takutkan, arwahnya akan gentayangan menjadi setan penasaran, menimbulkan kegegeran dan keonaran dimanamana... Semua saya serahkan pada Bapak Tua. Hanya saya tak ingin suami saya tersiksa di alam barzah kalau sampai pesannya tidak dikabulkan..." Walalangi terduduk di depan mayat Mararanta Tangkario.

Berkali-kali orang tua ini mengusap wajahnya yang mendadak saja jadi keluarkan keringat dingin.

"Sulami... Menurutmu Mararanta meninggal karena ada sebilah golok yang secara aneh mencuat dari langit-langit kamar..."

"Betul sekali Bapak Tua."

"Apakah senjata itu ada kau bawa?"

"Saya memang membawanya Bapak Tua..." jawab Sulami Tangkario. Lalu dari balik bun-talannya dia mengeluarkan sebilah golok tanpa sarung. Sebagian dari badan golok itu terlapis oleh darah yang telah membeku. Darah suaminya! Perempuan ini serahkan senjata itu ke tangan Walalangi.

Si orang tua pergunakan sepuluh jari-jari tangannya untuk meraba badan golok dan juga gagangnya sementara wajahnya ditengadahkan dan air mukanya tampak membesi.

"Ini memang golok Jawa..." kata Walalangi sesaat kemudian.

"Dapat diketahui dari bentuk badan dan potongan gagangnya. Senjata ini mengandung racun jahat. Lebih cepat dimusnahkan lebih baik!"

Orang tua itu remaskan lima. jari tangan kanannya ke gagang golok. Gagang yang terbuat dari kayu besi itu terdengar bederak hancur! Lalu sepuluh jari tangannya bergerak di atas badan golok. 

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang