34. Munculnya Sinto Gendeng

7.1K 139 7
                                    

BAB 1Malam rimba belantara luar biasa lebat dan sunyinya itu Sri Baginda duduk di atas batangan pohon yang sengaja ditebang untuk dijadikan tempat duduk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB 1

Malam rimba belantara luar biasa lebat dan sunyinya itu Sri Baginda duduk di atas batangan pohon yang sengaja ditebang untuk dijadikan tempat duduk. Di sebelahnya duduk Patih Kerajaan.
Permaisuri tegak bersandar ke tiang bangunan yang baru saja selesai dibuat secara darurat.

Bangunan itu tanpa dinding sama sekali. Atapnya dari cabang-cabang pepohonan yang dirapatkan dan ditutup dengan berbagai dedaunan. Enam orang pengawal berbadan tegap dengan senjata terhunus mengelilingi tempat itu. Seorang lelaki separuh baya berpakaian ringkas dengan sebilah keris terselip di pinggang melangkah mundar-mandir. Sepasang matanya membersitkan pandangan tajam. Agak ke sebelah belakang bangunan yang tak lebih dari sebuah gubuk itu, duduk di atas tikar daun seorang perempuan muda berparas jelita berkulit kuning langsat. Perempuan ini adalah salah seorang selir Sri Baginda.

Tak ada yang membuka mulut. Kesunyian rimba belantara hanya dirasuki oleh langkah-langkah lelaki berpakaian ringkas yang mundar-mandir itu.

"Patih Aryo Culo!" Sri Baginda akhirnya memecah kesunyian yang mencekam tidak enak itu.

"Apakah tempat ini cukup aman bagi kita?"

Lelaki berpakaian ringkas berhenti melangkah. Dia menatap Sri Baginda lalu berpaling pada Patih Aryo Culo yang duduk di sebelah kiri Sri Baginda.

"Untuk satu dua hari saya rasa cukup aman Sri Baginda. Saya sudah memerintahkan seorang kepercayaan untuk menyiapkan tempat baru di sebuah lereng bukit. Paling lambat dua hari lagi dia pasti muncul dan kita bisa segera berangkat".

"Bagaimana dengan binatang buas?" tanya Sri Baginda pula.

Patih Aryo Culo menoleh pada lelaki berpakaian ringkas. Dan orang ini segera berkata: "Saya sudah menebar garam penolak ular dan segala macam binatang berbisa. Di hutan ini tak ada harimau atau binatang buas lainnya".

Meskipun mendapat jawaban demikian namun wajah Sri Baginda masih tetap tampak muram kawatir. Ada hal lain yang tengah dipikirkannya. Patih Aryo Culo seperti dapat meraba, segera membuka mulut.

"Para Pangeran dan Puteri telah diselamatkan di sebuah tempat rahasia. Kaum pemberontak tak bakal menemukan mereka. Sesuai dengan rencana tujuh hari di muka mereka akan bergabung dengan kita di tempat baru di lereng bukit, bersama-sama dengan dua orang selir Baginda lainnya. Satu hal yang saya mohon dimaafkan. Keponakan Sri Baginda Raden Jingga tidak berhasil ditemukan.

Dimana dia berada ketika pemberontak menyerbu Kotaraja tidak diketahui".

Sri Baginda mengusap-usap rambutnya yang panjang sebahu dan keseluruhannya telah berambut putih.

"Aku tidak mengawatirkan Raden Jingga. Tidak mengawatirkan siapa-siapa. Bahkan dirikupun tidak..." berucap Sri Baginda. "Yang aku risaukan adalah masa depan Kerajaan. Jika kaum pemberontak yang kini bercokol di Kotaraja tidak dapat ditumpas dengan cepat, malapetaka besar akan melanda seluruh negeri..."

Patih Aryo Culo tertunduk muram. Kemudian dia mengangkat kepala memandang pada lelaki berpakaian ringkas seolah-olah mencari jawaban dan jalan keluar dari masalah besar yang sedang mereka dihadapi. Namun orang inipun tak bisa membuka mulut.

Sementara itu, tak berapa jauh dari gubuk di tengah rimba belantara itu, di atas sebatang cabang pohon besar tinggi dengan dedaunan yang rimbun lebat duduk sepasang kakek nenek aneh.

Agaknya kehadiran kedua orang ini sama sekali tidak diketahui oleh Sri Baginda dan yang lain-lainnya.

Bukan saja karena kakek dan nenek itu terlindung di balik kerapatan dedaunan tetapi juga karena mereka sama sekali tidak mengeluarkan suara. Jelas mulut mereka tampak bergerak-gerak tanda keduanya tengah bercakap-cakap. Tapi tidak sepotong katapun yang terdengar. Keduanya bicara tanpa mengeluarkan suara.

Si nenek bertubuh tinggi kerempeng, memiliki kulit sangat hitam, kulit hanya merupakan pembalut tulang. Pipi dan rongga matanya cekung hingga tampangnya sangat angker walaupun dia bicara sambil tersenyum-senyum. Rambutnya yang jarang berwarna putih, dihias dengan lima buah tusuk kundai perak berbentuk aneh. Luar biasanya lima tusuk kundai ini tidak diselipkan di antara rambutnya yang jarang, tapi langsung disisipkan ke kulit kepalanya! Seperti rambutnya, sepasang alisnya pun berwarna putih. Setiap tertawa kelihatan mulutnya yang ompong. Pakaiannya dekil tak karuan. Lelaki tua yang duduk berjuntai di cabang pohon di sebelah si nenek mengenakan pakaian dan ikat kepala putih bersih apik. Meski wajah tuanya penuh keriputan namun masih kelihatan klimis dan memancarkan raut muka pertanda bahwa dia seorang pandai. Di tangan kirinya ada seuntai tasbih.

Sambil bercakap-cakap tiada hentinya dia berzikir dalam hati.

Nenek tua cibirkan bibirnya, kepalanya dimiringkan sedikit dan pandangannya menukik ke arah gubuk di bawah sana.

"Ki Rana Wulung...Apakah lelaki gendut bermuka berminyak yang duduk itu yang namanya Sri Baginda alias Raja...?"

Kakek di samping si nenek anggukkan kepala.

Si nenek menahan tawa cekikikan.

"Eh, kenapa kau tertawa Sinto...?" Bertanya si kakek.

"Kukira seorang Raja itu tinggi besar, berbadan kekar penuh otot dan punya tampang dengan segala wibawa. Tahu-tahu...begitu saja potongan seorang Raja. Gendut berlemak dari perut sampai ke leher. Bermuka berminyak. Pendek dan jelek pula! Hik...hik...hik..."

"Sinto, jangan merendahkan orang seperti itu. Bagaimanapun kekurangannya dia adalah Raja Kerajaan. Rajaku dan Rajamu juga. Mengapa harus ditertawakan? Apalagi saat ini dia bersama rombongan dalam pelarian. Terpaksa mengungsi ketika pemberontak berhasil merebut Kotaraja dan menyerbu masuk Keraton. Terus terang aku kasihan melihatnya..."

"Kalau aku tidak," sahut si nenek. "Raja buruk seperti itu mengapa harus dikasihani...!"

"Mulutmu dari dulu selalu usil dan ceplas-ceplos. Kapan kau akan berubah Sinto?"

"Mulut mulutku sendiri. Mengapa musti ada orang yang melarang? Ah sudahlah...Siapa perempuan separuh baya berwajah dan bersikap agung yang tegak bersandar ke tiang gubuk itu...?

Hemm... Aku tahu. Itu pasti permaisurinya!" Si nenek yang dipanggil dengan nama Sinto itu menjawab sendiri pertanyaannya. "Lalu kau tahu siapa perempuan muda cantik jelita yang duduk di tikar daun....?"

"Selir Sri Baginda..." sahut si kakek.

Kembali si nenek menahan tawa cekikikan.

"Apa sih yang kau tertawakan?" lelaki tua bernama Ki Rana Wulung bertanya agak jengkel.

Si nenek geleng-geleng kepala. "Rajamu itu hebat juga Rana! Mengungsi selamatkan diri tapi masih sempat membawa selir. Hik... hik... hik'

"Tak pantas mengejek dan mentertawai Raja terus-terusan Sinto..."

"Siapa yang mengejek dan menertawai! Sekarang terangkan siapa lelaki berhidung besar yang duduk di samping Sri Baginda!"

"Itu Raden Aryo Culo, Patih Kerajaan..."

"Dan lelaki muda yang sejak tadi kulihat melangkah mundar-mandir seperti orang kepingin berak itu...?"

"Kalau aku tidak salah dia adalah Raden Turonggo Wesi. Seorang Perwira Tinggi tangan kanan Kepala Balatentara Kerajaan..."

"Jadi untuk menemui orang-orang inilah kau membawaku kemari...? Menyesal aku datang ke sini Rana Wulung!" Si nenek mengomel.

"Kalau tidak pakai mengomel, memaki dan mengejek namanya bukan nenek aneh Sinto Gendeng!" Ujar Ki Rana Wulung pula. "Bukankah sudah kuterangkan, menjelang hebatnya gempuran kaum pemberontak Sri Baginda mengirimkan seorang utusan menemuiku untuk meminta bantuan menyelamatkan Kotaraja terutama Istana. Hanya sayang aku terlambat. Keraton keburu diduduki oleh pemberontak...".

"Setahuku di istana banyak bercokol orang-orang pandai dari dunia persilatan. Mengapa Sri Baginda tidak minta tolong mereka lebih dulu?"

"Ada sebabnya Sinto. Sri Baginda tidak dapat lagi membedakan mana kawan mana lawan.

Mana orang sendiri mana kaki tangan pemberontak. Buktinya kini tak seorang tokoh silatpun mendampinginya".

"Kalau begitu memang kasihan juga nasib Rajamu itu!"

"Rajaku dan Rajamu juga, Sinto...."

"Hemm...terserahmulah. Tapi bagaimana ini! Aku kepingin kencing...! " si nenek berkata tiba tiba.

"Manusia gendeng...!"

"Membaliklah kau!" si nenek memerintah.

"Eh, apa yang hendak kau lakukan?" Ki Rana Wulung bertanya dengan melotot.

Si nenek balas pelototkan mata.

"Aku bilang aku mau kencing! Dan jangan berani mengintip orang perempuan kencing!"

"Gila! Pergi turun ke tanah kalau mau kencing!"

"Kau yang gila! Mengapa musti repot-repot pakai turun segala kalau aku bisa kencing dari sini!

Nah sekarang cepat berpaling!"

Dari pada bertengkar terus si kakek akhirnya palingkan kepala memandang ke jurusan lain.

Didengarnya si nenek menyingsingkan kain bututnya. Lalu terdengar suara berdesir disusul suara air bergemericik. Dalam hatinya si kakek menyumpah habis-habisan.

"Aku sudah selesai! Jangan sok alim berpaling terus!" terdengar suara si nenek.

"Gendeng... dari dulu sampai sekarang kelakuanmu tidak pernah berubah! Konyol! Pantas kau dipanggil orang Sinto Gendeng!"

Di bawah sana, lelaki berpakaian ringkas dengan keris terselip di pinggang mendongakkan kepala dan memandang berkeliling. Sepasang matanya tak berkesip.

"Ada apa Turonggo?" Bertanya Sri Baginda sementara enam pengawal bersikap waspada.

"Saya mendengar suara gemericik air. Padahal tak ada hujan, tak ada mata air di sekitar sini.

Saya akan menyelidik...!"

"Mungkin desau angin dan gemerisik dedaunan yang kau dengar. Aku tidak mendengar apaapa..."

kata Sri Baginda pula.

Turonggo Wesi berpaling pada Patih Aryo Culo seolah minta pendapat. Sang patih anggukkan kepala seraya berkata: "Sebaiknya coba kau selidiki, tapi cepat kembali..."

Turonggo Wesi memberi isyarat pada dua orang pengawal. Ketiganya bergerak ke jurusan darimana tadi terdengar suara air bergemericik. Tak selang berapa lama Perwira Tinggi ini

muncul kembali. Di tangan kanannya dia membawa patahan ranting berdaun lebar.

"Apa yang kau temukan Turonggo?" Tanya Sri Baginda pula.

"Tidak seorangpun terlihat. Tapi daun ini basah secara aneh!" kata Turonggo mengacungkan ranting berdaun.

Patih Aryo Culo bangkit dari duduknya. Hidungnya membaui sesuatu. Matanya menatap daun lekat-lekat lalu berkata. "Air di atas daun itu bukan air biasa. Berbau pesing. Seperti air kencing manusia. Aneh..."

Sri Baginda yang tidak begitu tertarik menghela napas dalam dan berkata: "Mungkin itu air kencing tupai hutan atau binatang lainnya. Sudahlah, campakkan daun celaka itu. Aku ingin agar kita meninggalkan tempat ini sekarang juga!"

"Mohon maaf Sri Baginda" Patih Aryo Culo menyahut cepat. "Seperti saya jelaskan tadi, kita harus menunggu kedatangan orang kepercayaan yang mengatur tempat persembunyian di lereng bukit rahasia. Saat ini rimba belantara ini tempat paling aman. Di luaran pasti mata-mata kaum pemberontak berkeliaran. Belum lagi tokoh-tokoh silat penjilat dan kaki tangannya. Sekali kita terlihat sulit untuk dapat menghadapi kekuatan mereka..."

Kata-kata Patih Aryo Culo itu membuat Sri Baginda kepalkan kedua tangannya karena jengkel.

Dia memandang ke arah kuda-kuda yang tegak berderet-deret ditambatkan ke pohon-pohon sekitar situ.

Ingin dia melompat ke atas salah seekor kuda itu dan menghambur pergi. "Ah, mengapa buruk sekali nasibku ini..." Akhirnya Sri Baginda hanya bisa mengeluh dalam hati.

Di atas pohon Sinto Gendeng mencolek Ki Rana Wulung lalu menunjuk ke bawah. "Patih berhidung besar itu tajam juga penciumannya. Dapat membedakan mana air biasa mana air

kencing.

Hik... hik... hik. Untung tak sampai dipegangnya kencingku itu. Kalau terpegang tiga hari tak akan hilang baunya. Hik... hik... hik..."

"Kelakuanmu memang macam-macam saja Sinto. Jika kau tidak berhenti tertawa..."

"Hai! Berhenti marah-marah! Tutup mulutmu!" bisik Sinto Gendeng. "Telingaku menangkap gerakan-gerakan di sekitar gubuk!"

Baru saja si nenek selesai dengan kata-katanya itu tiba-tiba terdengar suara suitan di arah timur hutan. Suitan ini disambut oleh suitan lain dari sebelah barat. Delapan ekor kuda yang tertambat mendadak gelisah. Tiga di antaranya meulai meringkik.

"Ada orang datang!" bisik Ki Rana Wulung.

"Bukan hanya satu orang. Tapi satu rombongan!" Balas Sinto Gendeng. "Agaknya mereka sudah mengurung tempat ini..."

"Pasti para pemberontak!" Ki Rana Wulung putar-putar tasbihnya.

"Mereka mencari mampus berani mengejar Sri Baginda sampai ke mari...!" kertak si nenek.

Tangan kanannya bergerak meraba lima tusuk kundai yang menancap di kulit kepalanya.

BAB 2

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang