39. Kelelawar Hantu

5.7K 131 2
                                    

PANTAI UTARA tampak tenang di penghujung sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PANTAI UTARA tampak tenang di penghujung sore. Di sebuah teluk yang lengang sekelompok burung-burung kelelawar terbang kian ke mari. Sebentar mereka terbang ke arah selatan, sesekali melayang ke timur atau ke barat dalam bentuk kelompok yang selalu berubah-ubah dan setiap perubahan mempunyai daya tarik tersendiri.

Angin laut bertiup menebar udara lembab mengandung garam. Seorang tua berwajah angker tampak duduk di atas sebuah batu hitam berlumut di tepi pantai. Rambutnya yang putih panjang sebahu melambai-lambai diitup angin. Kedua matanya terpejam sedang sepasang tangan dirangkap di depan dada. Setiap saat ombak memecah di pantai dan menghantam batu berlumut itu, air laut muncrat membasahi tubuh dan pakaian bahkan terkadang sampai kemukaorang tua bertampang angker ini. Namun seperti tidak merasakan atau tidak perduli dia tetap saja duduk tidak bergerak. Sepasang matanya yang terpejam juga tidak berkedip sedikit pun dan rahangnya yang tertutup cabang bawuk liar terkatup rapat.

Di udara burung-burung kelelawar masih terus terbang berputar-putar. Di atas batu hitam berlumut, orang tua yang duduk seolaholah tengah bersemadi itu perlahan-lahan membuka kedua tangannya yang dirangkapkan di depan dada. Yang sebelah kiri diletakkan di atas paha kiri sedang yang kanan diangkat ke atas dengan telapak terbuka menghadap ke langit. Bibirnya yang berwarna hitam tampak bergetar. Agaknya ada sesuatu yang dilafatkannya. Mungkin sekali suatir mantera.

Ketika pergelangan tangannya diputarputar, di udara terjadi keanehan. Burungburung kelelawar yang tadinya melayang-layang di udara tanpa suara, kini terdengar mencuitcuit riuh sekali. Binatang-binatang itu tampak terbang kian ke mari secara liar berserabutan. Sesuatu telah membuat mereka berubah ganas!

Setelah beberapa lama hal itu berlangsung, orang tua di atas batu turunkan tangan kanannya

perlahan-lahan. Namun setengah jalan digerakkan cepat sepert orang menangkap sesuatu. Lalu tangan kanan yang kini tergenggam dipukulkan ke paha kanan. Dari puluhan burung kelelawar yang terbang hiruk pikuk di udara, salah seekor di antaranya mendadak tampak menukik ke bawah seperti dibetot oleh satu kekuatan yang tak terlihat! Binatang ini jatuh tepat di pangkuan orang tua yang duduk di atas batu.

Sesaat burung ini menggelepar-gelepar seperti hendak putus nyawa lalu diam tak berkutik seperti sudah mati! Hanya sepasang matanya saja tampak membeliak menyorotkan sinar menggidikkan, berwarna hitam pekat.

Sepasang mata orang tua di atas batu perlahan-lahan tampak bergerak dan membuka. Begitu terbuka kelihatanlah dua mata berwarna merah, membersitkan sinar aneh. Dua pasang mata saling bentrokan. Dua pasang mata saling beradu pandang. Yang pertama sepasang mata binatang, satunya lagi sepasang mata manusia yang menyala seperti bara!

Sekelumit senyum muncul di wajah orang tua itu. Senyuman ini justru membuat wajahnya jadi tambah menyeramkan.

"Bagus...", terdengar si mata merah ini keluarkan suara di antara desauan angin laut.

"Kau telah datang menghadapku, Datuk Teluk Ular! Bersiaplah menerima perubahan wujud! Bersiaplah menjalankan perintah!"

Selesai berucap orang tua yang menyebut dirinya sebagai Datuk Teluk Ular itu genggam kepala kelelawar dengan tangan kirinya. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantera. Bersamaan dengan itu sekujur tubuhnya bergetar seperti kedinginan. Tapi anehnya dari ubun-ubun serta tangan kiri yang menggenggam kepala burung kelelawar tampak keluar mengepul asap tipis berwarna kehitaman.

Begitu mantera selesai dibaca, asap hitam mulai menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Lalu perlahan-lahan orang tua bertampang angker itu buka genggaman tangan kirinya. Terlihat kepala kelelawar telah berubah menjadi satu makhluk mengerikan. Bukan saja kepala binatang menjadi dua kali lebih besar dari semula, tetapi telinganya pun menjadi lebih panjang sedang sepasang matanya yang tadinya berwarna hitam pekat, kini telah berubah menjadi merah menyala laksana bara api! Di ujung-ujung bibirnya mencuat keluar sepasang taring panjang yang sangat runcing! Sayapnya lebih lebar dan lebih panjang!

Datuk Telur Ular menyeringai puas.

"Wujudmu telah berubah. Apakah sudah siap menjalankan perintah?!"

Seperti manusia yang mendengar dan mengerti ucapan si orang tua, burung kelelawar di atas pangkuan itu membuka mulutnya dan keluarkan suara mencuit tiga kali berturutturut.

"Bagus!" ujar Datuk Teluk Ular.

"Kesiapanmu harus kuuji! Lihat burung-burung kelelawar yang beterbangan di udara sana. Tadi mereka adalah kawan-kawanmu. Tapi sekarang tidak. Mereka adalah musuh-musuhmu! Bunuh mereka semua! Jangan biar satupun hidup! Bunuh dengan taringmu, dengan hantaman sayapmu serta dengan kuku-kukumu yang panjang!"

"Cuit...cuit... cuit!" Burung kelelawar di atas pangkuan menyahuti. Sepasang matanya tampak lebih menyala dan keseluruhan wajah binatang ini membersitkan hawa pembunuhan!

"Lakukan!" Datuk Telur Ular memerintah.

Kelelawar yang tadi rebah itu melompat bangkit, buka mulutnya memperlihatkan barisan gigi dan taring yang runcing, rentangkan sayap lalu menguik keras. Dilain kejap werrr...binatang

ini melesat ke udara seperti anak panah. Sesaat kemudian dia sudah mencapai kelompok kelelawar yang masih terbang berputar-putar di atas teluk. Dan terjadilah satu hal yang hebat. Kelelawar yang telah berubah wujud ini menyerang puluhan kelelawar yang terbang di udara. Dengan ganas dia menggigit, merobek tubuh kawan-kawannya, mencakar dan menghantam dengan sayapnya. Kelompok burung-burung kelelawar itu menjadi kacau balau. Satu demi satu mereka melayang mati jatuh ke dalam laut. Ada yang mencoba melarikan diri namun tak sempat jauh karena kelelawar yang berubah wujud itu menyergap dengan cepat dan membunuhnya.

Hanya sebatas hitungan sembilan puluh, seluruh kelelawar yang ada di teluk itu akhirnya menemui ajal. Kelelawar pembunuh sesaat terbang berputar-putar dengan mulut, sayap dan kuku berlumuran darah. Ketika di bawah sana dilihatnya Datuk Teluk Ular mengangkat tangan memberi tanda, binatang ini segera menukik turun dan hinggap kembali di atas pangkuan sang datuk.

"Kau tidak mengecewakan! Benar-benar tidak mengecewakan! Kelelawarku, ketahuilah bahwa kau kini bukan termasuk mahluk binatang, bukan pula bangsa manusia! Kau tergolong dalam kelompok mahluk halus! Segolongan dengan para jin, iblis setan dan hantu! Karena itu kau akan kuberi nama Kelelawar Hantu!"

"Cuit — cuit — cuit —!" Kelelawar di atas pangkuan menyahuti.

"Tetapi ujianmu tadi masih belum cukup! Kau telah membunuh binatang sejenismu! Namun perlu kusaksikan bagaimana kau membunuh manusia!"

Kelelawar Hantu kedip-kedipkan kedua matanya yang merah seolah-olah siap menunggu perintah. Datuk Teluk Ular memandang berkeliling. Mulutnya menyeringai.

"Kau lihat tiga orang nelayan yang baru saja naik ke atas biduk di sebelah sana...? Bunuh mereka!"

"Cuit... cuit...cuit!"

Kelelawar Hantu melesat di atas permukaan laut menuju ke sebuah perahu yang ditumpangi tiga nelayan dan baru saja meninggalkan pantai. Korban pertama adalah nelayan tua yang duduk di sebelah belakang perahu. Lehernya menyemburkan darah begitu taring runcing Kelelawar Hantu, mengorek tenggorokannya dan memutus urat besar! Orang tua ini menjerit lalu roboh!

Anak nelayan tua ini yang duduk di bagian tengah perahu berseru kaget. Siapa yang akan menduga kalau seekor kelelawar aneh seram tiba-tiba muncul dan menyerang dengan ganas.

"Binatang celaka!" teriak nelayan muda itu dengan marah. Pendayung di tangan kanannya langsung dipukulkan pada kelelawar. Sesaat lagi pendayung kayu itu akan menghantam pecah kepala kelelawar, binatang ini tiba-tiba melesat ke samping lalu dengan cepat sekali membalik menyerang nelayan muda itu dengan hantaman sayap kirinya.

Wuut...!

Sayap menderu, sama derasnya dengan sambaran kayu pendayung. Hanya bedanya, kalau waktu diserang tadi kelelawar itu mampu mengelak, sebaliknya nelayan muda tidak bisa selamatkan diri.

Pelipis kanannya tampak rengkah. Pemuda malang ini langsung ambruk, terkulai di pinggiran perahu. Dari mulutnya terdengar suara erangan, lalu diam. Tak terdengar apaapa lagi pertanda ajalnya sudah sampai.

Nelayan ketiga, yang duduk di sebelah muka menjadi pusat pasi ketakutan. Dia jatuhkan diri dan berlindung di balik gulungan jala ketika kelelawar itu terbang berputar-putar dan menyerangnya dari arah kiri.

Wuutt!

Sayap kelelawar membabat laksana sambaran pedang. Nelayan itu menjerit ketakutan.

Dirasakannya telinga kanannya perih sekali. Ketika dirabanya ternyata daun telinganya telah putus! Ketakutan setengah mati nelayan ini segera menyambar pendayung dan mengayuh perahu itu kembali ke pantai. Tetapi kelelawar Hantu datang lebih cepat, Kali ini binatang itu datang lurus-lurus dari arah depan. Sayap terpentang, moncong terbuka lebur dan suara cuit-cuit keluar tak putus-putusnya dari mulutnya yang bercelemong darah!

Ketike kelelawar mencapai jarak sepejangkauan, nelayan itu lemparkan kayu pendayungnya. Namun lemparannya meleset.

"Cuit... cuit..." Kelelawar Hantu tampak ganas. Kini kaki-kakinya terulur ke depan seperti hendak mencengkeram. Nelayan jatuhkan dirinya sama rata dengan lantai perahu. Tangan kanannya menyambar gulungan jala. Sesaat lagi kelelawar itu sampai di depannya, nelayan ini lempar dan tebar jala ikannya ke atas. Kelelawar Hantu terjerat dan tergulung dalam jala ikan!

"Cuit... cuit... cuit...!"

Kaki, sayap dan taring bergerak kian kemari. Di lain kejap jala ikan yang kokoh itu robek berputusan. Begitu keluar dari dalam jala, binatang itu langsung menyerbu dan kali ini tidak memberi ampun. Cakaran kakikakinya merobek wajah nelayan yang malang itu. Darah mengucur mengerikan. Terdengar jerit sang nelayan, panjang mengenaskan. Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya yang hancur. Darah mengucur. Tak dapat menahan sakit, nelayan ini berteriak keras dan menghambur ke dalam laut. Tubuhnya mengapung sesaat lalu lenyap tenggelam ke dalam laut.

"Cuit... cuit... cuit!" kelelawar Hantu keluarkan suara melengking. Berputar tiga kali di atas perahu lalu melesat ke selatan menuju batu hitam berlumut dimana Datuk Teluk Ular menunggu dengan menyeringai puas.

"Luar biasa! Kau menghabisi tiga nelayan itu lebih cepat dari yang kuharapkan!" kata Datuk Ular sambil mengusap-usap punggung kelelawar yang hinggap di pangkuannya.

"Pekerjaan kita hari ini selesai. Kau ikut aku pulang ke rumah! Kita siap menunggu para tetamu yang bakal membawa harta dan uang! Ha... ha... ha...! Rezeki besar menunggu kita Kelelawar Hantu! Ha... ha... ha...!

2SIANG ITU udara terasa panas walau di teluk turun hujan rintik-rintik dan angin bertiup keras. Penunggang kuda berbelangkon hitam berhias bintang perak yang disematkan di sebelah depan belangkon memandang seputar teluk. Laut... pantai dan pasir, ombak yang memecah, lalu deretan pohon-pohon kelapa diseling semak belukar liar. Sama sekali dia tidak melihat bangunan di sekitar situ.

"Petunjuk mengatakan ini adalah Teluk Ular. Orang yang kucari diam di sini. Tapi di mana? Tak ada bangunan. Tak ada sepotong manusia pun!"

Orang berkuda itu mengusap tengkuk tunggangannya sementara seekor kuda cadangan yang dibawanya tegak diam di sebelah kiri, hanya telinga binatang ini saja yang tampak bergerak-gerak. "Akan kuselidiki ke arah pedalaman sana..." Penunggang kuda itu memutuskan. Lalu dia memacu kuda tunggangannya melewati pepohonan kelapa, menerjang semak belukar pendek. Sekira sepeminuman teh dia menemui sebuah kampung kecil. Pasti kampung nelayan. Namun tak seorang pun ditemuinya di sana. Melihat keadaan kampung itu, tampaknya sudah sejak lama ditinggalkan penghuninya. Beberapa buah perahu kecil yang lapuk dimakan usia menggeletak di halaman rumah-rumah yang hampir roboh.

"Ke mana penghuni kampung ini... Tak ada orang, tak ada tempat bertanya!" Baru saja penunggang kuda ini berucap dalam hati begitu rupa tiba-tiba terasa ada angin menyambar di sisi kiri. Kuda cadangan meringkik keras. Berpaling ke kiri si pemilik kuda melihat di atas punggung kuda cadangannya telah duduk seorang lelaki tua tak dikenal, berpakaian rombeng penuh tambalan, menyandang sebuah tas yang terbuat dari tikar. Sebatang rokok kawung terselip di sela bibirnya. Orang tua tak dikenal ini hembuskan asap rokok kawungnya lalu menyeringai lebar pada lelaki berbelangkon hitam.

"Anak manusia berbelangkon dan berpakaian bagus, muncul dengan membawa dua ekor kuda tegap yang dapat berlari kencang! Kelihatannya kau tengah mencari-cari sesuatu atau seseorang. Apa atau siapa yang sedang kau cari heh...?"

"Pasti inilah orang yang kucari!" pikir si penunggang kuda. Hatinya gembira karena jauh-jauh datang akhirnya berhasil menjumpai orang yang dicari. "Orang tua, kau pasti Datuk Teluk Ular..."

Si tua berbaju rombeng kembali menyeringai dan kepulkan asap rokok kawungnya. Dia tidak menjawab perkataan orang melainkan balas bertanya: "Anak manusia, siapa dirimu dan datang dari mana...?"

"Aku Lor Ametung, Kepala Desa Babakan di Tanjung Selatan. Aku datang jauh-jauh mencarimu untuk meminta pertolongan.

"Hemmm... begitu?" ujar si baju rombent.

"Tapi kau keliru anak manusia!"

"Keliru bagaimana...?"

"Aku bukan Datuk Teluk Ular yang kau cari...!"

Lor Ametung jadi kaget dan menatap lama pada si orang tua yang duduk di punggung kuda miliknya. "Gerak-geriknya aneh, sikapnya jelas menunjukkan dia menyimpan kepandaian tinggi Mungkin sekali dia sengaja hendak menutupi kalau dirinya bukan Datuk Teluk Ular...Orang sakti selalu bersikap aneh! Akan kucoba sekali lagi!" Maka Lor Ametung kembali berkata. "Aku datang dari jauh. Tidak mungkin keliru kalau ini bukanlah Teluk Ular. Juga tidak mungkin keliru kalau kau adalah Datuk Teluk Ular, orang yang memiliki peliharaan seekor kelelawar sakti!"

"Kelelawar sakti! Ah...Sudah lama aku mendengar nama binatang itu. Lebih terkenal dengan sebutan Kelelawar Hantu. Bukan begitu ...?"

"Benar. Dan kau, bukankah kau pemilik dan pemeliharanya?"

"Sudah kubilang. Kau keliru anak manusia! Aku bukan Datuk Teluk Ular. Aku bukan pemelihara segala macam burung atau kelelawar!"

"Jadi siapakah kau kalau begitu?"

"Aku adalah aku!"

Mendengar jawaban itu sekali lagi Lor Ametung menatap wajah si orang tua lekatlekat. Wajahnya kemudian berubah kecewa dan juga gusar.

"Kalau kau memang bukan Datuk Teluk Ular yang kucari, biarlah aku meneruskan perjalanan. Harap kau suka turun dari kudaku itu...!"

"Astaga!" si baju rombeng seperti baru sadar. "Aku duduk di atas kudamu rupanya! Betapa lancangnya diriku..." Dengan satu gerakan enteng orang tua berpakaian seperti pengemis itu melompat turun dan duduk pada batangan pohon kelapa tumbang dan tergeletak di tanah. Sambil duduk dia mengeluarkan bungkusan daun dari dalam tas tikarnya. Ternyata sebungkus nasi putih tanpa ikan. Tanpa menawarkan dan tanpa memandang ke kanan dan ke kiri dia mulai menyantap nasi putih itu!

Lor Ametung masih memperhatikan orang tua ini beberapa saat lalu akhirnya tinggalkan tempat itu.

Semakin jauh masuk ke pedalaman teluk, semakin rapat pohon-pohon kelapa yang tumbuh dan semakin lebat semak belukar yang menghalang. Deburan ombak di tepi pantai sudah tidak terdengar lagi. Desauan angin bersatu dengan gemerisik daun-daun pohon kelapa. Lor Ametung merasakan tenggorokannya kering dan haus sekali. Dia menyesali diri yang tidak membawa perbekalan air. Maka dia mendongak ke atas untuk mencari-cari pohon kelapa yang berbuah. Saat itulah tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan aneh terbuat dari kayu kasar, terletak di atas empat buah pohon kelapa yang tumbuh berdekatan.

"Hanya orang berkepandaian tinggi mampu diam di atas pohon kelapa setinggi itu. Sama sekali tidak ada tangga! Pasti inilah tempat kediaman Datuk Teluk Ular! Ah, bagaimana aku akan menemuinya. Naik ke atas sana tentu aku tak mampu. Satu-satunya jalan adalah berteriak... Maka Lor Ametung buka mulut lebar-lebar dan berseru: "Da..."

Seruannya serta merta putus ketika entah dari mana munculrya tiba-tiba melesat seekor burung besar, menderu ke arahnya. Merasa binatang itu sengaja menyerangnya, Lor Ametung cepat melompat dari punggung kuda, berguling di tanah dan berlindung di balik pohon kelapa. Ketika memandang ke depan, yang disangkanya burung tadi ternyata adalah seekor kelelawar aneh berkepala besar bersayap lebar. Dan ternyata kelelawar itu bukan menyerang dirinya, melainkan menyerang kuda yang ditungganginya!

Lor Ametung menyaksikan hal mengerikan dan sulit dipercaya. Sayap lebar kelelawar itu menghantam kepala kuda tunggangannya dengan keras hingga kuda itu meringkik tinggi, roboh tersandar ke sebatang pohon kelapa, melosoh ke tanah dengan bagian kening remuk!

Kelelawar besar melayang berputar dan kembali menyerbu kuda yang sedang meregang nyawa. Kali ini sasarannya adalah leher kuda. Sekali mencengkeram dengan mulutnya yang bertaring panjang dan runcing, putuslah urat besar di leher kuda dan darah bersemburan! Lor Ametung merasakan tengkuknya dingin dan wajahnya pucat ketakutan ketika dilihatnya kelelawar ganas tadi hinggap di serumpun semak belukar, menatap dengan sepasang matanya yang merah, mengeluarkan suara mencuit keras lalu terbang ke arahnya!

"Matilah aku!" jerit Lor Ametung dalam hati. Di balik pohon kelapa besar dia jatuhkan diri, berlindung mencari selamat.

Di saat itulah dia seperti mendengar ada suara dari atas pohon.

"Kelelawarku, cukup kudanya saja! Kau kembali ke tempatmu, biar aku menemui tetamu dari jauh itu... "

"Cuit... cuit... cuit...!"

Kelelawar hitam bermata merah mencuit tiga kali, melayang berputar lalu melesat ke arah bangunan kayu di atas pohon kelapa. Di saat yang sama sesosok tubuh melayang turun dari bangunan kayu itu dan tegak tepat di hadapan Lor Ametung.

Lor Ametung yang merunduk di akar pohon kelapa, merasa ada orang tegak di hadapannya pelahan-lahan angkat kepala. Dan dia jadi terhenyak di tanah saking takutnya ketika melihat wajah sosok tubuh yang tegak di hadapannya. Dia tidak tahu apakah tengah berhadapan dengan setan atau jin laut. Bahkan setan atau jin laut sekalipun tidak memiliki tampang seangker wajah yang disaksikannya saat itu!

"Berlutut di hadapanku! Jangan menjelepok tolol seperti itu!"

Manusia berwajah seram di depan Lor Ametung membentak. Dengan tubuh gemetar Lor Ametung bangkit dari duduknya lalu berlutut di hadapan si muka angker.

"Aku adalah penguasa Teluk Ular! Kau berani datang kemari apakah minta mati?!"

Meski takut setengah mati tapi diam-diam Lor Ametung merasa gembira juga karena jika si wajah angker mengatakan dirinya penguasa Teluk Ular, tidak dapat tidak dia pastilah Datuk Teluk Ular itu!

"Maafkan diriku..." kata Lor Ametung. "Aku datang dari jauh bukan untuk mengganggu ketenteramanmu, apalagi menantang kekuasaanmu. Jika kau adalah Datuk Teluk Ular, manusia sakti pemilik Kelelawar Hantu, maka aku datang padamu untuk minta tolong!"

"Katakan siapa namamu. Datang dari mana. Pertolongan macam apa yang kau minta dan apakah datang membawa bekal...?!"

"Namaku Lor Ametung. Aku Kepala Desa Babakan di selatan. Datang menemui Datuk untuk minta tolong menghapus malu dan membalaskan dendam kesumat terhadap seorang Perwira Kerajaan yang telah menipu dan mencemarkan nama keluargaku. Mengenai bekal aku memang sudah mempersiapkannya,."

"Baik. Katakan apa bekal yang kau bawa?!"

"Seekor kuda jantan... "

"Anjing busuk! Siapa perlukan kuda!"

bentak si wajah angker bermata merah yang memang bukan lain adalah Datuk Teluk Ular.

"Harap dimaafkan. Kalau Datuk tidak berkenan akan kuda itu. aku ada membawa bekal lain. Dua macam perhiasan dan lima keping perak... "

"Itu boleh juga! Serahkan semuanya padaku! Cepat!" Datuk Ular gosok-gosok kedua telapak tangannya sedang sepasang matanya yang merah melotot berputar-putar.

Dari balik pinggang celananya Lor Ametung keluarkan sebuah kantong kain lalu menyerahkannya pada sang Datuk. Datuk Teluk Ular periksa isi kantong, menyeringai sekilas lalu masukkan kantong itu ke balik pakaiannya.

"Sekarang katakan pertolongan apa yang kau inginkan!"

Lor Ametung lalu menuturkan.

"Satu tahun silam, seorang Perwira Kerajaan secara paksa meminta agar puteri tunggalku bernama Ranawarti bersedia dijadikan calon istrinya. Aku menolak karena selain Perwira itu sudah lanjut usianya, dia juga telah memiliki dua istri. Namun diriku sekeluarga diancam. Karena tak berdaya menghadapi ancaman dan kekuasaannya, aku dan istriku terpaksa mengabulkan permintaannya.

Begitu permintaan kukabulkan, Ranawarti langsung diboyongnya ke Kotaraja. Padahal sesuai perjanjian puteriku itu akan dikawin sesuai adat dan agama. Ternyata Ranawarti hanya dijadikan peliharaan. Sama sekali tidak ada pesta perkawinan seperti yang dijanjikan. Dan lebih malangnya lagi, ketika puteriku hamil enam bulan, Ranawarti dipulangkan dan ditinggalkan begitu saja...

Perwira itu kemudian kawin dengan gadis lain yang masih keponakanku. Pesta besar perkawinan akan dilangsungkan minggu depan "Lalu apa maumu sekarang ini?" bertanya Datuk Teluk Ular,

"Aku ingin agar Perwira itu dibunuh!" jawab Lor Ametung.

"Kau mampu melakukan sendiri dengan tanganmu!"

Lor Ametung gelengkan kepala. "Saya sudah mencoba Datuk. Dengan cara kasar dan cara halus Semuanya gagal. Perwira itu memiliki dua orang pengawal berkepandaian tinggi sedang dia sendiri kabarnya menyimpan ilmu kebal! Malah aku mendengar berita, dia akan menyuruh tangkapku..."

"Nasibmu memang jelek Lor Ametung. Siapa nama Perwira yang doyan daun muda itu?"

"Namanya Haryo Tulus Neso, Datuk... "

"Bagus! Kau boleh pergi sekarang. Perwira itu akan menemui ajal pada malam perkawinannya! Di pelaminan!"

"Terima kasih Datuk... Aku mohon diri."

"Hait! tunggu dulu!" seru Datuk Teluk Ular.

"Ada satu pertanyaan yang harus kau jawab. Kau datang kemari seorang diri atau membawa teman?!"

" Aku datang sendirian Datuk."

"Jangan dusta!" bentak Datuk Teluk Ular dengan mata membeliak marah dan garang.

"Aku tidak berdusta Datuk. Aku benarbenar datang sendirian..." berkata Lor Ametung.

Sang Datuk menatap lekat-lekat. Hidungnya kembang kempis. Lalu dia bertanya: "Kau suka merokok Lor Ametung?"

"Tidak," jawab Lor Ametung seraya menggeleng.

"Kenapa pakaianmu berbau rokok...?"

Lor Ametung mendekatkan bahu kanannya ke hidung. Memang pakaian itu berbau rokok. Sesaat dia merasa heran, kemudian dia ingat.

"Aku bertemu seseorang di tengah jalan waktu menuju kemari... "

"Aku sudah menduga! Di mana orang itu sekarang?!"

"Aku tidak tahu Datuk. Waktu kutinggalkan dia asyik menyantap nasi bungkus... "

"Bagaimana ciri-ciri orang itu?!" tanya Datuk Teluk Ular.

"Seorang tua bermuka buruk keriput.

Pakaiannya rombeng dan penuh tambalan "Dia membawa tas terbuat dari tikar...?"

"Betul sekali Datuk..."

"Dan dia merokok kawung...?"

"Benar Datuk..."

Sekilas Lor Ametung melihat perubahan pada wajah Datuk yang angker itu.

"Aku boleh pergi sekarang Datuk?" bertanya Lor Ametung.

Sang Datuk hanya anggukkan kepala. Lor Ametung naik ke punggung kuda dan tinggalkan tempat itu. Untuk beberapa lamanya Datuk Teluk Ular masih tegak di situ. Derap kaki kuda tunggangan Lor Ametung makin lama makin jauh hingga akhirnya tak terdengar lagi. Datuk Teluk Ular mengusap wajahnya yang seram, memandang ke arah kejauhan. Dalam hatinya ada serangkai ucapan.

"Ah, ternyata dia masih hidup. Bagaimana hal ini bisa terjadi. Bukankah dulu jelas-jelas dia sudah mati masuk ke dalam jurang? Atau mungkin setannya yang muncul gentayangan...?"

Datuk Teluk Ular memandang berkeliling. Meneliti hampir setiap pohon dan setiap semak belukar di sekitarnya. Tak tampak seorang manusia atau seekor binatangpun, kecuali kuda milik Lor Ametung yang tadi mati dibunuh Kelelawar Hantu. Hatinya agak lega sedikit. Setelah sekali lagi memandang berkeliling. Datuk Teluk Ular melompat ke atas dan masuk ke dalam rumah kayu di puncak empat pohon kelapa.

Di balik semak belukar lebat di bawah sebatang pohon kelapa, tak tertembus oleh pandangan mata tajam Datuk Teluk Ular, sesosok tubuh berpakaian rombeng bertambaltambal duduk menjelepok di tanah seenaknya.

Sebatang rokok kawung terselip di sela bibir, tetapi sejak tadi sengaja tidak dinyalakan. "Jika kuturutkan hawa amarah, ingin aku membunuhnya detik ini juga. Tapi aku harus menunggu. Harus melihat sendiri bahwa dia memang benar-benar telah menguasai mantera jahat itu. Burung kelelawar tadi...Sulit aku mempercayainya. Aku harus menunggu dan bersembunyi sampai minggu depan. Sampai dia melaksanakan perintah untuk membunuh Haryo Tulus Reso... Mudah-mudahan saja penciumannya tidak terlalu tajam hingga tidak dapat mencium bau busuk pakaianku rombengku ini...Hik... hik...hik " Orang tua berbaju rombeng cekikikan sendiri.

3

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang