MUSIM panas sekali ini memang gila. Delapan purnama telah berlalu tanpa sekali pun turun hujan. Sungai mengering, danau berubah menjadi lembah tandus. Pepohonan banyak yang hanya tinggal ranting-ranting meranggas. Sawah sudah sejak lama menjadi pendataran liar yang terdiri dari bongkah-bongkah tanah kering kerontang dan alang-alang.
Di bawah teriknya sinar matahari yang seperti membakar bumi menghanguskan jagat, di sebelah selatan Gunung Karangpandan, di tepi sebuah rimba belantara kelihatan satu pemandangan yang bisa dikatakan luar biasa.
Delapan orang lelaki bertelanjang dada, rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh, setengah berlari tampak mengusung sebuah tandu. Empat di depan, empat di belakang. Di bagian tengah tandu ada sebuah tempat duduk kayu yang diberi beratap dan dinding serta pintu, semuanya terbuat dari kayu jati hitam.
Karena kayu jatinya merupakan kayu jati paling bagus dan tebal maka keseluruhan tandu itu memiliki berat tidak kurang dari dua ratus kati! Belum lagi kalau di atas tandu itu ada orangnya.
Di samping itu, demikian rapatnya dinding dan pintu tandu, sehingga siapa pun yang ada di dalamnya tidak dapat dilihat dari luar. Meskipun tandu itu demikian beratnya namun kedelapan lelaki yang mengusungnya berjalan cepat setengah berlari.
Sambil bergerak, dari mulut empat orang pengusung di sebelah depan tidak henti-hentinya menyerukan dengan bersemangat kata-kata hitungan "Satu-dua-tiga-empat...! Satu-dua-tiga-empat!" Lalu empat teman mereka di sebelah belakang pada akhir hitungan ke empat menyahuti dengan ucapan "Anjing gila jilat pantat...! Anjing gila jilat pantat!"
Begitu seterusnya sepanjang perjalanan selalu terdengar: "Satu-dua-tiga-empat...! Anjing gila jilat pantat! Satu-dua-tiga-empat...! Anjing gila jilat pantat!"
Tubuh, muka dan kepala delapan lelaki pengusung tandu tampak basah oleh keringat. Tetapi hebatnya, mereka tidak tampak letih.
Rombongan pengusung tandu aneh itu berangkat sejak fajar menyingsing dari arah Magetan menuju ke Barat. Ke delapan orang pengusung sama sekali tidak mengetahui ke mana sebenarnya tujuan mereka. Pada saat-saat tertentu di lantai tandu yang tertutup itu mereka mendengar suara ketukan.Adakalanya dua ketukan, atau tiga kali ketukan, kadang-kadang hanya satu kali.
Ketukan-ketukan itu adalah tanda atau petunjuk yang harus mereka ikuti. Satu ketukan berarti jalan terus ke depan. Dua ketukan membelok ke kanan. Kalau terdengar tiga kali ketukan pada lantai tandu berarti mereka harus menikung ke kiri.
Dari dalam tandu juga sesekali keluar asap tipis berwarna putih agak kelabu. Anehnya, setiap asap putih itu keluar, ke delapan orang lelaki pengusung seperti berebutan meninggikan hidung, serentak menghirup asap tersebut. Begitu mereka dapat menghirup asap itu, wajah mereka kelihatan menjadi kemerahan. Rasa letih di sekujur tubuh masing-masing menjadi lenyap!
Di suatu tempat terdengar dua ketukan pada lantai tandu. Delapan pengusung segera membelok ke kanan. Kini mereka memasuki rimba belantara yang sebelumnya hanya mereka susuri sepanjang pinggirnya saja. Dulunya rimba belantara ini tertutup kerimbunan daun-daun pepohonan. Kini sejak dilanda musim kemarau panjang selama delapan bulan, rimba belantara itu hanya tinggal pohon-pohon nyaris tak berdaun, tidak mampu membendung teriknya sinar matahari. Di lantai tandu terdengar suara ketukan satu kali berkepanjangan. Pertanda jalan yang ditempuh adalah lurus ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian Tito
Algemene fictieWiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...