143. Perjanjian Dengan Roh

7.4K 91 9
                                    

SATU

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SATU

DALAM kegelapan dan dinginnya udara malam, Djaka Tua tambatkan kudanya di batang pohon kelapa. Debur ombak serta deru tiupan angin laut selatan terdengar sambung-menyambung tak berkeputusan. 

Lelaki berusia lebih setengah abad ini memandang dulu ke arah laut luas sebelum melangkah menuju gundukan batu membentuk bukit terjal setinggi sepuluh tombak dan panjang hampir tigaratus kaki di samping kirinya. 

Walau sebelumnya cuma satu kali datang ke tempat itu namun Djaka Tua masih ingat jalan yang harus diambil. Di malam gelap tidak mudah menyusuri lamping bukit batu terjal serta licin terkikis angin mengandung garam. Sesekali dia dikejutkan oleh suara kepak sayap kelelawar yang terbang rendah.

Djaka Tua adalah pembantu di rumah seorang pejabat tinggi yang diam di pinggiran Kotaraja. Nama sebenarnya Akik Sukro namun karena sampai usia limapuluh tahun lebih dia belum beristri, teman-teman memanggilnya Djaka Tua. Tidak kawinnya Akik Sukro mungkin karena cacat yang dideritanya sejak kecil yaitu dia memiliki sebuah punuk di belakang leher sehingga tidak ada perempuan yang suka padanya walau sehari-hari dia adalah seorang lelaki baik budi pekerti dan tutur bicaranya.

Langkah Djaka Tua terhenti ketika hidungnya mencium bau kemenyan. Ada rasa merinding namun juga rasa lega karena bau kemenyan itu menandakan tanda orang yang dicarinya berada di dalam goa di lamping bukit sebelah bawah. Untuk mencapai goa yang dikenal dengan nama Goa Girijati itu bukan hal yang mudah. Sekali kaki terpeleset tak ampun lagi Djaka Tua akan jatuh dari lamping bukit batu, ditunggu hamparan batu-batu cadas lancip di bawah sana.

Bau kemenyan semakin santar. Sejarak duapuluh langkah di depannya Djaka Tua melihat satu cegukan di bukit batu. Di dalam cegukan samar-samar ada cahaya tak begitu terang, membersit keluar dari satu lobang besar yang merupakan mulut sebuah goa. Walaupun jaraknya cuma duapuluh langkah namun karena harus berhati-hati maka cukup lama Djaka Tua baru berhasil mencapai cegukan batu dan berdiri di hadapan mulut goa. Di dalam goa Djaka Tua melihat sebuah pedupaan, mengepulkan asap tipis menebar bau kemenyan. Benda merah menyala dalam pedupaan adalah sejenis batu bara langka yang dapat bertahan hidup sampai tujuhratus hari. Dua langkah di belakang pedupaan, duduk bersila seorang lelaki berpakaian dan ikat kepala hitam dengan wajah tertutup rambut panjang awut-awutan, kumis serta jenggot dan cambang bawuk meranggas lebat. 

Dua kelopak mata yang tertutup tampak merah seolah mata itu ada nyala api di sebelah dalam. Dua tangan bersilang di atas dada. Dari ubun-ubun, telinga kanan dan dua lobang hidung mengepul keluar asap tipis kehitaman.

Untuk beberapa lamanya Djaka Tua tertegun di mulut goa. Enam bulan lalu dia mengantarkan orang itu ke goa. Kini keadaannya jauh berobah, kotor dan angker menggidikkan. Sementara berdiri Djaka Tua menjadi bingung.

Bagaimana cara memberi tahu kehadirannya pada orang yang tengah bersemedi. Tadinya dia hendak berdehem atau batuk-batuk. Namun Djaka Tua sadar, mengganggu dan memutus semedi orang adalah merupakan satu pantangan besar. Agaknya tak ada jalan lain. Dia harus menunggu sampai orang itu menyelesaikan semedinya. Tapi berapa lama dia harus menunggu?

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang