DEBUR OMBAK memecah di pantai dan memukul lamping batu-batu karang terdengar abadi di udara pagi yang segar cerah. Kira-kira lima ratus tombak dari pantai tampaklah berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi tembok tinggi sepuluh tombak. Baik-bangunan maupun temboknya seluruhnya berwarna merah.
Di daerah pantai seperti itu biasanya hampir tak pernah ditumbuhi pohon-pohon lain selain pohon kelapa. Namun adalah satu kenyataan aneh karena di Iuar tembok yang mengelilingi bangunan besar tadi tumbuh berkeliling dua puluh satu pohon beringir raksasa. Bila angin bertiup dari laut, daun-daun pohon beringin bergemerisik keras, akarakar gantungnya bergoyang-goyang deras. Semua ini menimbulkan suasana yang menyeramkan. Di samping itu, setiap angin bertiup maka menebarlah bau busuk dan anyir dari jurusan bangunan berwarna merah itu.
Bila seseorang mendekati tembok dan bangunan di tepi pantai sunyi itu, pastilah dia akan terkejut dan berdiri bulu tengkuknya. Akan goyah lututnya lalu akan lekas-lekas mengambil langkah seribu. Betapakan tidak! Warna merah pada atap, tembok dan setiap sudut bangunan besar bukanlah warna cat atau kapur, tetapi darah! Lapisan darah inilah yang menjadi sumber bau busuk dan amis menjijikkan serta mengerikan, menebar di sekitar situ sampai puluhan bahkan ratusan tombak jauhnya!
Matahari pagi mulai naik. Air laut kelihatan berkilau-kilau. Darah merah di tembok dan di bangunan besar di tepi pantai berkilat-kiiat sedang bau busuk amis semaki menjadi-jadi. Kira-kira sepenanakan nasi berlalu, dari arah timur, berpapasan dengan tiupan angin laut, terdengarlah suara derap kaki-kaki kuda. Tak selang berapa lama di sebuah liku-liku jalan kecil yang terletak di antara bukit-bukit karang tinggi dan runcing tampaklah dua penunggang kuda memacu binatang tunggangan masing masing ke jurusan tembok bangunan merah.Baik bulu kuda maupun pakaian kedua penunggangnya, keseluruhannya berwarna merah basah agak bermninyak-minyak. Sengaja dibasahi ... dengan darah.
Mereka mengenakan topi berkuncir seperti tarbus, yang juga dibacahi dengan darah. Dan di bawah topitopi itu paras masing-masing teramat mengerikan untuk dipandang karena telah dipupuri dengan darah yang telah membeku!
Salah seorang dari kedua penunggang kuda itu membawa sesosok tubuh berpakaian hitam yang dimelintangkan di punqqung kuda dalam keadaan pingsan dan siapa pula orang yang menggeletak tak berdaya berpakaian hitam ini!
Kuda-kuda merah lewat di antara dua pohon beringin raksasa dan akhirnya sampai di hadapan sebuah pintu besar di tembok bangunan. Pada bagian atas pintu merah ini terdapat tiga deretan huruf-huruf yang terbuat dari tulang-tulang manusia yang telah dicat merah dan berbunyi. "Pintu Gerbang Darah"
Salah seorang dari penunggang kuda yang berhenti di hadapan pintu gerbang mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu dari mulutnya terdengar situ pekik aneh yang disusul dengan suara lantang, "Atas nama Raja Darah, bukalah pintu gerbang!"
Untuk beberapa lamanya suara pekik serta seruan marwsia itu masih mengiang-ngiang di udara pantai yang mengandung garam tanda bahwa orang itu telah mengeluarkan suara dengan disertai tenaga dalam yang tinggi.
Sesaat kemudian dari belakang "Tembok Darah" demikian nama tembok merah yang mengelilingi bangunan besar itu terdengar suara pekik balasan dan disusul oleh satu pertanyaan yang membentak keras, "Siapa yang datang!"
"Hulubalang Keempat dan Kelima!"
"Kalian habis dari mana?"
"Menjalankan tugas Raja!"
Tak lama kemudian terdengar suara berkereketan. Pintu Gerbang Darah terbuka. Bersamaan dengan itu dari bagian bawah pintu menjorok keluar sebuah jambatan kayu besi yang juga penuh dengan darah dan bertuliskan "Jembatan Darah."
Ternyata antara Pintu Gerbang Darah dan bangunan besar di seberangnya dipisahkan oleh sebuah parit selebar lima belas tombak dan dalamnya lebih dari sepuluh tombak. Parit ini dibuat sedemikian rupa mengelilingi bangunan besar, dialiri dengan air yang telah menjadi merah karena bercampur darah dan di dalamnya berenanglah ratusan ular berbisa dari berbagai jenis yang panjangnya mulai dari satu jengkal sampai lima meter! Semua orang di situ mengenal parit itu dengan sebutan "Parit Kematian."
Kedua orang yang mengaku Hulubalang tadi melewati Jembatan Darah dengan cepat dan sampai di tangga bangunan besar. Di belakang mereka Jembatan Darah masuk kembali ke tempatnya sedang Pintu Gerbang Darah menutup dengan sendirinya.
Dengan memanggul tubuh manusia berpakaian hitam itu, Hulubalang Keempat diikuti Hulubalang Kelima menaiki anak tangga bangunan besar yang pada sebelah atasnya terdapat tulisan, "ISTANA DARAH." Huruf-huruf tulisan inipun dibuat dari tulang belulang manusia yang diberi warna merah dengan darah!
Setelah melewati beberapa ruangan, kedua Hulubalang sampai di satu ruangan besar yang pada bagian tengahnya terdapat sebuah kolam yang airnya berwarna merah dan busuk. Di tengah-tengah kolam berdirilah sebuah patung raksesi dalam keadaan telanjang bulat dan dari bagian di antara kedua pangkal pahanya senantiasa memancur cairan warna merah.
Di depan sana terdapat sebuah gordeng besar yang basah oleh darah. Tetesan-tetesan darah jelas kelihatan berjatuhan ke lantai ruangan. Ruangan itu bukan saja busuk luar biasa hawanya tetapi juga pengap membuat seseorang yang tak biasa akan sesak bernafas. Namun anehnya kedua Hulubalang Darah itu tenang-tenang saja seolah-olah udara macam begitu tidak mengganggu jalan pernafasan mereka barang sedikitpun. Di hadapan "Tirai Darah" mereka berdiri dengan sikap keren, lalu membuka topi masing-masing dan menjura.
"Paduka Yang Mulia Raja Darah," kata Hulubalang Keempat. "Kami berdua Hulubalang Keempat dan Kelima, datang menghadap guna melaporkan hasil tugas yang telah dibebankan kepada kami!" Sunyi sesaat.
Lalu dari ruangan di belakang Tirai Darah terdengar satu suara laki-laki yang parau sember dan perlahan namun hebatnya suara yang parau serta perlahan ini sanggup membuat dinding-dinding ruangan berwarna merah jadi bergetar. Tirai Darah bergoyang-goyang sedang cairan merah di dalam Kolam Darah tampak bergelombang-gelombang. Nyatalah bahwa siapapun adanya manusia di belakang Tirai Darah itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa hebatnya!
"Beri tahu hasil tugas kalian!" tiba-tiba terdengar satu suara.
Mendengar ini Hulubalang Darah Keempat membuka mulut memberi jawaban.
"Kami berdua telah berhasil menangkap hidup-hidup tokoh silat gotongan hitam daerah timur yang bergelar Sepuluh Jari Maut! Sekarang dia berada dalam keadaan pingsan dan ditotok!"
"Bagus!" memuji orang di balik Tirai Darah lalu terdengar suara kekehannya. "Jebloskan dia dalam tahanan. Gantung kaki ke atas kepala ke bawah dan nyalakan api di bawah batok kepalanya! Biar dia tahu rasa!" Ucapan itu ditutup dengan suara tertawa mengekeh seperti tadi lalu menyusul caci maki kutuk serapah aneh. "Keparat... sialan! Laknat .... haram jadah! Terkutuk ... ! Mampuslah semua! Semua...!"
Ucapan kotor itu masih terus terdengar sampai kira-kira sepeminuman teh. Bila kutuk serapah itu berhenti maka Hulubalang Darah Kelima cepat-cepat membuka mulut.
"Perintah Paduka Yang Mulia segera kami laksanakan!"
Setelah menjura hormat, kedua Hulubalang tadi beserta tawanannya segera meninggalkan tempat tersebut!
***
HULUBALANG Darah Keempat dan Kelima memasuki sebuah lorong menurun. Di kiri kanan lorong ini banyak sekali cabang cabang lorong yang kesemuanya diterangi dehgan lampu minyak. Dimana-mana kelihatan warna merah darah dan di sini udara jauh lebih pengap dan lebih busuk dari ruangan ruangan lain dalam Istana Darah.
Mereka sampai di hadapan sebuah pintu merah terbuat dari besi dan dijaga oleh dua orang Hulubalang Darah yang memiliki tampang seram bengis. Betapapun bengis gelaknya kedua pengawal pintu besi itu, namun melihat siapa yang datang keduanya segera memberi hormat.
"Atas nama Raja Darah harap kalian buka pintu Penjara Darah!" kata Hutubalang Kelima.
Kedua Hulubalang pengawal meneliti orang berbaju hitam yang dipangqil Hulubalang Keempat. Salah salah seorang dari mereka bertanya.
"Siapa dia?"
"Sepuluh Jari Maut," jawab Hulubalang Keempat dan pengawal yang bertanya ladi lalu memperhatikan sepuluh jari orang yang dipanggul. Kesepuluh jari itu berkuku panjang dan berwarna hitam legam. Sementara itu pengawal yang satu lagi dari dalam sabuknya mengeluarkan seuntai anak anak kunci. Dengan salah satu anak kunci dibukanya pintu besi lalu masuk lebih dulu sedang Hulubalang Keempat dan Kelima menyusul mengikutinya.
"Dia adalah tahanan yang keempat sampai." kata pengawal penjara sambil berjalan. Ruangan yang mereka lewati merupakan sebuah gang selebar tiga tombak dari batu karang atos yang dicat dengan darah. Pada dinding kiri kanan terdapat deretan pintu-pintu besi merah. Deretan-deretan pintu sebelah kiri diberi berangka ganjil sedang deretan sebelah kanan berangka genap. Inilah ruangan Penjara Darah yang terletak di bawah tanah dan memiliki enam puluh buah kamar tahanan.
Di depan pintu yang bertuliskan angka 24 pengawal itu berhenti dan mengeluarkan untaian anak kunci lalu membuka pintu besi. Begitu pintu terbuka dari dalam ruangan menyambarlah hawa dingin lembab yaag busuk luar biasa. Lantai dan dinding serta langit-langit ruangan tahanan merah oleh darah, sebagian masih merupakan cairan sebagian lagi telah kering membeku.
"Nyalakan lampu!" perintah Hulubalang Darah Kelima.
Pengawal segera menyalakan lampu minyak dan kamar tahanan itu kini menjadi cukup terang. Pada dinding sebelah kiri terdapat sebuah rak batu. Di atas rak ini terletak berbagai macam benda penyiksa. Pada langit-langit ruangan tampak sebuah kerekan lengkap dengan tali kawat yang besarnya dua kali ibu jari. Dengan tali kawat ini sepasang kaki tawanan diikat erat-erat lalu tubuhnya dikerek hingga kini jadi tergantung kaki ke atas kepala ke bawah.
Dari rak batu Hulubalang Kelima mengambil sebuah benda berbentuk pendupaan besi yang berisi potongan-potongan benda hitam sebentuk batu bara. Ketika disulut dengan api benda hitam ini langsung terbakar menyala.
"Kita tunggu sampai dia siuman," berkata Hulubalang Darah Keempat.
Tak berapa lama kemudian tawanan yang bergelar Sepuluh Jari Maut itu kelihatan membuka sepasang matanya perlahan-lahan. Mata itu terbuka semakin lebar sewaktu keterkejutan menguasai dirinya. Sepuluh Jari Maut melihat dunia ini terbalik. Kepalanya seperti mau karena jalan darahnya menyungsang sedang di sekelilingnya tampak tiga orang berpakaian serba merah bertampang bengis. Rongga hidungnya sementara itu disambar oleh bau busuk luar biasa.
"Di mana aku ...?" desis Sepuluh Jari Maut. Dicobanya menggerakkan anggota-anggota tubuhnya tapi tak bisa. Sekujuar tubuhnya kaku tegang, sedikitpun tak dapat digerarkkan. Sadarlah Sepuluh Jari Maut bahwa dirinya berada di bawah pengaruh totokan. Dicobanya mengalirkan tenaga dalam untuk memusnahkan totokan tersebut namun sia-sisa. Totokan yang menguasai dirinya bukan totokan sembarangan. Sepuluh Jari Maut memandang ke atas dilihatnya sebuah roda kerekan besi yang tergantung di langitlangit ruangan, diganduli kawat besar. Ujung kawat itulah yang telah mengikat kedua kakinya dan sakitnya bukan main. Dia memandang kembali pada tiga manusia berpakaian merah basah dan bau itu. Akhirnya dia ingat. Sebelumnya dia telah bertempur dengan dua di antara tiga manusia tersebut. Dalam jurus kedua puluh tiga dia terpaksa harus menerima satu jotosan keras dari lawan yang tepat mengenai pelipisnya. Selagi dia berdiri nanar dengan pandanyan berbinar-binar, musuhnya yang lain telah menotoknya hingga dia tidak berdaya. Lalu kepalanya dipukul hingga akhirnya dalam keadaan tertotok begitu rupa dia jatuh pirgsan. Nyatalah bahwa kedua musuh tak dikenalnya itu telah membawanya ke tempat tersebut dan menawannya.
Dendam dan marah memuncak dalam diri Sepuluh Jari Maut. Rahang-rahangnya menonjol bergemeletukan.
"Tempat celaka apa ini namanya....?!" Sentak Sepuluh Jeri Maut.
Hulubalang Darah Kelima dan Keempat datang mendekat. Di tampang masing-masing menyungging seringai bengis.
"Celaka bagimu, bukan bagi kami!" ujar Hulubalang Darah Kelima.
"Jahanam! Kalian mau bikin apa terhadapku? Aku tidak punya permusuhan apa-apa dengan kalian!"
Plaak!
Satu hantaman tamparan yang keras mendarat di pipi Sepuluh Jari Maut. Untuk beberapa lamanya dia terbuai-buai dan berputar-putar sedang pemandangannya mulai gelap.
"Tak tahu diri. Sudah hampir mampus masih berani bicara memaki!" sentak Hulubalang Darah Keempat.
"Puaah!" Sepuluh Jari Maut meludahi muka Hulubalang Darah Keempat. "Beraninya terhadap musuh yang tidak berdaya!"
"Setan alas!" teriak Hulubalang Darah Keempat. Tinju kiri kanannya menghujani muka tokah silat berbaju hitam itu. Darah mengucur dari hidung, mulut dan matanya. "Seret pendupaan itu kemari!"
Hulubalang pengawal menyeret pendupaan yang dikobari api lalu melekkannya tepat di bawah kepala Sepuluh Jari Maut.
"Tadi kau bertanya di mana kau berada," ujar Hulubalang Darah Kelima, "Ketahuilah bahwa saat ini kau telah dijebloskan ke dalam neraka dunia bernama Penjara Darah!"
Sepuluh Jari Maut kertakkan rahang. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat menahan panasnya kobaran api yang menjilat-jilat di bawah kepalanya. Hanya seketika saja dia dapat menahan rasa sakit. Sesaat kemudian dari mulutnya mulai keluar raungan kesakitan yang menggidikkan. Di lain pihak tiga orang Hulubalang yang ada di situ tertawa gelak-gelak.
"Manusia-manusia bejat!" teriak Sepuluh Jari Maut. "Jika aku mati di tangan kalian, kelak aku akan menjelma menjadi setan dan mencekik kalian semua!"
"Kalau begitu biar kupercepat niatmu untuk jadi setan itu!" kata Hulubalang Darah Keempat. Lalu kawat kerekan diulurkannya ke bawah hingga kepala tawanan itu semakin dekat dengan kobaran api dalam pendupaan besi. Rambutnya yang menjulai mulai terbakar dan menebar bau sangit di ruangan itu. Dari mulut Sepuluh Jari Maut tiada hentinya terdengar jeritan yang mengerikan hingga suaranya menjadi parau. Saat itu dirasakannya kulit kepala dan tulang tengkoraknya seperti meleleh! Kemudian nafas laki-laki ini mulai megap-megap. Darah yang keluar dari hidung, mulut, mata dan telinganya menetes-netes di atas api dalam pendupaan besi, menimbulkan suara "cees" yang tiada hentinya.
"Sudah tiba seatnya memanggil tukang-tukang darah itu," kata Hulubalang Darah Keempat pada kawannya Hulubalang Darah Kelima.
Hulubalang Darah Kelima mengangguk lalu melangkah ke pintu. Pada sanding pintu sebelah atas terdapat sebuah tombol merah. Tombol ini selalu terdapat dalam setiap kamar tahanan yang sekaligus merangkap ruang penyiksaan.
Tak lama setelah Hulubalang Darah Kelima menekan tombol itu maka masuklah dua laki-laki yang membawa ember-ember besar, masing-masing mengenakan jubah merah. Salah seorang dari mereka, yang barusan mengeluarkan sebuah pisau kecil tajam berpaling pada Hulubalang Darah Keempat dan Kelima.
"Laksanakan tugas kalian cepat!" Kata Hulubalang Darah Keempat. Lalu bersama Hulubalang Darah Kelima dia meninggalkan ruangan tersebut.
Yang tinggal di dalam ruangan tahanan itu kini adalah Hulubalang pengawal dan kedua laki-laki berjubah merah. Ember diletakkan di lantai. Orang berjubah di sisi kiri keluarkan segulung pipa karat warna merah. Dia menggoyangkan kepalanya pada kawannya yang memegang pisau. Si pemegang pisau ini segera mendekati Sepuluh Jari Maut, lalu craass ...! Dengan pisau kecil itu diputusnya urat nadi di leher Sepuluh Jari Maut. Darah menyembur. Pipa karet cepat dihubungkan dengan nadi yang putus. Darah dari tubuh Sepuluh Jari Maut mengalir melewati pipa karet terus masuk ke ember sedang Sepuluh Jari Maut sendiri saat itu megap-megap dan akhirnya meregang nyawa dengan cara mengenaskan.
LAKSANA anak-anak panah yang lepas dari busurnya, dua ekor kuda coklat itu berlari kencang membawa penunggangnya masing-masing. Penunggang kuda yang pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahunan, berpakaian biru sedang kawannya seorang dara berkulit hitam manis dan mengenakan pakaian ringkas kuning muda.
"Bisakah kita sampai sebelum malam ke tempat guru?" bertanya sang dara tanpa memalingkan kepalanya.
"Kurasa bisa. Tapi agaknya kita bakal mendapat kesiangan di tengah jalan, adikku," menjawab si pemuda.
"Halangan apa maksudmu?"
"Lihatlah ke langit ... "
Gadis itu mendongak ke atas. Seat itu baru disadarinya bahwa iangit di atas sana telah gelap oleh gumpalan-gumpaian awan hitam. Kemendungan meliputi hampir seluruh tempat.
"Kalau hanya hujan itu tidak menjadi halangan bukan?" ujar sang dara.
"Memang bukan halangan. Tapi jalan yang bakal kita tempuh, yang mendaki dan berbatu licin berlumut, serta diapit oleh jurang-jurang terjal ... Itulah halangan yang kumaksudkan."
"Mudah-mudahan saja hujan tidak turun dalam waktu cepat," kata si gadis lalu menyentakkan tali kekang kudanya. Binatang itu mendongakc ke depan dan mempercepat larinya. Pohon-pohon yang dilalui laksana terbang ke belakang.
Kira-kira sepenanakan nasi berlalu ternyata hujan belum juga turun walau angin bertiup keras menderuderu. Sewaktu si gadis mendongak lagi ke atas dilihatnya gumpalan-gumpalan awan hitam mulai pupus sekelompok demi sekelompok. Udara yang tadi mendung kini berangsur cerah.
"Nah, apa kataku! Kita beruntung. Hujan tak jadi turun," kata gadis itu pula.
Si pemuda hanya tersenyum mendengar ucapan adik seperguruannya itu, lalu berkata, "Kalau begitu kita memang bisa sampai sebelum malam turun. Berarti kau bakal bertemu dengan orang yang kau kasihi lebih cepat. Bukankah itu yang kau inginkan?"
Sang dara cemberut. Kedua pipinya kelihatan menjadi merah. Pemuda yang berkuda disampingnya tersenyum. Namun laksana direnggutkan setan demikianlah pupusnya senyuman si pemuda sewaktu di hadapan mereka tiba-tiba berkelebat dua bayangan merah dan dua sosok tubuh manusia aneh sesaat kemudian sudah berdiri menghadang di tengah jalan.
Kedua saudara seperguruan itu sama-sama terkejut bukan main dan serta merta menghentikan kuda masing-masing. Bau busuk menyambar dari tubuh para penghadang yang mengenakan pakaian merah basah sedang wajah masing-masing ditutupi oleh cairan yang setengah membeku. Salah seorang penghadang bertolak pinggang dan maju mendekati.
"Supaya tidak banyak susah, lekas kalian serahkan diri dan jangan melawan!" katanya.
"Kalian siapa dan punya maksud apa?" bertanya pemuda baju biru dengan nada tinggi dan sikap gagah.
"Kami adalah Hulubalany-Hulubalang Istana Darah!" jaweb orang yang bertolak pinggang.
"Istana Darah?!" mengulang si pemuda dengan terkejut.
Kedua Hulubalang Darah tertawa mengekeh. "Kalau sudah tahu kenapa tidak lekas turut perintah?"
"Turut perintahmu? Siapa yang sudi. Lekas minggir. Kami mau meneruskan perjalanan!" membentak gadis berbaju kuning.
"Ohoo ... galaknya!" jawab Hulubalang Darah yang menghadang dengan bertolak pinggang.
"Kami tidak punya waktu banyak untuk bicara segala pepesan kosong. Beri jalan. Kalau tidak kalian akan menyesal!" Kini pemuda baju biru berikan perlingatan.
"Pemuda sombong tekebur! Kau tak akan kuberi hidup lebih lama!" Hulubalang Darah yang tegak di sebelah kanan menerjang ke depan dengan gerakan cepat sekali.
Tak ayal si pemuda segera cabut pedang di pinggangnya. Sinar putih mencuat memapas serangan Hulubalang Darah. Tapi percuma. Di lain kejap terdengar jerit pemuda baju biru itu. Tubuhnya mencelat mental dari atas punggung kuda yang ditungganginya, sedang pedangnya ikut terlepas mental.
"Manusia rendah! Matilah!"
Satu bentakan datang dari samping yang disusul dangan sembaran pedang ke arah batang leher Hulubalang Darah. Yang diserang cukup dibikin kaget namun tidak menjadi gugup. Di Istana Darah dia adalah Hulubaiang Darah Ketujuh yang mempunyai kepandaian tidak rendah. Sekali berkelit dia berhasil mengelakkan sambaran pedang, kemudian dengan satu gerakan kilat dia berhasil memukul mental pedang di tangan lawan. Si gadis mengeluh kesakitan sambil pegangi lengannya yang menjadi merah bengkak. Hulubalang Darah Ketujuh menyeringai mengejek.
"Gadis manis sepertimu ini tidak seharusnya berlaku begitu galak terhadapku. Nah sekarang kalian mau menyerah baik-baik atau bagaimana?"
"Baik, aku akan menyerah," jawab si gadis, "tapi..." digerakkannya tangannya.
"Tapi apa?" tanya Hulubalang Darah Ketujuh.
"Makan dulu jarumku ini!" seru sang dara baju kuning dan sesaat kemudian begitu dia gerakkan tangan kanan puluhan jarum berwarna kuning melesat tanpa suara ke arah dua belas jalan darah di tubuh Hulubalang Darah Ketujuh!
"Gadis binal!" hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Dikebutkannya lengan pakaiannya. Puluhan jarum yang menyerang serja merta mental dilanda angin dahsyat yang keluar dari ujung lengan pakaian itu!
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, pemuda baju biru berseru. "Mia! Larilah! Lari lekas! Biar aku yang menghadapi begundal-begundal jahat ini." Dari pertempuran yang baru berjalan beberapa gebrakan itu si pemuda sudah menyadari bahwa walau bagaimanapun tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi kedua lawan yang memiliki kepandaian begitu tinggi. Karenanya demi keselamatan adik seperguruannya dia bersedia korbankan nyawa.
"Tidak kangmas! Mati bersama di tempat ini adalah lebih baik daripada lari!" jawab Miani yang membuat kakak seperguruannya menjadi kaget. Gadis ini rupanya juga sudah menyadari nasib apa yang bakal dihadangnya namun sedikitpun tidak merasa gentar. Dengan sepasang tangan kosong terpentang Miani maju ke hadapan Hulubalang Darah Ketujuh,
Yang ditantang ganda tertawa dan berpaling pada temannya. "Hulubalang Sebelas, kau bereskan pemuda itu. Aku akan tangkap hidup-hidup perawan galak ini dan membawanya ke Istana!"
Hulubalang Darah Kesebelas maju ke hadapan pemuda baju biru. Pemuda ini berada dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam akibat jotosan Hulubalang Ketujuh tadi. Namun demikian dengan sisa kekuatan yang ada dan penuh keberanian si pemuda melangkah ke hadapan Hulubalang Kesebelas. Tangan kirinya tiba-tiba melepaskan dua puluh jarum biru sedang tangan kanan diayunkan ke batok kepala lawan. Serangan ini disertai dengan satu loncatan cepat sehingga Hulubalang Kesebelas tidak berani bertindak sembrono.
Dengan berkelit ke samping dan seraya melepaskan satu pukulan tangan kosong ke udara, seranganserangan jarum biru berhasil dilewatkan oleh Hulubalang Darah Kesebelas. Untuk menghadapi serangan lawan yang kedua yaitu jotosan keras pada batok kepalanya, Hulubalang Darah Kesebelas memukulkan tangannya ke atas dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.
Dalam keadaan terluka begitu rupa bentrokan lengan adalah sangat berbahaya bagi pemuda baju biru. Walaupun tenaga dalamnya lebih tinggi sekalipun belum tentu keselamatan dirinya akan terjamin. Karenanya begitu lawan memukulkan lengannya ke atas, pemuda baju biru menjejak tanah dan melompat satu tombak. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menderu ke dada lawan!
Hulubalang Darah Kesebelas tidak menyangka kalau bakal mendapat serangan hebat begitu rupa. Saat itu dia tengah memusatkan perhatian dan sebagian tenaga dalamnya untuk melakukan bentrokan lengan. Tubuhnya telah mendongak ke atas dan dalam kedudukan seperti itu cukup sulit untuk menyelamatkan dadanya dari tendangan si pemuda. Namun adalah percuma dia menjabat kedudukan Hulubalang di Istana Darah kalau serangan begitu saja dia tidak sanggup menghadapinya.
Dengan berteriak keras dahsyat Hulubalang Darah Kesebelas berkelebat. Tubuhnya hanya merupakan bayangan merah dan sebelum pemuda baju biru dapat memastikan di sebelah mana lawannya berada, tahutahu satu pukulan menghantam dadanya, tepat di bekas jotosan Hulubalang Ketujuh sebelumnya. Tak ampun lagi pemuda itu muntah darah dan tersungkur ke tanah!
"Kangmas Widura!" pekik Miani.
"Mia! Lari! Selamatkan dirimu!" seru pemuda baju biru yang bernama Widura sementara nafasnya mulai megap-megap.
Bukannya lari sebaliknya Miani malah menubruk kakak seperguruannya. Namun sebelum dia sempat berbuat suatu apa, satu totokan telah bersarang di punggungnya membuat gadis ini melosoh tak berkutik lagi. Hanya mulutnya saja yang masih bisa mengeluarkan suara memaki dan mengutuki kedua manusia berbaju merah itu.
Hulubalang Darah Ketujuh membungkuk merangkul tubuh Miani lalu memanggulnya di bahu kiri. Dia berpaling pada kawannya dan menggoyangkan kepala. "Lekas selesaikan pekerjaanmu."
Dari balik pakaiannya Hulubalang Darah Kesebeias mengeluarkan sebuah kantong karet yang pada salah satu ujungnya terdapat pipa sepanjang tiga jengkal. Setelah mengeluarkan pula sebilah pisau kecil yang amat tajam dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari maka diapun melangkah mendekati tubuh Widura yang saat itu tidak berkutik dan menggeletak di tanah tengah meregang nyawa.
Hulubalang Darah Kesebelas membungkuk. Tangannya yang memegang pisau bergerak ke pangkal leher Widura.
"Manusia biadab! Laknat terkutuk! Apa yang kau lakukan itu?!" teriak Miani sewaktu menyaksikan bagaimana Hulubalang Darah Kesebelas memutus urat nadi di leher Widura dengan pisau kecil lalu menghubungkan ujung pipa karet dengan urat nadi yang menyemburkan darah. Sesaat kemudian kantong karet itu kelihatan mulai menggembung tanda darah korban telah mengalir masuk. Hulubalang Darah Ketujuh menepuk-nepuk pinggul Miani sambil tertawa gelak-gelak.
"Gadis molek. Kau tenang sajalah. Bagusnya berhenti berteriak agar suaramu yang merdu tidak menjadi parau!"
"Kalian manusia-manusia terkutuk! Lebih kejam dan lebih buas dari binatang!" teriak Miani lalu berulang kali diludahinya muka Hulubalang Darah Ketujuh.
"Sialan! Kalau kau bukan gadis manis sudah tadi-tadi kuremas hancur mulutmu!" hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Ditdriknya pakaian kuning si gadis dan disekanya mukanya yang penuh ludah.
"Seharusnya kau merasa gembira dan bangga karena darah kawanmu itu mendapat kehormatan untuk dipakai sebagai cat istana Darah!"
Tiga perempat kantong karet telah penuh dengan darah Widura. Ketika tak ada lagi darah yang mengalir masuk ke dalam kantong itu Hulubalang Darah Kesebelas mencabut pipa lalu membuhulnya. Dia berdiri dan memanggul kantong berisi darah itu.
"Atas semua hasil ini kita pasti mendapat pahala besar dari Raja," kata Hulubalang Darah Kesebelas dengan tertawa lebar.
"Yang jelas," menyahuti Hulubalang Darah Ketujuh. "Gadis manis ini akan dihadiahkan padaku. Dia menelentang di tempat tidurku sebelum keputusan Raja datang untuk mencabut nyawanya!"
Merinding bulu roma Miani mendengar ucapan ;tu. Dia berteriak keras. "Lepaskan aku! Jangan bawa ke Istana Darah! Kalian jahanam! Lepaskan aku!"
Hulubalang Darah Ketujuh cuma tersenyum. Diciumnya tengkuk gadis itu penuh nafsu lalu bersama kawannya meninggalkan tempat itu dengan cepat.
***
PAGI ITU udara sejuk nyaman dan cerah. Sekelompok awan berarak dihembus angin melewati puncak gunung Raung. Dari kawah gunung berapi itu mengepul asap putih kelabu yang kemudian menjadi satu dengan awan yang bergerak. Di salah satu lereng gunung itu terdapatlah sebuah pertapaan. Pertapaan ini merupakan sebuah goa yang bagian dalamnya dipakai sebagai tempat kediaman. Saat itu di mulut goa, di atas sebuah batu besar berwarna hitam legam dan berbentuk setengah lingkaran, duduklah seorang Brahmana berselempang kain putih. Kedua tangannya diletakkan di atas paha sedang sepasang matanya terpejam.
Nyatalah Brahmana ini tengah mengheningkan ciptarasa atau tengah bersemedi. Rambutnya yang putih menyeka bahu melambai-lambai ditiup angin pagi. Semakin naik matahari, semakin khusus Brahmana ini bersemedi.
Di lain bagian dari lereng gunung, di bawah sebuah air terjun kecil kelihatan seorang pemuda bertubuh tinggi langsing dan hanya mengenakan sehelai cawat tengah berkelebat kian kemari. Di tangan kanannya ada sepotong bambu hijau yang digerakkan demikian rupa ke berbagai jurusan hingga menimbulkan suasana menderu-deru. Demikian cepatnya gerakan itu hingga bentuk bambu itu hanya merupakan sambaran sinar hijau belaka.
Sambil melompat gesit di atas batu-batu air yang licin berlumut pemuda itu bergerak mendekati air terjun. Bambu hijau di tangan kanannya disabatkan sejarak setengah tombak dari air terjun dan brass! Air terjun muncrat jauh lalu baru mengalir lagi seperti sebelumnya! Beberapa kaii hal ini dilakukan si pemuda dan hatinya baru merasa puas.
Kemudian dia berdiri di atas ujung sebuah batu licin hanya mengandalkan sebelah kaki kiri yang dijingkatkan. Bambu hijau disabatkan pulang balik beberapa kali memapas air terjun. Ketika ditelitinya bambu itu, tak setetespun air melekat di situ. Si pemuda tersenyum gembira. Bukan saja bambu tidak basah tetapi daya dorong tenaga raksasa air terjun tak sanggup menggoyahkan kakinya yang berpijak di batu licin!
"Kepandaianku telah maju pesat!" kata pemuda ini dalam hati.
Dia hendak mencoba kembali. Namun saat itu tiba-tiba di telinganya mengiang nasehat gurunya.
"Ketinggian ilmu itu tidak ada batasnya. Karenanya seseorang tak boleh berlaku lekas puas, apalagi sombong." Pemuda bercawat itu kemudian melompat-lompat lagi di atas bebatuan dan tangannya tiada henti memainkan bambu hijau itu dalam gerakan-gerakan ilmu pedang yang mengagumkan. Kira-kira sepeminuman teh berlatih dia hentikan semua gerakannya dan duduk berjuntai di cabang sebuah pohon. Dia berlaku demikian bukan karena letih tapi karena saat itu satu pemikiran muncul di kepalanya.
"Heran, seharusnya mereka sudah tiba di pertapaan selambat-lambatnya siang kemarin. Kenapa sampai pagi ini masih belum muncul?"
Selagi dia berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara memanggil laksana ditiupkan oleh angin dan bergema di sekitar tempat itu, apapun adanya yang bicara nyatalah dia memiliki sejenis ilmu mengirimkan suara dari jarak jauh yang hebat sekali.
"Panji kemarilah!"
Seraya melompat enteng dari cabang pohon pemuda bercawat itu membuka mulutnya dan berseru menjawab. "Saya datang Eyang!"
Laksana seekor burung terbang Panji Kenanga berlari melompati lereng berbatu-batu dan akhirnya sampai di satu jalan kecil yang menuju ke pertapaan.
Begitu sampai di hadapan Brahmana tua si pemuda menjura hormat lalu duduk bersila dan bertanya.
"Ada apa Eyang memanggil saya?"
"Kau habis berlatih ... ?"
"Betul sekali Eyang."
"Bagaimana, apakahada kemajuan kau rasakan?"
"Berkat petunjuk Eyang mudah-mudahan ada," jawab Panji Kenanga. La!u dia berdiam diri menunggu penjelasan dari gurunya mengapa dia dipanggil.
"Aku barusan selesai bersemedi, muridku," kata Brahmana tua tersebut. "Dalam semediku aku mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi atas diri Widura dan Miani. Kalau tidak mustahil sampai saat ini mereka masih belum sampai di sini."
itu memang ada terpikir oleh saya, Eyang," jawab Panji Kenanga. "Karenanya mohon petunjuk Eyang lebih lanjut."
"Mereka berdua masih hijau dalam rimba persilatan, Untuk sekedar mencari pengalaman mereka ku lepas selama satu bulan. Dan nyatanya kini telah lebih waktu tersebut dan mereka belum juga kembali. Cobalah kau turun gunung dan menyelidiki keadaan sekitarnya. Kuharap saja tidak terjadi apa-apa dengan mereka."
"Perintah Eyang akan saya laksanakan," kata Panji Kenanga. "Izinkan saya bersalin pakaian dulu."
Pemuda ini hendak berdiri tapi tak jadi karena gurunya dilihatnya menggerakkan tangan memberi isyarat.
"Satu hal penting kau ketahui, Panji," kata sang Brahmana. "Dalam dunia persilatan kini tengah mengamuk satu angkara murka. Angkara murka itu didalangi oleh manusia-rnanusia berkepandaian tinggi yang menyebut dirinya Hulubalang Istana Darah. Mereka berjumlah banyak namun tidak diketahui siapa yang memimpin mereka."
"Kejahatan apakah yang telah mereka lakukan Eyang?"
"Menculik dan membunuh setiap manusia berilmu."
"Alasan mereka berbuat begitu?" tanya Panji Kenanga lebih jauh.
"Sebegitu jauh belum diketahui. Namun dari apa yang kudengar setiap korban yang mereka bunuh tidak berdarah lagi dalam tubuhnya. Aku kawatir kalau-kalau kedua saudaramu telah menjadi korban manusiamanusia penghisap darah itu."
"Saya akan selidiki Eyang dan tak kembali sebelum menemukan keduanya. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa dengan mereka."
Sang guru mengangguk.
Panji Kenanga berdiri dan meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali sudah berpakaian rapi.
"Bawalah Angin Salju dan juga kau boleh bawa tenjata ini," kata si Brahmana seraya mengeluarkan sebilah pedang bergagang gading.
Terkejutlah Panji Kenanga don buru-buru berlutut, "Eyang, apakah Eyang mempercayakan saya membawa pedang Gajah Biru ini?" tanya Panji Kenanga sewaktu melihat gurunya mengangsurkan pedang mustika itu.
"Kalau tidak percaya masakan kuserahkan," jawab sang guru kepada muridnya. "Pergunakan sebaikbaiknya, terutama dalam keadaan dirimu diancam bahaya."
"Terima kasih atas kepercayaanmu Eyang."
Dengan membungkukkan tubuh Panji kenanga menerima senjata tersebut lalu memasukkannya ke balik punggung pakaiannya.
"Sekarang saya minta diri, Eyang dan mohon doa restumu," kata Panji Kenanga. Dia menjura sampai tiga kali lalu membalikkan tubuh. Seat itu dihadapannya telah berdiri seekor kuda putih tinggi den tegap. Karena larinya yang cepat laksana angin den bulunya yang mulus putih laksana salju, oleh Brahmana binatang ini diberi nama Angin Salju. Panji Kenanga melompat ke punggung Angin Salju. Sebelum berlalu binatang yang jinak dan cerdik ini enggoyangkan kepalanya beberapa kali pada sang Brahmana, lalu meringkik tiga kali seolah-olah mengucapkan selamat tinggal mohoi diri.
***Hujan lebat mendera bumi sewaktu Panji Kenanga bersama angin Salju berada setengah hari perjalanan dari kaki gunung Raung.
"Kita harus mencari tempat berteduh sobatku." kata si pemuda pada kuda tunggangannya.
Angin Salju bukanlah seekor kuda biasa. Binatang ini tajam penca inderanya dan cerdik serta memahami apa-apa kata dan maksud majikannya. Dengan cepat dia memutar tubuh dan laksana anak panah melesat menuju segerombolan pohon-pohon yang berdaun sangat lebat. Demikian lebatnya dedaunan pohon-pohon ini hingga tak setetespun air hujan dapat menembus tanah di bawahnya.
"Matamu tajam den cepat mencari tempat berteduh yang baik," kata Panji Kenanga saraya mengelus tengkuk Angin Salju.
Binatang itu menggerak-gerakkan kedua daun telinganya tanda gembira atas pujian itu. Sementara itu hujan turun semakin lebat. Di antara deru air hujan yang laksana dicurahkan dari langit, tiba-tiba Panji Kenanga mendengar suara berdering-dering tiada hentinya. Dia memandang berkeliling. Tak seorang pun manusia yang kelihatan. Tak sesuatu benda hiduppun yang tampak. Tapi anehnya suara berdering-dering itu terdengar semakin keras.
"Apakah ada iblis atau setan yang menghuni tempat ini dan hendak menakut-nakutiku?" pikir Panji Kenanya dalam hati. Lalu turun dari kudanya.
Sebagai orang yang menguasai ilmu silat tingkat tinggi serta kesaktian dengan sendirinya Panji Kenanga memiliki pendengaran tajam. Namun sekali ini dia terpaksa berjalan hilir mudik seketika, baru dapat mengetahui sumber datangnya suara berdering-dering itu. Dan sewaktu sampai di tempat tersebut melengaklah Panji Kenanga.
Di bawah sebatang pohon berdaun lebat, duduk bersandar seorang lelaki berkepala botak bercelana tipis dan kurus hingga tulang-tulangnya kelihatan jelas bertonjolan. Setiap saat orang berkepala botak ini menggerak-gerakkan kedua tangannya melemparkan sepuluh mata uang emas ke udara, lalu menyambutnya kembali, melemparkannya lagi dan menyambutnya kembali, demikian terus menerus tiada henti. Untuk sesaat lamanya Panji Kenanga menjadi takjub. Sepuluh mata uang emas bukan satu jumlah yang sedikit. Hanya hartawan kaya raya yang punya uang sebegitu. Kemudian sepuluh mata itu dilemparkan ke udara dan bertebar demikian rupa bukan suatu hal yang mudah untuk ditangkap kembali kesepuluhsepuluhnya dengan kedua tangan tanpa ada satupun yang jatuh. Dan hal ini dilakukan berulang-ulang oleh si botak itu dengan sikap acuh tak acuh!
"Siapakah si botak ini?" pikir Panji Kenanga. Pemuda ini melangkah lebih dekat. Astaga! Terkejutlah Panji Kenanga. Betapakan tidak. Ternyata si botak bercelana komprang ini buta kedua matanya! Bagaimana dia memiliki kepandaian melempar dan menyambut sepuluh mata uang seperti itu? Benar-benar aneh. Panji Kenanga melangkah lebih dekat
***
"BAPAK, siapakah kau?" tanya Panji Kenanga menegur.
Si botak tak menjawab. Menggerakkan kepalanyapun tidak. Malah terus asyik melempar-lemparkan sepuluh mata uang emas itu ke udara. Panji Kenanga mengulang kembali pertanyaannya. Si botak tetap tak menjawab. Terus saja asyik bermain-main dengan mata uang emasnya. Memikir mungkin manusia tak dikenal ini tuli maka dia kemudian menegur lebih keras.
Aneh. Si botak tiba-tiba tertawa mengekeh:
"Hup!" seru si botak tiba-tiba. Sepuluh uang emas dilemparkannya tinggi-tinggi ke udara. Seperti daundaun kering yang dihembus angin uang-uang emas itu melayang turun perlahan-lahan, kemudian satu demi satu jatuh menempel di atas kepala botak si orang aneh, tersusun rapi. Hampir saja Panji Kenanga berseru kagum melihat hal ini. Seorang yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa pasti tak bakal sanggup melakukan hal itu. Bahkan dia meragu apakah gurunya bisa berbuat begitu. Si botak yang kini "bertopikan" uang emas kembali tertawa mengekeh. Tawanya tiba-tiba lenyap. Sebagai gantinya dari mulutnya kini terdengar suara nyanyian aneh:
Sejak lahir menderita buta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian Tito
General FictionWiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...