BAB I
WALAU saat itu masih sangat pagi dan sang surya belum muncul namun Lawunggeni merasa batu di atas mana dia duduk bersila tak ubahnya seperti bara. Untuk beberapa lamanya orang tua ini memandang dengan mata mendelik tak berkesip pada lelaki separuh baya yang duduk di depannya. Keadaan Lawunggeni baik pakaian maupun tubuhnya sungguh mengenaskan.Dulu pakaian yang dikenakannya adalah pakaian bagus terbuat dari bahan mahal. Kini pakaian itu hanya tinggal potongan-potongan kain compang-camping, kotor dan bau. Kulit muka dan tubuhnya hitam melepuh padahal dulu dia memiliki kulit kuning bersih. Keganasan laut telah merubah orang tua ini seperti jerangkong hidup. Orang yang dipandang bersikap tenang. Balas memandang seolah tanpa rasa. Hal ini membuat Lawunggeni menjadi geram. Pelipisnya bergerak-gerak dan rahangnya menggembung tanda dia berusaha menahan amarah.
"Pangeran Soma!" tegur Lawunggeni. Suaranya perlahan tapi tajam mendesis.
"Harap kau mau memakai pikiran dan perasaan. Hampir enam bulan aku mengarungi laut selatan untuk mencarimu. Kulitku melepuh hangus, pakaian di badan hancur luluh, kulitku hitam terbakar sengatan matahari. Tubuhku berubah seolah jerangkong hidup! Dan kau menyambut kedatanganku seolah aku ini cuma patung hidup atau batu tanpa nyawa! Padahal sudah kukatakan. Aku mengarung lautan menyabung nyawa untuk mencarimu demi kesembuhan adik perempuanmu satu ayah!"
Lelaki separuh baya yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Soma sama sekali tidak bergerak bahkan wajahnya yang setengah putih setengah biru tidak bergeming menunjukkan perubahan. Sepasang matanya sama sekali tidak memantulkan perasaan apa-apa. Di dalam mulutnya gigi-giginya bergerak mengunyah sirih campur tembakau.
"Kau tahu aku datang tapi kau buta. Kau mendengar apa yang kusampaikan namun kau seperti tuli! Hatimu telah berubah menjadi batu! Mungkin kau sudah bukan manusia lagi Pangeran. Kau sama sekali tidak punya perasaan...!"
Perlahan-lahan lelaki separuh baya itu angkat kepalanya, menengadah memandang ke langit yang masih dibungkus kegelapan. Mulutnya bergerak menyunggingkan seringai lalu terbuka.
"Aku ingin tanya padamu wahai utusan Sri Baginda yang datang dari jauh dan katanya menyabung nyawa demi kesembuhan seorang gadis. Ketika Sri Baginda menyuruh orang membuang sosok bayiku dari istana karena malu mempunyai seorang putera yang cacat muka, apakah dia memakai pikiran dan punya perasaan?! Dia mendengar nasehat para abdi dalem tapi telinganya tertutup seolah tuli. Hatinya seolah batu! Ucapanmu barusan mengingatkan aku pada banyak hal di masa silam. Kau tahu dimana ibuku kini berada ki Lawunggeni? Mengalami nasib dibuang atau mungkin juga telah disingkirkan dari muka bumi?!! Atas perintah Sri Baginda yang mengutusmu datang kemari!"
"Pangeran Soma, apa yang telah terjadi tiga puluh tahun silam tak perlu diungkit. Lagi pula Sri Baginda telah memesan. Selain meminta obat padamu juga aku diminta membawamu ke Kotaraja. Hanya saja mengenai Ibumu... aku tidak tahu menahu. Perempuan itu melenyapkan diri sehari setelah dia tahu bahwa kau dibuang."
"Ki Lawunggeni, kau melakukan perjalanan percuma. Kau mengarungi laut selatan menyabung nyawa sia-sia. Pulanglah, aku tak bisa menolongmu!"
"Pangeran, aku taitu kemampuanmu. Semua tabib di Puri Agung mengatakan hanya kau yang bisa menolong adik perempuanmu dari sakit lumpuh yang dideritanya..."
"Aku tak bisa menolong apa-apa Ki Lawunggeni. Kembalilah ke Kotaraja dan berdoalah. Hanya Tuhan yang bisa menolong gadis itu..."
"Hatimu dicekam dendam Pangeran. Aku tahu hanya kau yang bisa mengobatinya. Kalau tidak aku tak akan bersusah payah datang ke sini. Kami semua yakin gelarmu Raja Obat Delapan Penjuru Angin bukan nama kosong belaka. Kalau orang lain kau tolong masa kau tidak mau menyelamatkan diri adikmu sendiri walau dia hanya adik satu ayah?!"
Perlahan-lahan Pangeran Soma turunkan kepalanya. Sepasang matanya menatap pada orang tua utusan Kerajaan itu. Dipandang begitu rupa Ki Lawunggeni menjadi gelisah.
"Ki Lawunggeni, apakah kau melihat topan mengamuk malam tadi di lautan?!"
Ki Lawunggeni menjadi heran. "Aneh," katanya dalam hati. "Lain yang dibicarakan lain yang ditanyakannya! Jangan-jangan manusia satu ini sudah tidak waras lagi pikirannya!"
"Aku bertanya Ki Lawunggeni!"
"Aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu Pangeran. Tapi aku ingat betul malam tadi tidak ada topan mengamuk di tengah laut."
"Hemmm... itu berarti alam tidak menyukai kehadiranmu di tempat ini!" ujar Pangeran Soma. "Sekali lagi kukatakan kembalilah ke kora saja. Bawa kembali hadiah yang kau bawa ini! Pangeran Soma goyangkan kepala ke arah seperangkat poci-poci tempat sirih terbuat dari emas yang diletakkan di atas batu di hadapannya. "Aku hidup di alam, berteman dan menyatu dengan alam. Aku tidak butuh benda-benda itu."
Lama Ki Lawunggeni terdiam. Semakin ditatap wajah Pangeran Soma yang biru sebelah itu semakin berkobar rasa jengkelnya. Dengan sikap kasar perlengkapan tempat sirih itu dimasukkannya ke dalam kantong kain. Lalu dia berdiri. Sebelum memutar tubuh dia berkata. "Ternyata aku menemui seseorang yang tidak seperti aku perkirakan. Tugas sebagai seorang tabib penyembuh tidak mengenal kebencian. Sekalipun musuh wajib ditolong. Aku datang ke tempat yang salah. Kasih sayang sejati ternyata belum menjamah hati sanubarimu Pangeran. Selamat tinggal!"
"Tunggu dulu Ki Lawunggeni!" ujar Pangeran Soma alias Raja Obat Delapan Penjuru Angin tiba-tiba. Dua jari tangannya diluruskan lalu ditusukkan ke batu merah di hadapannya. Dua jari tembus ke dalam batu. Ketika ditarik, dua keping batu yang pecah ikut terangkat. Pangeran Soma cepat menggenggam dua keping batu merah yang lalu meremasnya.
"Ulurkan tanganmu Ki Lawunggeni!"
Walau terkesiap Ki Lawunggeni ulurkan tangan kanannya.
"Kembangkan telapak tanganmu."
Kembali Lawunggeni melakukan apa yang dikatakan orang. Telapak tangan kanannya dikembangkan lebar-lebar. Pangeran Soma buka tangan kanannya yang menggenggam. Dari tangan yang terbuka itu mengucur keluar batu merah yang tadi diremasnya dan telah berubah menjadi bubuk.
"Minumkan bubuk batu merah itu pada orang yang sakit. Ampasnya jadikan lulur untuk kedua kaki yang lumpuh."
"Bubuk batu..." ujar Ki Lawunggeni dalam hati. "Baru kali ini aku mengetahui bubuk batu dijadikan obat. Apakah bisa mujarab?" Ada keraguan dalam diri suruhan Sri Baginda dari Kotaraja ini.
"Aku dapat membaca apa yang ada dalam pikiranmu, Ki Lawunggeni," tiba-tiba Raja Obat Delapan Penjuru Angin berkata. "Jika ada keraguan dalam hatimu silahkan kau buang saja bubuk itu. Kembali ke Kotaraja dengan berhampa tangan!"
Ki Lawunggeni seperti disentakkan mendengar ucapan Pangeran Soma itu. "Luar biasa. Bagaimana dia bisa membaca apa yang ada dalam benakku!" Namun sadar kalau orang telah memberikan obat yang dimintanya, maka dia cepat-cepat membungkuk.
"Maafkan diriku. Aku telah salah menduga. Perjalananku ke sini ternyata tidak sia-sia. Terima kasih Pangeran. Terima kasih banyak..."
"Pergilah..."
Ki Lawunggeni kembali membungkuk. "Kalau begitu biar kutinggalkan benda ini..." Si orang tua letakkan kantong kain berisi seperangkat tempat sirih dari emas itu di atas batu.
Pangeran Soma menggeleng. "Aku tidak membutuhkan benda itu. Bawa saja..."
"Terima kasih... Aku pergi sekarang..."
Sesaat setelah Ki Lawunggenl meninggalkan tempat itu Pangeran Soma alias Raja Obat Delapan Penjuru Angin bangkit berdiri. Dia tegak tepat di atas batu merah yang tadi dicungkilnya hingga berlubang. Mulutnya komat-kamit beberapa kali. Ketika mulut itu dibukanya cairan merah meluncur jatuh. Sesaat kemudian lobang batu yang tadi pecah tertutup, rata utuh seperti semula.
Pangeran Soma menarik napas panjang. Dia menatap ke tengah laut sementara di kejauhan ada sinar kuning seolah mencuat keluar dari dasar samudera. Itulah sinar pertama sang surya yang mulai terbit. Mendadak Pangeran Soma pejamkan kedua matanya. Telinganya dihadapkan ke arah lautan lepas.
"Ada anak manusia tenggelam di dalam laut. Pusaran air tidak membuatnya mati. Arus dasar laut selatan menggiringnya ke dalam terowongan sebelah atas. Kalau saja aku bisa menghadangnya sebelum jatuh ke dalam terowongan sebelah bawah, mungkin aku bisa menyelamatkannya... Tiga mimpiku secara beruntun rupanya menjadi kenyataan. Aku melihat perahu besar dan perahu kecil. Aku mendengar suara jeritan seolah membelah langit. Agaknya aku akan mendapat kawan penghuni pulau batu merah ini. Samakah malang nasibnya dengan diriku?"
Manusia bermuka biru sebelah ini, yang punya kesaktian mengobati dengan remasan batu merah melangkah cepat menuju ke bagian selatan pulau batu itu.
***
BAB II
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian Tito
Ficción GeneralWiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...