SANG surya belum lama muncul di ufuk timur. Malam yang hitam menggelap di teluk kini digantikan oleh pagi cerah. Air laut yang tadinya seperti berwarna hitam pekat kini kelihatan lagi aslinya, biru kehijauan dengan pantulan sinar matahari pagi merah kekuningan. Setiap pagi seperti itu biasanya teluk ramal dengan nelayan yang baru pulang melaut.
Perahu berjejer di mana-mana dan para pembeli ikan ramai menawar ikan yang dibelinya. Namun pagi ini suasana lain sekali. Belasan perahu memang nampak berjejer di tepi pasir, tapi tak seorang nelayanpun yang nampak. Pembeli-pembeli ikan tidak kelihatan. Teluk itu sepi. Dan ada sesuatu keanehan menggantung di situ.
Seorang kakek-kakek berpakaian compang-camping muncul dari balik bukit kacil di ujung selatan teluk. Dia melangkah tarseok-seok. Rambutnya telah putih semua, panjang sampai ke punggung, kotor awut-awutan. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat kayu sedang di tangan kanan dia membawa sebuah batok kelapa.
Mendadak kakek ini hentikan langkahnya dan mendongak ke langit.
"Pagi cerah . . . . " katanya perlahan. "Tapi udara teluk sekali ini terasa lain."
Orang tua itu memandang ke arah deretan perahu di tepi pantai. Kemudian dia melangkah lebar-lebar manuju daratan perahu itu dan berhenti tepat di hadapan sesosok tubuh yang tergelimpang di pasir. Tubuh itu diketuk-ketuknya dengan ujung tongkat. Tak ada gerakan apaapa.
"Mati!" desis si orang tua. "Oo ladalah Gusti Allah. Pembunuhan lagi!" Mulut kakek ini tampak komat-kamit beberapa lama. Berpaling ke arah perahu lain di sebelah kanannya kembali dia terkejut. Di situ terkapar pula sesosok tubuh. Segera didatangi dan diperiksanya. Lalu kembali dia mendongak ke langit.
"Oo ladalah! Semurah inikah nyawa manusia? Lebih murah dari nyawa anjing jalanan ...?! Eh... itu! Di sana ada satu lagi!"
Kembali si kakek melangkah lebar-lebar mendatangi sosok tubuh yang ketiga, tergeletak antara pasir dan air laut.
"Ya Allah! Yang satu ini masih anak-anak! Kasihan . . . Kasihan sekali! Apa dosanya?!" Si kakek membungkuk dan ketuk-ketukkan tongkatnya ke sekujur tubuh anak yang berusia sekitar sepuluh tahun itu. Wajahnya kemudian tampak sedikit cerah.
"Hai! Yang satu ini masih hidup!" Cepat si kakek berjongkok. Tubuh anak itu ditariknya dari air laut lalu dibaringkannya di atas pasir yang lebih kering.
"Hemm... ada bekas pukulan di tubuhnya. Ia menderita luka dalam. Edan! Manusia mana yang tega-teganya memukul demikian kejam?!"
Meskipun tubuhnya sudah reyot, jalanpun tampak susah, namun disaksikan oleh langit dan laut di pantai itu si kakak perlihatkan satu kehebatan.
Dengan ujung tongkatnya dia mengait leher pakaian anak itu. Lalu hup! Tubuh si anak tahutahu melayang ke atas dan hup! Tubuh itu dinantinya dengan bahu kirinya. Setelah memandang berkeliling sebentar, orang tua ini lantas tinggalkan tempat itu.
Dari caranya mengangkat tubuh anak tadi, jelas kakek ini memiliki kepandaian luar biasa. Siapakah gerangan dia?'
Pada masa itu di Jawa Barat terdapat banyak tokoh silat dari berbagai aliran yang terbagi jadi dua golongan yakni mereka dari golongan putih dan lainnya yang disebut golongan hitam. Tokoh-tokoh silat golongan putih seperti tenggelam pamornya oleh gebrakan-gebrakan yang dibuat oleh para manusia jahat yang dibantu oleh tokoh-tokoh silat golongan hitam. Tampaknya sampai sebegitu jauh tak banyak yang diperbuat golongan putih untuk menanggulangi hal itu. Dengan sendirinya ini menimbulkan rasa risau di kalangan rimba persilatan, baik di Jawa Barat maupun sampai ke bagian tengah dan ujung timur pulau Jawa.
Salah seorang dari tokoh silat golongan putih Jaws Barat adalah kakek tadi. Usianya hampir 80 tahun. Dia hanya dikenal dengan julukan Pengemis Batok Tongkat. Kemana-mana dia tak pernah ketinggalan dua benda itu, yakni batok kelapa dan tongkat kayu.
Pengemis tua ini membawa anak tadi ke tempat kediamannya, di sebuah rimba belantara yang terletak antara pantai selatan dan kaki gunung Halimun.
Ketika sadar si anak merasakan dadanya sakit sekali hingga sulit baginya untuk bernafas. Dari mulutnya terdengar suara mengerang. Dia coba membuka mata. Ternyata dia berada dalam pondok kayu jati yang diterangi oleh sebuah lampu minyak, yang apinya berkelap-kelip tertiup angin. Memandang ke samping kiri disadarinya dirinya terbaring di atas sabuah balai-balai beralaskan tikar jerami.
"Ayah . . . . " si anak memanggil ayahnya. Suaranya memelas. Di samping kanan, sudut matanya menangkap sosok sesorang duduk di tepi balai-balai. Diperhatikannya. Ternyata orang itu bukan ayahnya. Ayahnya tidak setua itu, tidak berambut putih dan tidak berpakaian compangcamping walau dia seorang nelayan miskin. Otaknya bekerja. Ayah! Bukankah ayahnya sudah mati? Mati dibunuh oleh manusia-manusia jahat yang menunggang kuda itu ....?
"Anak, kau sudah sadar .... !" si kakek menegur.
Anak itu tak menjawab.
"Dadamu masih sakit ... ?"
"Ayah . . . ayah . . .?" Anak ini seperti tidak dapat mempercayai jalan pikirannya sendiri. Hatinya seperti membantah kenyataan bahwa ayahnya sudah mati.
"Ah, satu kejadian besar telah menimpanya," membantin si kakek. "Salah seorang yang mati di pantai itu mungkin sekali ayahnya. Kasihan ..."
Kakek itu mengambil sebuah tempurung berisi godokan obat yang sejak sore tadi disediakannya. Kepala si anak diangkatnya sedikit.
"Minum obat ini, nak. Kau pasti lekas sembuh..."
Mula-mula anak itu gelengkan kepalanya hendak menolak. Namun pandangan mata orang tua itu yang demikian lembut serta mulutnya yang tersenyum membuat anak ini mau juga membuka mulutnya dan meneguk obat dalam tempurung. Tenggorokannya terasa hangat. Rasa hangat torus menjalar ke dada, perut, terus ke ujung kakinya. Bersamaan dengan itu rasa sakit di dadanya terasa agak berkurang.
Kakek itu kemudian urut-urut dada si anak. Gerakan tangannya perlahan sekali. Anak ini merasakan ada hawa dingin keluar dari jari-jari tangan orang tua itu. Selesai mengurut-urut kini kakek itu tampak sibuk menjengkal-jengkalkan tangannya pada beberapa bagian tubuh anak itu. Tulang bahu, tulang-tulang iga dan tulang pinggul diketuknya berulang-ulang.
"Orang tua . . . kau siapakah?" anak kacil itu bertanya. "Aku ini berada di mana?"
Yang ditanya tak menjawab. Masih terus sibuk menjengkal dan mengetuk.
"Ah, susunan tulangmu bagus sekali bocah. Siapa namamu?"
"Handaka ..." jawab anak itu. Lalu dia ganti tanya. "Kau sendiri siapakah, kek? Apa ini rumahmu. Mengapa sepi sekali di sini. Tapi di luar sana ada suara-suara aneh."
Pengemis Batok Tongkat tertawa.
"Telingamu tajam juga," katanya. "Dalam pondok kayu jati butut ini memang sepi. Hanya ada kau dan aku, tambah lampu minyak itu. Hik .., hik .. hik. Tapi di luar sana, di malam gelap begini rupa seratus macam suara bisa kau dengar. Mulai dari suara jangkrik sampai suara kodok. Mulai dari suara burung yang ketakutan sampai lenguh banteng liar. Mulai dari suara monyet sampai auman harimau dan singa!
"Harimau dan singa?! Apakah kita berada dalam hutan?" tanya anak usia sepuluh tahun itu.
Kakek itu mengangguk.
"Apa kau takut?" dia bertanya kemudian.
Handaka menggeleng.
"Bagus kalau kau tidak takut. Sekarang tidurlah! Kau harus banyak istirahat. Besok pagi aku akan buatkan bubur untukmu . . . "
"Kenapa tidak sekarang saja ... ? Perutku lapar."
Pengemis Batok Tongkat tertawa.
"Malam ini kau belum boleh makan. Kau masih dalam pengobatan tingkat pertama. . . "
"Lalu bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini? Di mana ayah? Kau belum mengatakan kau ini siapa..."
"Siapa diriku, sejak kecil aku memang tak punya."
"Aneh, masakan ada orang tidak punya nama. Lalu bagaimana aku harus memanggilmu ..."
"Panggil saja aku kakek pengemis. Dan aku akan panggil kau cucu, bukan anak ...."
"Kakek pengemis? Memangnya kau ...?"
"Betul! Aku memang pengemis. Lihat saja pakaianku butut compang-camping. Aku jarang mandi. Lihat tongkat dari batok kelapa di atas meja itu? Itu benda-benda yang kupergunakan untuk minta-minta. . ."
Handaka seperti tidak percaya. Namun dia lebih ingin mengetahui di mana ayahnya.
"Di mana ayahmu, itulah yang aku tidak tahu. Kau sampai ke mari karena aku yang membawamu. Kau kutemukan pingsan di teluk, kemarin pagi ..."
"Jadi kau telah menolongku. Ah, aku harus mengucapkan terima kasih padamu ..." Handaka berusaha untuk bangun. Namun kakek pengemis menahan bahunya dari menyuruhnya berbaring kembali.
"Segala kejadian di dunia ini sudah ada yang mengatur, Handaka," katanya. "Semua kodrat Tuhan di luar maunya manusia. Karena itu hanya pada Dia manusia layak berterima kasih."
"Ayahku juga bilang begitu kek," ujar Handaka. "Namun ayah juga mengatakan walau Tuhan punya kuasa, manusia harus berupaya. . ."
Si kakek tertawa lobar. "Betul! Betul sekali cucuku. Memang begitu adanya. Nah sekarang kau harus tidur. Besok sehabis makan kau boleh menceritakan padaku apa yang terjadi di teluk pagi kemarin."
Si anak terdiam. Dia coba mengingat-ingat. "Kenapa menunggu sampai besok? Sekarangpun aku bisa menceritakannya kek. Aku mulai ingat semua yar terjadi di teluk. Orang-orang jahat itu... para nelayan, ayahku . . ."
"Dadamu tidak sakit?"
"Rasanya sudah sembuh kek. Obatmu pasti manjur sekali."
Pengemis Batok Tongkat tertawa lebar. "Baiklah," katanya. "Kelau kau bisa menceritakan sekarang, akupun kepingin mendengar."
Maka Handaka pun menuturkan apa yang terjadi.
***PAGI itu para nelayan baru saja merapatkan perahu masing-masing di teluk Cikandang, siap memunggah hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh malam tadi. Para pembeli termasuk tengkulak-tengkulak yang sudah lama menunggu segera mendatangi. Di antara orang banyak yang mendatangi para nelayan itu, terlihat seorang lelaki yang segera menjadi perhatian. Lelaki ini melangkah terhuyung-huyung. Wajahnya penuh luka dan babak belur. Ditubuhnya juga kalihatan luka-luka yang masih menganga. Dia berjalan sambil pegangi dadanya, di mana terdapat sebuah luka besar yang masih mengucurkan darah.
"Astaga! Apa yang terjadi dengan Tugiman!" seru seorang nelayan tua seraya melompat dari perahunya. Namanya Argakumbara. Oleh kelompok nelayan teluk Cikandang dia dianggap sebagai pimpinan karena usianya dan juga pengglamannya.
Seorang anak lelaki yang ikut melaut dengan Argakumbara melompat pula dari perahu, berlari ke arah orang yang luka-luka. Para nelayan lainnya pun segera pula mendatangi. Tugimen roboh ke pasir saat para nelayan sampai di hadapannya, langsung mengerubunginya.
"Tugiman! Apa yang terjadi? Siapa yang menganiayamu?!" tanya Argakumbara sambil berlutut di samping orang yang terkapar di pasir itu.
"Lari . . . lari. Tinggalkan tempat ini cepat ..."
Tugiman bicara dengan susah payah.
"Lari? Kenapa musti lari ...?" tanya Argakumbara heran, begitu juga nelayan-nelayan lainnya.
"Jangan bertanya. Larilah selagi kesempatan ada. Selamatkan nyawa kalian. Serombongan manusia-manusia durjana telah mengganas di kampung, Membunuh, merampok dan menculik. Kepala kampung mereka gantung. Mereka akan segera datang kemari..."
Kagetlah semua nelayan yang ada di situ. Si kecil Handaka walau juga menunjukkan rasa tarkejut namun tidak ada bayangan rasa takut.
"Siapa manusia-manusia durjana itu Tugiman?" tanya Argakumbara. "Kampung kita dan daerah sekitar sini sejak dulu selalu aman tenteram."
Tugiman tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kedua matanya yang terbuka lebar memandang tak berkesip lagi ke langit.
"Mati! Dia mati!" terlompat ucapan itu dari mulut Handaka.
Semua orang tersentak.
"Handaka," kata Argakumbara pada anaknya, "Kau pergilah ke kampung Cikuray. Langsung ke rumah bibimu. Tunggu di sana sampai ayah datang. Kami akan mengurus mayat Tugiman."
Akan tetapi belum sempat bocah sepuluh tahun itu melakukan perintah ayahnya, enam orang penunggang kuda muncul memacu kuda masing-masing, bargerak sepanjang tepi pantai ke arah nelayan-nelayan yang mengelilingi mayat Tugiman. Dua di antara mereka memboyong seorang gadis yang terkulai di pangkuan masing-masing, entah pingsan entah keletihan kehabisan tenaga karena meronta-ronta sepanjang jalan. Atau mungkin juga ditotok!
"Ayah! Pasti ini manusia-manusia durjana itu ..." bisik Handaka seraya pegangi lengan Argakumbara.
Penunggang kuda terdepan hentikan kudanya. Sambil menyeringai dia memandangi tubuh Tugiman. Keenam orang ini rata-rata berbadan tegap besar, bermuka garang dihias kumis melintang dan cambang bawuk, memiliki mata merah, berpakaian dan berikat kepala serba hitam.
"Ternyata anjing satu ini lari kemari! Tapi kulihat nafasnya sudah putus. Sialan! Susah-susah kita mengejarnya!"
"Hai!" kawan di sampingnya berseru. "Orang itu bicara apa saja pada kalian sebelum dia mampus?!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani menjawab.
"Setan! Apakah aku berhadapan dengan patung-patung!" bentak orang tadi. Lalu kaki kaki kanannya enak saja menendang kepala seorang nelayan yang ada di dekatnya. Tak ampun nelayan ini jatuh tergelimpang dengan bibir pecah dan gigi rontok!
Serta merta para nelayan lainnya menjadi kecut, semua bersurut mundur kecuali Argakumbara dan anaknya.
Penunggang kuda yang barusan menendang memboyong seorang gadis di pangkuannya memandang berkeliling, tertawa sebentar lalu berkata, "Nelayan-nelayan busuk! Kalian dengar baik-baik apa yang aku katakana! Aku Singkil Alit, bergelar Harimau Hitam, pemimpin dalam rombongan ini! Kami baru saja membakar kampung kalian, membunuh orang-orang yang tak mau mendengar. Menculik dua gadis ini karena tidak mau ikut secara suka rela padahal mau diberi kenikmatan dan hidup mewah! Kami bahkan telah menggantung kepala kampung kalian yang berani menatang! Jika kalian di sini ingin mampus semua, mudah saja! Yaitu membangkang atas apa-apa yang kami katakan! Nah, aku bertanya lagi. Apa yang dikatakan manusia itu sebelum mampus?!"
Karena tak ada seorangpun di antara para nelayan, yang berani menjawab maka Argakumbara akhirnya membuka mulut, "Orang itu keburu mati sebelum sempat mengatakan apa-apa. . ."
"Bagus! Ada juga yang mau bicara!" kata Singkil Alit. "Coba tadi-tadi ada yang mau menjawab. Tak perlu kami menurunkan tangan keras, memukul atau menendang. Dasar nelayannelayan picik! Tolol semua!"
Setelah memuntir kumisnya yang melintang Singkil Alit lanjutkan ucapannya.
"Dengar baik-baik. Mulai hari ini semua hasil kalian melaut, sawah atau ladang, termasuk ternak yang kalian punyai di kampung di balik bukit itu berada di bawah kekuasaan kami berenam. Semua hasil panen harus diserahkan pada kami. Semua ikan yang kalian dapat harus diberikan kepada kami hasil penjualannya. Nanti kami yang akan mengatur seperberapa bagian yang boleh kalian ambill Nah, aku mau tahu ada yang berani membangkang?!"
Sunyi sesaat. Kemudian terdengar suara Argakumbara.
"Boleh aku bicara?"
Singkil Alit memandang sejurus pada nelayan tua itu lalu berkata, "Monyet tua, apa yang hendak kau katakan ucapkan cepat!"
Walaupun orang tua ini tetap tenang namun wajahnya jelas berubah dipanggil dengan makian monyet tua itu.
"Selama ini kalau kami membayar pajak, itu kami berikan pada Adipati melalui kepala kampung. Pajak yang kami bayar tidak ditentukan, sesuai kemampuan. Kami di sini adalah nelayan-nelayan miskin. Di antara kami memang ada yang punya sawah atau ladang, tapi dengan petak-petak yang kecil. Kalaupun kami punya ternak itu hanya ayam, itik atau kambing. Jika kalian hendak menguasai semua milik kami yang hanya cukup untuk modal hidup, itu sama saja kalian membunuh kami...!"
Singgil Alit alias Harimau Hitam mendelikkan mata, usap-usap janggutnya yang meranggas lalu tertawa gelak-gelak.
"Monyet tua ... !" katanya.
"Ayahku bukan monyet!" teriak Handaka tiba-tiba.
"Kalian semua dengar!" bentak Singkil Alit. "Mulai hari ini kalian tak perlu tahu lagi apa itu kepala kampung, kepala desa ataupun Adipati. Yang harus kalian patuhi bukan mereka, tapi kami! Aku dan kawah-kawan akan membangun sebuah kota di daerah ini. Kalian harus tinggal bersama kami, bekerja untuk kami! Siapa berani membangkang atau mencoba lari berarti mati!"
Mendengar kata-kata Singkil Alit, Argakumbara kembali membuka mulut.
"Singkil Alit; siapapun adanya kau. Aku dan semua nelayan di sini tidak mengerti mengapa kau dan kawan-kawanmu tega melakukan pererasan. Merampas bahkan membunuh kami orangorang tak berdosa. Menculik gadis-gadis kampung kami. Apakah kalian tidak takut pada petugaspetugas Bupati?"
"Justru petugas-petugas itu yang harus takut pada kami!" sahut Singkil Alit lalu tertawa gelak-gelak diikuti lima anak buahnya.
"Kami tidak mungkin melakukan apa yang kalian minta!" kata Argakumbara tandas.
"Begitu? Majulah lebih dekat kemari! Ada sesuatu yang perlu aku katakan padamu nelayan tua. Orang lain tak boleh mendengarnya ...." kata Singkil Alit.
Tak mengerti kalau orang bermaksud jahat, nelayan tua berhati polos ini melangkah maju. Baru saja dia bertindak dua langkah, kaki kanan Singkil Alit tiba-tiba menderu ke dadanya. Argakumbara keluarkan jeritan menyayat hati. Tubuhnya terlempar dan tergelimpang di pinggir pantai. Darah tampak mengucur dari sela bibirnya. Dia mengerang beberapa ketika lalu diam tak bergerak lagi. Mati!
"Ayah....!" jerit Mandaka dan jatuhkan diri menubruk tubuh ayahnya. Anak ini menangis keras. Tiba-tiba dia hentikan tangisnya. Matanya membentur sebuah pisau besar yang terselip di pinggang ayahnya. Pisau ini biasa dipergunakan untuk memotong ikan. Tak berpikir panjang lagi Handaka ambil pisau itu lalu menerjang ke arah Singkil Alit, menusuk ke perut lelaki ini!
"Budak! Nyalimu besar juga!" salah seorang anak buah Singkil Alit, menghalangi gerakan Handaka sambil hendak menggebuk.
"Biar saja Rangga!" kata, Singkil Alit mencegah.
Pisau besar di tangan Handaka mencucuk, ke perut kepala penjahat itu. Yang diserang tertawa mengekeh. Sekali tangannya bergerak dia sudah menjambak rambut anak itu sementara tangannya yang satu lagi memuntir lengan kanan Handaka.
Anak itu berteriak kesakitan dan terpaksa lemparkan pisau besarnya. Dengan, tangan kirinya dia berusaha mencakar muka Singkil Alit. Namun satu, jotosan lebih dulu menghantam dadanya. Handaka keluarkan keluhan pendek lalu terkulai pingsan. Seperti melemparkan sampah, Singkil Alit hempaskan tubuh Handaka ke pasir.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian Tito
General FictionWiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...