30. Dosa - dosa Tak Berampun

5.9K 134 12
                                    

MESKIPUN tanah Jawa dikenal sebagai pusat perkembangan ilmu silat dan kesaktian, namun beberapa daerah di tanah air telah pula mendapat nama harum berkat kehebatan para tokoh silat serta kesaktian yang mereka miliki

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MESKIPUN tanah Jawa dikenal sebagai pusat perkembangan ilmu silat dan kesaktian, namun beberapa daerah di tanah air telah pula mendapat nama harum berkat kehebatan para tokoh silat serta kesaktian yang mereka miliki. Salah satu di antaranya adalah daratan Aceh di Ujung Utara Pulau Andalas.

Dalam serial Wira Sableng berjudul "Raja Rencong Dari Utara" telah dikisahkan munculnya seorang tokoh silat sakti mandraguna, bernama Hang Kumbara, bergelar Raja Rencong Dari Utara. Di situ dikisahkan bagaimana Raja Rencong berusaha mendirikan apa yang disebut Partai Topan Utara. Dia mengundang berbagai tokoh silat yang ada di pulau Andalas bahkan dari outau Jawa untuk datang ke Bukit Toba guna mengadakan pertemuan dan membicarakan rencana besar itu. Padahal di balik semua itu Raja Rencong mempunyai maksud keji yakni hendak membunuh semua para tokoh silat yang hadir. Bilamana para tokoh itu berhasil disingkirkan maka dia akan menjadi raja diraja rimba persilatan.

Raja Rencong mulai dengan menghancurkan Pesantren Suhudilah. Para pengurus pesantren yakni Kiyai Hurajang, Kiyai Selawan dan Kiyai Tanjung Laboh mati di tangan Raja Rencong. Padahal tiga Kiyai itu merupakan orang-orang berkepandaian tinggi bahkan telah dianggap sebagai Datuk rimba persilatan.

Kiyai Suhudilah sendiri, pucuk pimpinan Pesantren Suhudilah akhirnya tewas pula di tangan Raja Rencong. Tak ada satu kekuatanpun yang dapat membendung kehebatan Ilmu Kuku Api dan pukulan Topan Pemutus Urat yang dimiliki Raja Rencong. Dengan dua ilmu luar biasa itu dia malang melintang dalam rimba persilatan pulau Andalas.

Setelah Pesantren Suhudilah disapu bersih maka Raja Rencong menggasak satu komplotan manusia-manusia jahat yang dikenal dengan sebutan Gerombolan Setan Merah. Semula Raja Rencong bermaksud mengambil lima tokoh Setan Merah untuk menjadi para pembantunya. Tetapi ketika mereka menolak dan menghina. Raja Rencong membunuh kelimanya yakni Setan Cambuk (Pemimpin Gerombolan Setan Merah), Setan Pedang, Setan Pisau, Setan Darah dan Setan Rencong. Dalam kehidupannya yang penuh darah dan maut itu Raja Rencong mempunyai seorang anak gadis bernama Pandansuri yang memiliki kecantikan luar biasa, tetapi kekejaman dan keganasannya tidak kalah dari Raja Rencong sendiri.

Apa yang terjadi di rimba persilatan pulau Andalas itu sangat menggelisahkan hati seorang tua berusia hampir tujuh puluh lima tahun. Orang ini dikenal dengan nama Datuk Mata Putih, tokoh silat yang sangat disegani di pulau Andalas pada masa itu. Kedua matanya berwarna putih. Hampir tak terlihat lensa mata yang hitam. Tapi dia tidak buta. Dia merasa menyesal karena Rencong Emas yang kini dimiliki oleh Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara adalah pemberiannya kepada Hang Kumbara sebagai anak muridnya. Dan kini dengan Rencong Emas sakti mandraguna itulah sang murid malang melintang menimbulkan keonaran, menurunkan tangan jahat, melakukan pembunuhan serta perbuatan keji lainnya di mana-mana.

Karena tak dapat berpangku tangan lebih lama maka Datuk Mata Putih meninggalkan goa pertapaannya mencari sang murid. Dalam pertemuan di Bukit Toba, Datuk Mata Putih menasihatkan Hang Kumbara agar bertobat dan tidak lagi melakukan kejahatan karena itu tidak sesuai dengan perilaku seorang tokoh silat, apalagi mengingat dia adalah muridnya sedang sang datuk sendiri begitu disegani dan dihormati sesama tokoh persilatan.

Dengan dalih bahwa dia hanya membalaskan sakit hati kematian ayahnya yang dibunuh secara kejam semena-mena Hang Kumbara menganggap dia punya hak melakukan balas dendam. Namun kemudian dendam terbalaskan itu menjadi dendam berangkai. Para tokoh silat memburunya. Mau tak mau dia terpaksa mempertahankan diri dan menghancurkan semua orang yang berusaha menuntut balas.

Apapun alasan yang dikemukakan Hang Kumbara, semua itu tak dapat diterima oleh Datuk Mata Putih, dan mengharap agar muridnya yang tersesat kembali ke jalan yang benar. Namun Hang Kumbara menjawab: "Salahkah murid, sesatkah murid kalau murid murid membunuh belasan manusia yang bertanggung jawab atas kematian ayah, bahkan ibu, adik-adik, calon istriku dan seluruh anggota keluarganya...?!"

Datuk Mata Putih menyahuti: "Orang-orang yang bertanggungjawab atas semua itu jumlahnya hanya sepersepuluh saja dari jumlah manusia yang telah kau bunuh secara keji! Apa pertanggungan jawabmu atau alasanmu atas yang sembilan persepuluh lainnya? Yang kau bunuh tanpa pangkal sebab atau kesalahan atau dosa apa pun juga?!"

Karena putus asa melihat kekerasan kepala muridnya itu maka Datuk Mata Putih memerintahkan Raja Rencong untuk mengembalikan Rencong Emas yang dulu diserahkannya dan ikut bersamanya ke pertapaan. Tentu saja Raja Rencong menolak perintah tersebut. Maka perkelahian antara guru dan muridpun tak dapat dihindarkan lagi. Ternyata Datuk Mata Putih tidak dapat menghadapi kehebatan sang murid. Guru yang malang ini akhirnya tewas oleh tusukan Rencong Emas, senjata sakti yang diciptakannya sendiri yang kemudian diberikannya pada Hang Kumbara!

Kematian Datuk Mata Putih menggemparkan dunia persilatan terutama di belahan utara pulau Andalas.

Suatu hari berkumpullah empat orang tokoh silat terkenal di puncak gunung Sinabung. Mereka adalah Panglima Sampono selaku tuan rumah. Dia dikenal sebagai tokoh silat yang pernah membaktikan diri pada Sultan Deli hingga akhirnya walaupun dia tidak bertugas lagi di Kesultanan, gelar Panglima tetap melekat pada dirinya. Orang kedua ialah Datuk Nan Sebatang lalu Lembu Ampel dan yang terakhir Sebrang Lor. Lembu Ampel adalah tokoh silat berasal dari pulau Jawa tapi selama beberapa tahun terakhir telah menetap di pulau Andalas. Keempat orang ini bertemu untuk membicarakan masalah besar yang tengah dihadapi dunia persilatan saat itu yakni merajalelanya Raja Rencong dengan segala keganasannya.

Sebrang Lor sendiri adalah seorang tokoh silat dari daratan Malaka yang menyeberang ke Andalas untuk membalas dendam kesumat. Menurut keterangannya Raja Rencong telah gentayangan ke Malaka, membunuh tokoh-tokoh persilatan di sana yang tidak mau tunduk dan bergabung padanya. Bahkan ketika kembali ke Andalas, Raja Rencong telah pula menculik dua orang gadis.

Keempat orang itu menyadari bahwa Raja Rencong memiliki kepandaian tinggi luar biasa. Sekalipun mereka berempat belum tentu dapat mengalahkannya. Karenanya harus dicari akal yang sebaikbaiknya. Atas saran Panglima Sampono diputuskan untuk menculik Pandansuri yakni anak Raja Rencong. Bila anak gadisnya dikuasai maka sang ayah besar kemungkinan bisa ditundukkan.

Di sebuah kaki bukit empat tokoh silat tadi menghadang Pandansuri. Terjadi perkelahian hebat. Meskipun memiliki kepandaian sangat tinggi yang didapatnya dari Raja Rencong namun akhirnya Pandansuri terdesak. Tetapi sewaktu si gadis siap untuk diringkus, muncullah Pendekar 212 Wiro Sableng memberikan pertolongan. Murid Eyang Sinto Gendang ini sama sekali tidak mengetahui siapa adanya Pandansuri dan apa urusan empat orang itu mengeroyok sang dara. Dia memberikan pertolongan hanya karena tidak suka melihat ketidak adilan. Empat lelaki berkepandaian tinggi mengeroyok seorang gadis berkerudung. Kalau tidak ditolong niscaya si gadis akan celaka. Begitu dirinya terhindar dari tangkapan lawan, Pandansuri segera melarikan diri setelah terlebih dulu mengancam akan memberitahukan kejadian pengeroyokan itu pada Raja Rencong.

Setelah Pandansuri meninggalkan kaki bukit, maka kemarahan kini tertumpah pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Perkelahian pecah kembali. Kini Wiro yang menjadi sasaran keroyokan. Pendekar ini mempertahankan diri dengan mengandalkan Rencong Perak milik Pandansuri yang terlepas mental dan berhasil disambarnya sewaktu gadis itu berkelahi menghadapi Panglima Sampono dan tiga tokoh lainnya itu.

Dalam perkelahian yang berlangsung cukup lama itu akhirnya Wiro berhasil menotok ke empat lawannya. Namun dia kemudian jadi terkejut setelah mengetahui kalau gadis yang barusan ditolongnya adalah anak Raja Rencong. Padahal Raja Rencong adalah manusia durjana yang sedang dicari-carinya. Dia sengaja menyeberangi lautan, datang dari tanah Jawa ke pulau Andalas untuk menumpas Raja Rencong yang jahat itu! Setelah meminta maaf Wiro tinggalkan ke empat tokoh silat tadi masih dalam keadaan tertotok.

Perbuatan-perbuatan biadab Raja Rencong yang menggegerkan dunia persilatan akhirnya sampai pula ke telinga Sultan Deli. Maka dikirimkannyalah Dipa Warsyah seorang perwira tinggi untuk menangkap Raja Rencong hidup atau mati. Namun ternyata sang perwira bukan saja tidak berhasil menemukan Raja Rencong Dari Utara malah dia akhirnya menemui ajal di tangan Pandansuri, tewas dihantam pukulan ilmu kuku api yang ganas. Di tempat yang sama terbunuhnya perwira tinggi Kesultanan Deli itu Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu pula dengan Pandansuri. Melihat keganasan yang dilakukan sang dara tentu saja Wiro merasa tidak senang. Apalagi sikap Pandansuri setelah dulu ditolongnya dari keroyokan Panglima Sampono sama sekali tidak menunjukkan itikad baik atau mengucapkan terima kasih. Maka tak dapat ladi dihalangi terjadinya perkelahian antara kedua orang ini. Setelah terdesak hebat akhirnya Pandansuri melarikan diri.PADA hari dan tanggal yang telah ditentukan diresmikanlah berdirinya Partai Topan Utara. Puluhan tamu yang diundang tampak menaiki perahu menuju bukit Toba. Mereka umumnya terdiri dari orang-orang dunia persilatan. Bahkan banyak diantara mereka merupakan tokoh-tokoh silat ternama. Semua mereka tidak menduga bahwa kedatangan mereka menghadiri peresmian berdirinya partai darah itu hanyalah untuk mengantarkan nyawa belaka. Karena sebenarnya Raja Rencong Dari Utara sudah menanam niat untuk membunuh mereka semua! Para tamu duduk di sebuah tempat yang dinamakan Arena Topan Utara. Arena itu terletak di bawah sebuah bangunan tua. Sesuai dengan rencana yang diatur, Raja Rencong akan pergi ke mimbar dan Pandansuri akan menqgerakkan satu alat rahasia. Alat rahasia ini akan menghancurkan bagian atas Arena Topan Utara dan semua orang yang ada dalam Arena dengan sendirinya akan tertimbun hidup-hidup.

Apa yang dirundingkan ayah dan anak dalam kamar rahasia itu sempat terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang berhasil masuk menyusup ke tempat kediaman Raja Rencong. Tetapi celakanya kehadiran Wiro sempat dirasakan oleh Raja Rencong. Maka diapun melakukan penyelidikan sebelum menuju Arena Topan Utara. Satusatunya tempat bersembunyi adalah sebuah kamar. Wiro segera masuk ke dalam kamar ini. Dinding, lantai dan langit-langit kamar terbuat dari batu kasar dan seluruh ruangan penuh berselimut debu.

Di tengah ruangan duduk seorang lelaki tua bermuka biru dan berpipi sangat cekung. Tubuhnya yang kurus tertutup sehelai jubah biru yang luar biasa besarnya hingga bagian bawah jubah ini menutupi hampir separuh lantai ruangan batu. Kedua tangan orang tua aneh ini buntung sebatas siku dan salah satu telinganya sumplung. Di lehernya terikat sehelai rantai baja yang ujungnya dipantek dan ditanam pada dinding batu di belakangnya. Kedua matanya tertutup. Sikapnya tak ubah seperti seseorang yang sedang bersemedi.

"Hai... Orang tua, kau siapa?" bisik Wiro. Dia kawatir kalau Raja Rencong muncul dengan tiba-tiba.

Orang tua yang dibisiki membuka kedua matanya.

Astaga!. Wiro merasakan tengkuknya dingin. Kedua mata itu hanya merupakan sepasang rongga yang dalam dan mengerikan.

"Anak tolol!. Lekas sembunyi dalam jubah di belakang punggungku!" berkata orang tua.

Wiro sadar kalau dirinya terancam bahaya yakni jika Raja Rencong menemukannya di ruangan batu itu. Maka tanpa pikir panjang dia segera melakukan apa yang dikatakan orang tua itu. Menyusup masuk ke dalam jubah biru yang sangat besar. Meskipun orang nyata menolongnya namun Wiro masih belum dapat memastikan apakah orang tua itu musuh atau kawan. Karenanya diam-diam dia mengerahkan aji pukulan sinar matahari di tangan kiri sedang tangan kanan menggenggam hulu Kapak Maut Naga Geni 212.

"Anak, aku bukan musuhmu! Mengapa musti meraba senjata segala?" tiba-tiba orang tua bermata buta itu mengiangkan pertanyaan ke telinga Wiro.

Suara mengiang itu! Luar biasa sekali. Tentunya orang tua ini seorang sakti mandraguna. Mengapa kedua matanya bolong begitu rupa, lalu dua tangan buntung dan ditambah rantai baja yang mengikat lehernya?

Tiba-tiba pintu terpentang dan terdengar bentakan Raja Rencong. "Tua renta buta! Siapa yang masuk ke sini?!"

Orang tua itu terdengar menghela nafas dalam. Lalu terdengar suaranya halus sekali seperti suara anak perempuan.

"Jika aku sampai tidak melihat orang masuk kemari itu bukan karena ketololanku. Tapi karena memang kedua mataku buta. Sebaliknya jika kau yang punya mata dan telinga sampai tidak mengetahui, malah bertanya padaku itu adalah satu ketololan yang tak ada taranya! Apakah kau memang melihat ada orang lain di tempat ini?!"

Ucapan itu membuat Raja Rencong melontarkan kata-kata kotor.

"Eh, sudahkah kau periksa Hang Kumbara?" tanya orang tua itu.

'Tutup mulutmu setan tua!" sentak Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara.

Disentak begitu si orang tua ganda tertawa dan menyahut: "Bukankah hari ini hari peresmian Partai Topan Utara?"

"Kunyuk peot!" kembali Raja Rencong menyentak. "Kau tahu apa tentang segala macam partai!"

"Aku memang tidak tahu apa-apa! Tapi aku mempunyai firasat bahwa partaimu itu akan runtuh sebelum saat peresmiannya. Dan kau sendiri akan mampus!"

"Ya! Aku akan mampus! Tapi sebelum mampus untuk ke seratus kalinya terima dulu tamparanku!" Plaak!

Tamparan yang dilayangkan Raja Rencong keras luar biasa. Tubuh orang tua itu terasa oleh Wiro menghuyung tapi dia tidak roboh. Bibirnya yang pecah mengucurkan darah. Darah Pendekar 212 Wiro Sableng menggelegak mengetahui orang tua yang telah menolongnya diperlakukan seperti itu. Segera saja dia hendak melompat keluar dari dalam jubah. Tapi di telinganya terdengar suara ngiangan seperti nyamuk.

"Jangan tolol anak!"

Mau tak mau terpaksa Wiro mendekam terus di dalam jubah lebar itu. Kemudian terdengar pintu kamar ditutupkan. Raja Rencong telah keluar.

"Sekarang kau boleh keluar!" terdengar si orang tua berkata.

Wiro cepat keluar lalu menjura hormat seraya berkata: "Terima kasih atas budi pertolonganmu. Siapakah kau ini sebenarnya...?"

Orang tua itu tertawa. Tampak gusinya yang tanpa gigi lagi.

"Sewaktu kudengar orang berkelebat menuju belakang bangunan tua, sewaktu kudengar kau mengangkat rerumpunan semak belukar lalu menyusup turun dalam lorong rahasia, hatiku gembira. Kukira kau adalah Tua Gila. Tapi dari langkahmu kemudian segera kuketahui bahwa kau bukan Tua Gila. Tapi, aku yakin kau pasti ada sangkut paut dengan orang tua itu. Mungkin sekali kau muridnya. Betul...?"

Wiro Sableng melengak. Kehebatan orang tua cacat ini sungguh luar biasa. "Kau betul. Secara kebetulan aku bernasib baik dan mendapat beberapa jurus pelajaran ilmu silat dari Tua Gila. Kalau aku boleh bertanya, bagaimana kau tahu setiap gerak gerikku?"

"Ilmu yang tinggi adalah seribu mata seribu telinga. Tapi semua itu berakhir dalam kesia-siaan. Buktinya diriku ini!"

"Kenapa kau sampai seperti ini?" tanya Wiro.

"Muridku sendiri yang melakukannya!" jawab orang tua itu.

"Muridmu?" kejut Wiro.

"Tak perlu terkejut atau heran anakmuda. Dunia ini penuh dengan orang-orang sesat den murid murtad!"

"Kalau aku boleh bertanya siapakah muridmu itu?"

"Masakan kau tak bisa menduga. Siapa lagi kalau bukan Hang Kumbara!"

"Maksudmu Raja Rencong Dari Utara?" "Itu gelarnya!"

"Benar-benar manusia terkutuk!" desis Wiro geram. Sekali dia menggerakkan tangan kanannya, rantai baja yang tertanam di dinding batu tanggal. Wiro lalu melepaskan bagian rantai yang mengikat leher orang tua itu.

"Terima kasih anak muda. Aku bisa bernafas lebih lega sekarang. Tenagamu luar biasa sekali..."

"Orang tua, aku tak punya waktu banyak. Tugasku adalah untuk menghancurkan Partai Topan Utara. Berarti juga memusnahkan Raja Rencong. Kalau tugas itu selesai aku akan kembali kemari membawamu keluar dari tempat terkutuk ini! Maukah kau menerangkan siapa namamu?"

"Ah, aku berterima kasih akan maksud baikmu itu. Tapi diriku yang cacat dan pikun ini tak perlu kau pikirkan. Yang penting selamatkan orang-orang itu. Dengar anak muda, namaku Nyanyuk Ambar. Dulu aku diam di Gunung Singgalang. Sampai munculnya Hang Kumbara manusia laknat itu. Dia datang mengemis ilmu padaku. Diluar tampaknya dia seorang pemuda baik-baik. Lagi pula kuketahui kemudian sebelumnya dia berguru pada Datuk Mata Putih, seorang sahabatku. Maka kuambil dia jadi murid dan kuajarkan berbagai ilmu silat serta kesaktian. Tapi siapa nyana kalau manusia itu sebenarnya sejak lama mendekam satu maksud jahat. Yaitu ingin menguasai dunia persilatan di pulau Andalas ini dengan menghimpun sekian banyak tokoh lalu membunuh mereka secara keji! Aku ketahui kemudian bahwa sahabatku Datuk Mata Putih telah menemui ajal dibunuh oleh manusia keparat itu. Aku sendiri tidak terlepas dari kekejamannya. Hanya saja aku masih dibiarkan hidup dengan dalam cacat seperti ini!"

"Jadi Hang Kumbara juga yang memutus kedua tanganmu?" tanya Wiro.

"Bukan hanya lenganku, anak. Bukan hanya lenganku! Coba kau singkap jubah biru ini di bagian kaki."

Wiro menyingkapkan jubah biru Nyanyuk Amber. Astaga! Ternyata kedua kaki orang tua itu juga buntung sebatas lutut!

"Hang Kumbara yang melakukannya..." desis orang tua itu. "Dia juga yang mencongkel kedua mataku!"

"Manusia jahanam!" Kedua tangan Wiro terkepal. "Orang tua, aku bersumpah untuk membunuh manusia itu! Tapi mengapa dia melakukan hal itu padamu?"

"Seperti Datuk Mata Putih, aku datang padanya dan memberi nasihat agar meninggalkan jalan sesat. Menghentikan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh silat tak berdosa. Alasan itu sudah cukup baginya untuk melakukan kekejian ini padaku. Dia membokongku dengan totokan. Dalam keadaan tak berdaya tangan serta kakiku dipotongnya.

Kedua mataku dikoreknya. Lalu aku dimasukkan ke dalam ruangan ini dan dirantai!"

"Belum pernah aku melihat dan mendengar manusia seganas Hang Kumbara. Tempatnya jelas di neraka!"

Si orang tua tertawa mengekeh. "Kau pergilah cepat! Jangan terlambat! Kalau orang-orang itu sampai menemui ajal, celakalah dunia persilatan!"

Mendengar kata-kata itu Wiro segera tinggalkan ruangan batu dengan cepat.

2

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang