LEMBAH MERAK HIJAU yang terletak di propinsi Ciat-kang merupakan sebuah lembah subur dengan pemandangan yang indah. Lebih-lebih karena di sebelah timur lembah ini terdapat daerah persawahan yang luas dan pada saat itu padi yang ditanam telah masak menguning hingga kemanapun mata memandang, seolah-olah hamparan permadani emaslah yang kelihatan. Bila angin bertiup, padi-padi masak menguning itu bergoyang melambai-lambai mengalun lemah gemulai.
Dipagi yang cerah ini diantara desau tiupan angin lembah yang segar terdengarlah suara tiupan seruling yang merdu sekali. Barang siapa yang mendengarnya, pastilah akan tertegun dan memasang telinga baik-baik menikmati suara seruling itu. Siapakah gerangan yang meniup seruling tersebut? Tentunya seorang seniman pandai yang dapat menggambarkan keindahan pemandangan alam sekitarnya lewat hembusan napas yang disalurkannya ke dalam lobang seruling.
Tetapi adalah diiuar dugaan karena kenyataannya si peniup seruling bukanlah seorang seniman, bukan pula seorang dewasa. Melainkan seorang anak gembala yang baru berusia tujuh tahun dan duduk di atas punggung seekor kerbau besar tegap berbulu bersih dan berkilat.
Perlahan-lahan kerbau besar itu melangkah menyusur tepi sawah, memasuki lembah Merak Hijau, kemudian mendaki bibir lembah di sebelah selatan. Di atas punggungnya bocah berusia tujuh tahun itu demikian asyiknya meniup seruling hingga dia tidak perduli lagi ke mana pun kerbaunya membawanya.
Akan tetapi ketika binatang itu sampai di atas lembah sebelah selatan serta rnerta si bocah menghentikan permainan serulingnya. Mulutnya ternganga dan sepasang matanya yang bening melotot begitu dia menyaksikan pemandangan di hadapannya. Dua sosok tubuh yang hanya merupakan bayang-bayang hitam dan putih dilihatnya berkelebat hebat, terlibat dalam suatu perkelahian yang gencar dan seru.
Adalah aneh... memikir anak itu... di tempat yang begini indah dan segar, ada orang berkelahi. Memperhatikan dengan mata tak berkesip lama-lama membuat si bocah menjadi pusing sendiri. Beberapa kali dia memejamkan matanya, dibuka kembali, dipejamkan lagi, dibuka lagi. Ketika dia membuka sepasang matanya untuk yang kesekian kalinya, dilihatnya bayangan hitam mendesak bayangan putih dan tahu-tahu satu tendangan dahsyat dilancarkan oleh sosok tubuh bayangan hitam. Tapi bayangan putih dapat mengelak. Tendangan maut itu tak sengaja terus melabrak kepala kerbau yang ditunggangi anak tadi.
Terdengar lenguhan keras. Kerbau besar itu mencelat sampai beberapa tombak, angsrok di tanah, mati dengan kepala pecah. Anak lelaki tadi terpelanting dan nyangsrang dalam semak-semak. Pakaiannya habis koyak-koyak dan kulitnya baret luka-luka. Tapi suling Kesayangannya masih tergenggam di tangan kanannya. Dengan susah payah dia keluar dari semak-semak itu sambil mengomel marah ketika mengetahui apa yang terjadi dengan kerbau tunggangannya.
Di depan sana akibat kejadian yang tak disangka-sangka itu, dua orang yang tadi berkelahi mati-matian sama melompat mundur. Perkelahian terhenti dan keduanya memandang ke arah si bocah dan kerbaunya.
Kini barulah anak lelaki itu dapat melihat dengan jelas sosok tubuh dan tampak kedua bayangan hitam dan putih tadi.
Di depan sebelah kanan tegak seorang kakekkakek berjubah hitam berkepala botak plontos yang kilat-kilat ditimpa sinar matahari. Sepasang alisnya tebal, kumisnya jarang tapi tebal-tebal dan panjang. Tampangnya persis seperti anjing air!
Di sebelah kiri berdiri pula seorang kakek-kakek berpakaian putih. Rambutnya panjang putih meriap bahu. Dia memelihara kumis serta janggut lebat yang juga berwana putih. Sepasang matanya memandang tajam pada bocah yang memegang suling sedang kulit keningnya berkerut seolah-olah dia tengah memikirkan sesuatu.
Meskipun tadi hanya melihat bayangannya saja. namun bocah pengembara itu yakin kakek berjubah hitam itulah yang telah melepaskan tendangan hingga mematikan kerbaunya. Bocah ini memang mempunyai dasar watak yang berani. Dengan mata melotot dan air muka menunjukkan kemarahan dia membentak pada kakek jubah hitam :
"Tua bangka botak! Kau telah membunuh kerbauku! Aku pasti akan dirajam oleh majikanku! Kau harus menggantinya kalau tidak...."
Seumur hidupnya baru kali itu kakek berjubah hitam dimaki begitu rupa oleh seorang lain. apalagi anak-anak yang masih ingusan pula! Tentu saja darahnya naik ke kepala
"Pergi kau dari sini. kalau tidak kepalamu akan kupecahkan seperti binatang itu!"
"Tidak! Kau harus ganti dulu kerbau yang mati itu!'
"Bocah sundal! Kau mampuslah!' teriak kakek jubah hitam marah sekali. Tangan kanannya dipukulkan ke depan. Serangkum angin menderu dahsyat. Jangankan seorang anak kecil seperti pengembala itu, batu karang atos sekalipun kalau sampai dilabrak pukulan jarak jauh yang berkekuatan tenaga dalam Suar biasa itu pasti akan hancur lebur.
Tapi sebelum pukulan tangan kosong itu menghantam anak gembala, dari samping menderu angin pukulan lain, menggempur angin pukulan yang pertama hingga berantakan dan punah!
Ternyata kakek berpakaian putihlah yang telah menolong bocah itu!
Si anak yang tidak sadar kalau dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut. dengan marah mengangkat sulingnya tinggi-tinggi dan lari ke arah kakek berjubah hitam.
"Tua bangka botak! Kugebuk kau dengan sulingku kalau kau tak mau ganti kerbau yang mati!"
Anak yang berani ini tidak menyadari sama sekali kalau perbuatannya itu bakal merenggut nyawa sendiri karena dalam kemarahannya kakek jubah hitam memang sudah berniat membunuh anak itu. Tapi lagi-lagi orang tua berpakaian putih menyelamatkannya Sekali bergerak, kakek yang satu ini tahu-tahu sudah telah mencengkram kerah pakaian bocah itu dan menariknya ke tempat yang aman!
"Budak! Keberanianmu luar biasa dan mengagumkanku! Tapi si kepala botak itu bukan lawanmu! Biar aku yang mewakilimu untuk menggebuknya!"
Sesaat anak gembala itu terdiam. Kemudian dengan merengut dia berkata : "Kalian tua-tua bangka tak tahu diri.-Berkelahi macam anak-anak!"
Kakek berjanggut putih tertawa gelak gelak. Tapi sebaliknya si jubah hitam kepala botak membentak garang dan menyerbu. Kembali kedua orang ini bertempur hebat Kembali tubuh mereka menjadi bayangbayang hitam putih dan kembali pula si bocah menjadi sakit mata dan pening kepalanya menyaksikan. Namun dia memaksakan untuk memperhatikan kejadian hebat itu sambi! tiada hentinya berteriak : Janggut putih, ayo kau hajar kepala botak pembunuh kerbauku itu! Sikat! Pecahkan kepalanya seperti dia memecahkan kepala binatang gembalaanku!"
Teriakan-teriakan anak ini seolah-olah memberi semangat pada kakek berpakaian pulih, sebaliknya membuat si botak jadi penasaran setengah mati!
Dari batik jubah hitamnya si botak ini keluarkan senjatanya berupa tongkat kayu berwarna hitam legam dan memancarkan sinar menggidikkan. Setelah bertempur hampir dua ratus jurus ternyata dia tak dapat merubuhkan lawan dengan iangan kosong maka kini dengan senjata itu dia berharap bakai dapat mengalihkan kakek janggut putih.
Diiain pihak lawannya begitu melihat musuh pegang senjata tidak pula menunggu lebih lama, segera keluarkan senjatanya yakni sebatang tombak pendek terbuat dari baja putih yang kedua ujungnya bercagak.
Sesaat kemudian keduanya sudah bertempur kembali dengan hebatnya. Kini bayangan pakaian mereka yang putih dan hitam dibuntali oleh sinar dari senjata masing-masing dan menderu-deru dengan dahsyatnya.
Bocah gembala yang berdiri jauh dari tempat itu merasakan bagaimana sambaran kedua senjata tersebut membuat lututnya guyah dan tubuhnya bergetar menggigil Terpaksa dia menjauh sampai satu tombak dari kalangan pertempuran sementara mata dan kepalanya semakin sakit menyaksikan.
Dalam satu gebrakan hebat kakek janggut putih berhasil mendesak lawan dan setelah mengirimkan tusukan-tusukan gencar ke arah tawan tiba-tiba robah gerakan tongkatnya dengan satu kemplangan yang tidak terduga.
Kakek botak berseru kaget. Buru-buru dia melintangkan senjatanya di atas kepala. Tombak baja dan tongkat kayu mustika beradu dengan keras, me ngeluarkan suara nyaring. Tongkat kayu mental patah dua sedang tombak baja terlepas dari tangan kakek janggut putih! Nyatalah kedua kakek-kakek itu sama tangguh meskipun si janggut putih unggul sedikit dari lawannya.
Selagi kakek janggut putih melompat mengambil tongkatnya, si kepala botak rangkapkan dua tangan di depan dada, kaki terkembang dan kedua matanya dipejamkan. Mulutnya komat-kamit. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul asap hitam. Kemudian terdengar kekehannya.
"Manusia keparat! Jangan harap kali ini kau bisa bernapas lebih lama!"
Kepulan-kepulan asap hitam itu sedetik kemudian berobah menjadi delapan buah tangan yang amat besar, berbulu dan berkuku-kuku panjang laksana cakar burung garuda dan mulai menggapaigapai ke arah kakek janggut putih.
"Ilmu hoatsut!" teriak si janggut putih dengan wajah berobah. (Hoatsut ilmu sihir hitam). Hatinya tercekat. Segala macam senjata sakti dan ilmu silat hebat bagaimana pun dia tidak gentar. Tapi menghadapi ilmu siluman mau tak mau hatinya berdebar juga. Dia mengambil keputusan nekad. Menghajar si kepala botak itu lebih dulu sebelum ilmu hitamnya melancarkan serangan. Dengan memutar tombak bajanya sekeliling tubuh, dia menyusup diantara kepulan asap hitam!2AKAN TETAPI SEBELUM tongkat baja berkepala dua itu mampu mendekati kakek jubah hitam sampai jarak tiga jengkal, tiba-tiba delapan buah tangan mengerikan telah berserabutan menyerang kakek janggut putih!
Si kakek tersentak dan buru-buru menghindarkan diri. Tapi empat tangan berkuku panjang itu masih memburunya dengan ganas. Si kakek kiblatkan tombak bajanya, sekaligus melabrak empat buah tangan yang menyerang. Aneh, meskipun jelas dia berhasil menghantam empat tangan mengerikan itu namun tombaknya lewat begitu saja seolah-olah menghantam udara kosong! Dan dalam pada itu salah satu tangan tersebut telah berkelebat dengan cepat dan bret!
Pakaian dibagian dada si kakek robek besar. Kuku-kuku yang panjang masih sempat membuat baret daging dadanya dan kontan orang tua ini merasakan tubuhnya panas dingin. Buru-buru dia salurkan tenaga dalamnya kebagian dada yang cedera dan rasa sakit panas dingin berangsur-angsur berkurang.
Dalam pada itu di depan sana kakek jubah hitam kembali keluarkan suara tawa mengekeh dan delapan tangan siluman kembali menyerbu!
Kakek janggut putih maklum bahwa segala pukulan sakti dan tombaknya tak akan mampu meng hadapi ilmu sihir yang ganas itu. Dia hanya sanggup bertahan dengan mengandalkan ginkangnya yang sudah amat tinggi. Tapi sampai berapa lama dia bisa berbuat begitu? Seratus, dua ratus atau katakanlah sampai tiga ratus jurus di muka? Dalam umurnya yang sudah demikian lanjut, apakah dia mampu melaksanakannya? Cepat atau lambat dia bakal celaka juga! Hal ini membuat dia nekad dan mengamuk dengan hebat. Tapi ilmu siluman musuh betulbetul luar biasa. Dalam tempo beberapa jurus saja dia sudah didesak habis-habisan!
Bocah penggembala yang mengharapkan agar kakek janggut putih bisa menghajar si botak yang telah membunuh kerbaunya itu, jadi kecewa dan penasaran ketika menyaksikan bagaimana justru kakek janggut putih itu terdesak hebat bahkan terancam jiwanya karena saat itu beberapa kali tangantangan iblis berkuku panjang telah memukul dan mencakar tubuhnya hingga dalam tempo singkat kakek ini mandi darah akibat luka-luka yang dideritanya!
Dengan marah anak laki-laki itu mulai mengumpulkan batu-batu sebesar kepalan dan melempari kakek jubah hitam dari belakang. Tapi semua batubatu yang dilemparkan jangankan mengenai, mendekati tubuhnya saja pun tidak karena batu-batu itu mental kembali akibat hawa sakti yang keluar dari tubuh si jubah hitam kepala botak!
Hebatnya kakek janggut putih itu meskipun sadar bahwa dirinya bakal celaka dan kematiannya sudah ditentukan saat itu, namun dia masih saja bertahan dan melawan mati-matian, sama sekali tidak mau menyerah apalagi lari selamatkan dirinya!
Melihat keadaan kakek berjanggut putih itu dan khawatir kalau tangan-tangan siluman itu bakal menyerangnya pula, timbullah rasa takut dalam diri anak penggembala. Tetapi anehnya dia sama sekali tidak pula melarikan diri dari tempat ini. Malah untuk menghilangkan rasa takut itu, anak ini ambil serulingnya dan mulai meniup. Lagu yang dimainkannya sama sekali tak menentu. Rasa takut dan khawatir melihat keselamatan si kakek janggut putih terancam membuat tiupan serulingnya melengkinglengking tak karuan. Tetapi justru tiupan seruling inilah yang mendadak sontak merubah keadaan di dalam kalangan perkelahian hidup mati itu!
Delapan tangan iblis yang mengerikan kini kelihatan berserabutan dalam gerakan-gerakan kacau. semakin lama semakin mengecil akhirnya berubah menjadi asap hitam. Kakek jubah hitam tersentak kaget. Dia berkeras memusatkan pikirannya guna mengumpulkan kekuatan bathin yang tercerai berai namun tak berhasil bahkan tangan-tangan siluman itu telah berubah jadi kepulan asap hitam dan lenyap.
"Celaka!" seru kakek botak ini. Dia buka kedua matanya justru disaat itu musuhnya yang telah luka parah laksana banteng terluka mengamuk melihat perubahan yang mendadak dan adanya kesempatan untuk menyerang, tanpa tunggu lebih lama lancarkan gerakan mematikan yang bernama "Joan hun-kigwat" atau "menyusup awan mengambil rembulan."
Tongkat baja bermata dua itu menusuk laksana kilat ke dada si jubah hitam dan tanpa dapat dielakkan lagi tepat menembus jantungnya hingga tanpa suara sedikit pun kakek berkepala botak itu minggat nyawanya ketika itu juga!
Melihat si pembunuh kerbaunya mati, anak gembala tadi bersorak gembira dan jingkrak-jingkrakan.
"Syukur! Mampuslah pembunuh kerbau! Baru aku puas sekarang!" Tapi bila ingat apa yang akan dikatakannya nanti pada majikannya akan ini lantas jadi termenung murung.
Sementara itu si janggut putih yang tubuhnya penuh luka-luka, dalam keadaan megap-megap segera bersila di tanah. Atur jalan darah dan napas serta salurkan hawa sakti tenaga dalam keseluruh bagian tubuhnya. Beberapa saat kemudian dia keluarkan dua macam obat yakni beberapa butir pel dan sebungkus obat bubuk. Pel itu ditelannya sampai habis sedang obat bubuk dituangkannya pada luka-luka sekujur tubuhnya. Kemudian kembali dia bersila. Sekitar seperminuman teh berlalu. Perlahanlahan orang tua ini membuka kedua matanya dan berdiri. Meski kini dia telah selamat dari kematian namun kesehatannya belum pulih keseluruhannya. ternyata cakar dari jari-jari tangan siluman yang telah membuat dia cedera itu mengandung racun yang berbahaya. Untung saja dia membawa persediaan obat, kalau tidak meskipun dia berhasil membunuh musuh namun racun, yang mengendap bukan mustahil bakal membuat dia menemui ajalnya pula dalam satu dua hari dimuka.
Orang tua ini kemudian ingat pada anak gembala itu yang kini tengah duduk termangu-mangu di bawah sebatang pohon. Meskipun kerbau gembalaannya mati bukan karena kesalahannya dan si pembunuh sudah pula menemui ajal namun majikannya pasti tak mau perduli. Masih mending kalau dia diberhentikan dari pekerjaan, kalau disuruh ganti?
Selagi dia termenung sudah begitu rupa tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Dia merasakan tengkuk pakaiannya dicekal orang dan kemudian dirasakannya tubuhnya laksana terbang. Memandang ke samping ternyata dia telah dipanggul oleh kakek berjanggut putih dan membawa lari dengan kecepatan yang luar biasa, membuat dia gamang dan ngeri.
"Orang tua kau mau bawa aku ke mana?!" seru si bocah dengan suara gemetar.
"Budak... kau diam sajalah. Tak usah banyak tanya!"
"Tapi aku harus kembali pada majikanku. Memberi tahu tentang kerbau yang mati itu...."
Si kakek tertawa.
Kau anak baik yang tahu apa artinya tanggung jawab. Tapi lupakan saja majikanmu dan kerbaumu itu! Persetan! Potongan tubuh dan ruas tulangmu kulihat bagus sekali! Sayang... sayang kalau disiasiakan! Aku akan bawa kau ke puncak Liongsan! Kau dengar? Puncak Liongsan!"
"Aku... aku...."
Si kakek mempercepat larinya dan kerena ngeri si bocah tak berani lagi banyak bicara, malah kini dia pejamkan kedua matanya. Tanpa sadar akhirnya dia tertidur di atas pundak kakek yang membawanya "terbang" itu!
Siapakah adanya kakek berambut putih ini? Siapa pula musuh berjubah hitam itu dan apa tujuannya sampai anak gembala tersebut hendak dibawanya ke puncak Gunung Naga yang selama ini dianggap angker dan jarang didatangi oleh manusia?
Kakek-kakek jubah hitam yang menemui ajalnya itu dalam dunia persilatan di daratan Tongkok dikenal dengan julukan angker Raja Setan Gunung Utara atau Pak-san Kwi-ong. Pada masa itu diantara tokohtokoh silat golongan hitam yang sesat Pak-san Kwi-ong dianggap tokoh terlihay dan secara tidak resmi dijadikan sebagai pimpinan. Dengan sendirinya dia menjadi musuh nomor wahid dari orang persilatan golongan putih.
Sekitar tiga tahun yang lalu antara Pak-san Kwi-ong dengan kakek-kakek janggut putih yang membawa lari anak gembala tadi, telah terjadi bentrokan. Dalam perkelahian satu lawan satu yang seru dan berlangsung seratus jurus, kakek janggut putih berhasil mengalahkan Pak-san Kwi-ong. Kekalahan bibit pangkal dendam kesumat sakit hati. Selama tlya tahun Pak-san Kwi-ong melatih diri memperdalam ilmu silat, tenaga dalam dan gingkangnya. Disamping itu dia meyakini pula satu ilmu baru yakni ilmu hitam atau sihir. Setelah dia merasa cukup sanggup untuk melakukan penuntutan balas, maka dicarinyalah kakek janggut putih tadi. Ternyata Paksa n Kwi-ong memang berhasil menghadapi musuh besarnya itu, bahkan ilmu hitamnya dia hampir saja dapat membunuh lawan. Namun tiada disangkasangka, ilmu sihirnya musnah berantakan hanya karena tiupan seruling bocah penggembala kerbau. Dan akhirnya secara penasaran dia terpaksa serahkan jiwanya pada musuh!
Lalu siapa pulakah kakek janggut putih itu?3KALAU SEBELUMNYA telah dijelaskan bahwa Paksan Kwi-ong merupakan tokoh silat golongan hitam yang paling tinggi ilmu silat dan kesetiaannya pada masa itu, maka dari golongan putih boleh dikatakan kakek janggut putih itulah yang menjadi tokoh kelas wahidnya. Dia dikena! dengan nama Kiat Bo Hosiang, berusia 70 tahun dan bergelar Sin-jiu Thung ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti.
Meskipun Kiat Bo Hosiang teiah dianggap sebagai jago nomor satu pada masa itu, namun tokohtokoh persilatan bukan tidak mengetahui bahwa sesungguhnya masih ada seorang tokoh yang luar biasa kesaktiannya, yang sukar bahkan tak ada tandingnya diseluruh Tiongkok. Namun sudah sejak lama orang ini mengundurkan diri dari urusan duniawi dan di mana beradanya sekarang tak seorang pun yang mengetahui. Cuma diketahui bahwa tokoh luar biasa itu adalah Suheng atau kakak seperguruan dari Kiat Bo Hosiang. Namanya Ik Bo Hosiang dan sudah berusia lebih dari 80 tahun, bergelar Kim-Bong-Kiam-Khek atau Pendekar Pedang Pelangi Emas. Diduga hanya Kiat Bo Hosiang sendirilah yang mengetahui di mana suhengnya itu berada.
Sementara itu diketahui pula bahwa Ik Bo Hosiang mempunyai dua orang pembantu rnasingmasing berusia 60 tahun yang kepandaiannya hanya satu tingkat saja di bawah kepandaian Kiat Bo Hosiang. Jika baru pembantunya saja sudah memiliki kepandaian tinggi demikian rupa, maka dapat dibayangkan betapa luar biasanya Ik Bo Hosiang sendiri.
Sebagaimana lazimnya yang terjadi dikalangan kangouw, tokoh silat berkepandaian tinggi itu biasa mempunyai sifat sifat yang aneh. Sifat ini tidak pula terlepas dari diri Ik Bo Hosiang. Namun keanehannya ini sudah melampaui batas-batas yang dianggapnya wajar hingga banyak orang yang berpendapat bahwa kakek sakti itu tidak sehat pikirannya alias berotak miring atau setengah gila! Cuma untuk menyatakan pendapat atau anggapan itu secara terang-terangan tentu saja tak satu pun yang berani karena kalau sampai terdengar oleh Ik Bo Hosiang, maka itu sama saja dengan mengundang "penyakit".
Setelah lari hampir seratus iie dan siang telah berganti dengan malam, Kiat Bo Hosiang baru berhenti. Anak kecil yang didukungnya ternyata telah tertidur. Perlahan-lahan bocah ini dibaringkannya di tanah. Dia sendiri kemudian menelan beberapa pil obat lalu duduk bersila di tanah. Mengatur jalan nafas dan peredaran darah serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang baru saja sembuh dari pada racun jahat ilmu siluman Pak-san Kwi-ong. Beberapa saat kemudian kembali dia melanjutkan perjalanan, lari dalam gelapnya malam persis seperti setan yang berkelebat gentanyangan.
Menjelang pagi Kiat Bo Hosiang istirahat dan tidur sebentar dan bila matahari terbit dia meneruskan perjalanan kembali.'
Seringai gembira tersungging di mulutnya ketika di hadapannya terlihat Gunung Naga (Liongsan) yang menjulang tinggi. Penduduk disekitar tempat itu menganggap gunung itu angker, tak satu orang pun berani mendekati kaki gunung. Tapi Kiat Bo Hosiang seperti orang tak perduli, dan terus mendaki gunung yang menjulang ini. Sampai pertengahan lereng jalan yang menuju puncak gunung masih mu-dah ditempuh dan tidak berbahaya. Tapi selewatnya pertengahan lereng, pepohonan dan semak belukar mulai rapat. Ular-ular pohon kelihatan membelit dan bergelantungan di mana-mana. Sekali seseorang kena dipatuk, pasti dalam waktu dua atau tiga menit nkan mati akibat bisanya yang jahat!
Kiat Bo Hosiang nampaknya tidak perduli akan binatang-binatang itu. Bahkan ular-ular itu sendirilah yang menjauh ketakutan karena dengan kesaktiannya yang tinggi tubuh kakek ini mengeluarkan hawa panas yang membuat takut ular-ular dalam hutan, sama sekali tidak mengganggu bocah penggembala yang sampai saat ini masih tertidur nyenyak di atas pundak kirinya!
Selewatnya pertengahan lereng, perjalanan betul betul sulit dan berbahaya. Di mana-mana menghilang batu-batu karang raksasa runcing menjulang langit, licin berlumut lembab. Disela batu-batu karang Ini membentang jurang-jurang terjal yang gelap sedang kabut bertebar menutupi pemandangan!
Akan tetapi hebatnya, seolah-olah dia berlari di jalan yang rata dan seperti sepasang matanya dapat menembus tebalnya kabut, kakek sakti Kiat Bo Hosiang terus saja lari seenaknya. Melompat dari atas batu karang yang satu ke batu karang yang lainnya; melayang di atas jurang-jurang maut hingga akhirnya sampai di puncak Uongsan!
Saat itu di salah satu puncak Liongsan yang dingin, dua orang tua berpakaian putih-putih asyik bermain tioki (catur). Yang pertama berambut putih berbadan pendek. Usianya sekitar 60 tahun dan dikenal dengan nama Toa Sin Hosiang. Yang se-orang lagi kurus tinggi, bermuka hitam juga berusia sekitar 60 tahun. Keduanya bukan lain adalah pembantu-pembantu Ik Bo Hosiaig yang berkepandaian tinggi itu.
Sementara orang menyebut mereka sebagai pembantu Ik Bo Hosiang karena memang sebegitu jauh tokoh berkepandaian luar biasa itu tak pernah mengangkat mereka sebagai murid, sekalipun se gala kepandaian silat yang diperdapat dari Ik Bo Hosiang sendiri. Disamping itu mereka dari sejak dulu memang bertugas melayani dan memenuhi apa apa keperluan Ik Bo Hosiang.
Seperti telah diterangkan sebelumnya Ik Bo Hosiang mempunyai sifat-sifat aneh yang boleh diKatakan seperti kurang sehat pikiran. Keanehan ini dengan sendirinya menular pula pada kedua pembantunya, meskipun tidak segawat Ik Bo Hosiang sendiri.
Demikianlah, selagi asyik main tioki dan ketika Toa Sin Hosiang baru saja hendak membunuh salah satu bidak lawan, tiba-tiba Lo Sam Hosiang menggoyangkan kepalanya dan berkata : "Heh ada orang datang!"
Toa Sin Hosiang juga sudah mendengar. Sesaat keduanya saling memandang heran. Memang sudah sejak lama sekali tak pernah ada orang luar yang naik ke puncak Liongsan. Jika hari itu ada orang yang datang ini merupakan suatu yang luar biasa.
Baru saja Lo Sam Hosiang bicara maka berkelebat satu bayangan putih dan tahu-tahu di depan mereka sudah tegak seorang kakek-kakek berpakaian, janggut, kumis dan rambut serba putih. Di pundaknya kirinya tidur nyenyak seorang bocah lelaki berusia 7 tahun.
Begitu melihat siapa adanya kakek ini, secepat kilat kedua pembantu Ik Bo Hosiang jatuhkan diri dan berlutut hormat.
"Ah sungguh tak dinyana kalau puncak Liongsan hari ini akan kedatangan tetamu yang bukan lain adalah susiok kami sendiri!" (Susiok – paman guru). Yang berkata ini adalah Lo Sam Hosiang.
Sang tetamu yang tentu saja sudah dapat diduga yakni Kiat Bo Hosiang adanya menyeringai.
Apakah saudaraku Ik Bo Hosiang ada?'
"Tentu saja ada. Sudah sejak 20 tahun beliau tak pernah meninggalkan puncak Liongsan ini " menjawab Lo Sam Hosiang.
Sementara itu Toa Sin Hosiang bertanya dengan hormat: "Apakah susiok baik-baik saja selama ini?"
"Tentu... tentu saja."
Eh. susiok. Siapakah bocah yang kau bawa ini?" kembali Toa Sin Hosia-ig bertanya. Lo Sarn Hosiang pun kepingin pula mengetahui.
"Siapa namanya pun aku tidak tahu, aku cuma kenal dia adalah anak gembala!
Selama belasan tahun Kiat Bo Hosiang tak pernah datang dan sekali muncul membawa seorang anak lelaki tentu saja ini mengherankan kedua pembantu Ik Bo Hosiang itu.
"Sekarang lekas kalian beri tahu pada suhengku itu bahwa aku ingin bertemu dengan dia untuk utusan penting!
Sekilas dua pembantu \k Bo Hosiang saling lirik. Lalu memperhatikan bocah di atas bahu susiok mereka dan memperhatikan pula pakaian Kiat Bo Hosiang yang robek-robek serta guratan-guratan panjang pada kulit dadanya.
"Hai kalian berdua tunggu apa lagi? Cepat beri tahu!" Saat itu dua pembantu Ik Bo Hosiang sudah bangkit dan berdiri kembali. "Maaf susiok," Toa Sin memberikan jawaban. Sebelumnya suhu telah berpesan untuk tidak di ganggu. Jelasnya siapapun yang datang beliau sekaii-kali tak boleh diganggu karena saat ini sedang bersemedi."
"Sekalipun yang datang aku, sute-nya?!"
"Sekalipun susiok harap dimaafkan," sahut Toa Sin.
Kiat Bo Hosiang mendungak ke langit lalu tertawa gelak-gelak. Karena memiliki tenaga dalam yang luar biasa, dengan sendirinya suara tawanya dahsyat sekali!
Dua pembantu Ik Bo Hosiang terheran-heran. Keduanya saling pandang. Dan karena mereka memang kurang beres jalan pikirannya maka lantas saja keduanya ikut tertawa gelak-gelak. Puncak Gunung Naga itu seolah-olah bergetar dilanda gelombang suara tertawa tiga manusia sakti ini!
Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang hentikan tawanya. Parasnya berobah kelam membesi. Sepasang matanya membeiiak dan dari mulutnya keluar bentakan garang.
"Kalian berdua kacung-kacung rendah berani melarang aku Sin-jiu Thung-ong untuk menemui suheng-ku sendiri?!"
Serta meria dua pembantu ini hentikan pula tawa mereka. Toa Sin menyahut: "Bukan kami melarang, susiok. Tapi suhu sendiri yang berpesan begitu. Kami pembantu-pembantu yang rendah cuma menuruti perintan."
Persetan dengan segala pesan dan perintah! Aku tidak rnengenal segala aturan yang dibuat oleh suhumu yang berotak miring itu!"
"Ah, susiok keliwat menghina. Suhu sama sekali tidak miring otaknya. Cuma sedikit kurang sehat pikirannya," kata Lo Sam Hosiang.
"Otak miring dan tidak sehat pikiran adalah sama saja, goblok! Dasar gurunya gila, muridnya sinting. Sekarang menyingkirlah kalian. Aku mau lewat."
"Mau lewat ke mana, susiok?" bertanya Toa Sin macam orang tolol.
"Pendek! Jangan bikin aku marah. Lekas menyingkir atau kau bakal menerima gebukan dariku!" Kiat Bo Hosiang sudah tak dapat lag! menahan marahnya.
"Ah, susiok. Kau tentu tahu kami ini bukan anak-anak yang harus digebuk. Kami sudah tua bangka dan menjalankan perintah dengan segala tanggung jawab dan akibatnya."
Kiat Bo Hosiang menyeringai.
"Jadi kalian kacung-kacung geblek berani kurang ajar pada paman guru sendiri ya! Bagus, mari kuberi sedikit pelajaran!"
Habis berkata begitu Kiat Bo Hosiang kebutkan ujung lengan bajunya yang lebar. Satu gelombang angin menggebu dengari dahsyatnya. Toa Sin dan Lo Sam bagusnya sudah berlaku waspada dan buruburu menghindar ke samping. Namun tak urung sambaran angin pukulan itu masih membuat mereka terhuyung-huyung ke belakang.
"Susiok, kau pun nyatanya sinting! Hendak menurunkan tangan jahat terhadap pembantu-pembantu suhengmu. Tapi jangan kira kami takut! Demi tugas, setan kepala seratus pun kami bakal hadapi! Dan kau nyatanya cuma punya satu kepala!" Yang bicara begitu adalah si pendek Toa Sin Hosiang yang memang lebih keblinger dari pada rekannya. Bahkan kemudian dia tertawa-tawa seenaknya.
Kutuk serapah menyembur dari mulut Kiat Bo Hosiang dan langsung saja menerjang ke arah Toa Sin!4MESKIPUN cuma pembantu-pembantu dari Ik Bo Hosiang namun dua orang tua dari Liongsan itu memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi. Jika diukur maka kepandaian mereka rata-rata hanya satu tingkat saja dibawah kepandaian Kiat Bo Hosiang. Kalau saat itu mereka maju berbarengan dengan sendirinya Kiat Bo Hosiang akan terdesak dan kalah. Namun ada beberapa hal yang membuat Kiat Bo lebih unggul dari kedua lawannya.
Pertama sebagai pembantu-pembantu Ik Bo Hosiang kedua kakek itu boleh dikatakan jarang sekali turun gunung hingga tidak banyak pengalaman dalam pertempuran. Sekalipun memiliki kepandaian tinggi namun kurang pengalaman merupakan hal yang ikut menentukan. Kedua, sepasang kakek-kakek dari Liongsan itu dikarenakan otaknya yang miring menganggap bahwa mustahil sute dan suhu mereka sendiri akan mau menurunkan tangan jahat terhadap mereka. Karenanya mereka bertempur seperti main-main saja dan sambil tertawatawa haha-hihi! Ketiga, sampai saat itu Kiat Bo Hosiang masih memanggul tubuh anak gembala di atas pundak kirinya hingga dua kakek dari Liongsan tidak mau menyerang dengan terlalu buas karena khawatir akan mencelakai bocah itu.
Pertempuran dua lawan satu itu berlangsung sampai seratus jurus. Pembantu-pembantu Kiat Bo Hosiang mulai terdesak. Tiba-tiba salah seorang dari mereka keluarkan satu teriakan keras dan serta merta permainan silat dua kakek ini menjadi berobah. Kiat Bo Hosiang menjadi kaget. Sebagai sute dari Ik Bo Hosiang dia tahu betul setiap jurus ilmu silat dari kakak seperguruannya. Namun permainan silat yang dikeluarkan oleh dua lawannya saat itu aneh dan tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Apakah si Ik Bo Itu sudah menciptakan ilmu baru tanpa setahuku, demikian Kiat Bo Hosiang membathin. Dan lebih terkejut lagi begitu merasakan bagaimana permainan silat dua lawannya itu kini menekan setiap gerakan yang dibuatnya!
"Tua bangka-tua bangka Liongsan, jadi kalian hendak pamer dan andalkan ilmu silat kalian yang baru? Bagus! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan kalian!" berseru Kiat Bo Hosiang dengan penasaran. Dari balik pinggang pakaiannya dia segera keluarkan senjatanya yang ampuh yakni tongkat baja yang ujung-ujungnya bercabang dua. Dengan tong-kat di tangan kanan dan bahu kiri masih mendukung bocah penggembala Kiat Bo Hosiang yang bergelar Hln jiu Tlmng-ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti Itu mengamuk hebat. Tubuhnya lenyap terbungkus muai senjatanya dalam tempo singkat dia sudah mendesak lawannya dengan hebat!
Haik Toa Sin maupun Lo Sam Hosiang sama-sama kaget melihat serangan-serangan ganas yang mematikan oleh susiok mereka itu. Permainan silat mereka mulai kacau.
"Susiok, kami ini kau anggap musuhmusuhmukah?!" berseru keras Lo Sam Hosiang.
"Tutup mulutmu manusia muka pantat dandang!" tukas Kiat Bo dan tongkatnya dengan ganas menderu ke arah kakek muka hitam dari gunung Naga itu. Dan krak!
Lo Sam Hosiang menjerit. Dia melompat keluar dari kalangan pertempuran sambil pegangi lengan kiri yang kuntal-kantil kerena tulangnya telah patah!
"Susiok, kau sudah gilakah," teriak Toa Sin namun kakek yang satu ini pun segera pula mendapat bagiannya. Kalau kawannya patah tulang lengan maka dia sendiri remuk tulang kakinya sebelah kanan dan berguling di tanah sambil merintih. Tapi dasar gila, sekali dia masih bisa juga tertawa hahahihi!
"Tua bangka-tua bangka tak tahu untung! Masih bagus tidak kepala kalian yang kuremukkan! Lain kali suhu kalian harus memberi pelajaran sopan santun pada kalian! Bagaimana menghormat se-orang paman guru!"
"Paman guru sableng macammu mana patut dihormati!" teriak Toa Sin lalu menunggingkan pantatnya dan kemudian kentut! Untung saja Kiat Bo Hosiang sudah tidak lagi ada di tempat itu. Kalau tidak kakek ini pastilah akan marah setengah mati dihina begitu rupa!
Dengan beberapa kali lompatan kilat Kiat Bo Hosiang telah sampai ke puncak Liongsan. Anak pengembara yang ada di bahu kirinya masih tertidur nyenyak tanpa sadar apa yang telah terjadi sebelumnya!
Kiat Bo melangkah menuju ke sebuah pondok kayu Dia tak perlu susah-susah masuk ke dalam pondok mencari suhengnya karena Ik Bo Hosiang ditemuinya di halaman samping tengah bersemedi dengan cara yang luar biasa!
Ik Bo Hosiang bersemedi di atas sebuah batu hitam, kaki lurus ke atas sedang kepala di sebelah bawah, pada batu hitam itu. Tubuhnya tak sedikit pun bergerak sedang dua tangannya dirangkapkan dldepan dada. Janggut dan kumis putihnya yang panjang, menjulai menutup wajah dan sepasang matanya.
Diam-diam Kiat Bo menjadi kagum juga melihat nira bersemedi suhengnya ini. Dia yakin betul di antara tokoh tokoh silat terkemuka di Tiongkok saat itu hanya kakak seperguruannyalah yang sanggup melakukan hal itu.
Kalau tadi Kiat Bo ingin buru-buru menemui suhengnya, kini setelah bertemu dia jadi serba salah bagaimana harus membangunkannya. Tiba-tiba anak yang didukungnya menggeliat dan terbangun. membuka matanya bocah ini terheran-heran melihat di mana dia berada. Dan lebih heran lagi ketika menyaksikan Ik Bo Hosiang yang bersemedi kaki ke utas kepala ke bawah.
"Hai. patung atau manusiakah ini?!" si bocah berseru lantas turun dari pundak Kiat Bo Hosiang. "Aku sendiri tidak tahu, budak. Coba kau tarik
keras-keras janggutnya. Jika dia manusia tentu dia akan menjerit kesakitan. Tapi kalau patung pasti diam saja!" Berkata Kiat Bo yang nyatanya telah mendapat akal bagaimana harus membangunkan suhengnya.
Bocah penggembala mendekati Ik Bo Hosiang yang disangkanya patung. Tangan kanannya diulur kan untuk menarik janggut orang tua itu. Tapi mendadak terjadi hal yang mengejutkan si bocah, termasuk pula Kiat Bo Hosiang. Ketika tangan itu hampir hendak menjenggut jenggot, tiba-tiba jang gut panjang putih itu bergerak dan sesaat kemudian tahu-tahu lengan anak itu terlibat erat!
"Hai!" si anak kaget. Dia gerakkan tangan kirinya, namun tangan yang satu ini pun kemudian kena dilibat. Bagaimana pun kerasnya dia berusaha berontak untuk melepaskan kedua tangannya tetapi sia-sia saja!
"Suheng! Kau bangunlah!" Kiat Bo Hosiang berseru. Jika janggut-janggutnya bisa bergerak pasti Ik Bo Hosiang sudah jaga dari samadinya, demikian Kiat Bo berpikir.
Tiba-tiba si anak menjerit karena kedua lengannya terasa sakit dan dilain kejap tahu-tahu tubuhnya telah terpental ke arah Kiat Bo Hosiang. Kakek ini melenggak kaget, untung masih sempat dia menangkap tubuh si bocah, kalau tidak pasti akan jatuh dengan keras di atas sebuah batu besar. Untuk sesaat Kiat Bo Hosiang tertegun bengong. Membuat mental seseorang dengan menggerakkan janggut yang tentunya dialiri tenaga dalam betul-betul merupakan satu hal yang amat luar biasa. Dan itulah yang telah dilakukan oleh suhengnya!
"Kiat Bo! Belasan tahun kau tak muncul, begitu unjuk tampang kau hanya mengganggu ketenteraman puncak Liongsan ini saja!" terdengar suara halus yang bukan lain adalah suara Ik Bo Hosiang. Memandang ke depan Kiat Bo melihat suhengnya itu sudah duduk tenang-tenang di atas batu hitam di atas mana sebelumnya dia bersemedi.-Sepasang mata Ik Bo memandang tajam pada adik seperguruannya. Pandangan ini terasa seolah-olah menembus dada dan jantung Kiat Bo.
"Ah suheng," menyahut Kiat Bo setelah terlebih dahulu menjura. "Bukan maksudku untuk mengganggu ketenteraman di puncak Liongsan ini. Tapi aturan yang dibuat oleh kacung-kacungmulah yang telah memaksaku berlaku keras...."
"Kekerasan itu memang harus ada. Tapi pada waktu-waktu tertentu dan pada orang-orang tertentu. Kekerasan yang dilakukan secara sembarangan adalah satu kejahatan. Lo Sam dan Toa Sin memang kacung-kacung tak berharga. Tapi betapa pun di puncak Liongsan ini mereka adalah tuan rumah yang harus dihormati oleh setiap tamu, siapa pun dia adanya. Di sini, di puncak Liongsan ini tuan rumah yang membuat aturan, bukan orang luar!"
Paras Kiat Bo kelihatan bersemu merah mendengar kata-kata keras suhengnya itu.
"Sekarang katakan apa keperluanmu datang ke mari."
"Budak itu, suheng...."
"Aku tidak tanya budak itu! Aku tanya keperluanmu!" menukas Ik Bo Hosiang tanpa menoleh atau melirik pada penggembala yang tegak di samping sutenya.
"Begini suheng..." lalu Kiat Bo menerangkan peristiwa perkelahiannya dengan Pak-san Kwi-ong (Raja Setan Gunung Utara). "Jelas sekali, jika tidak ada bocah penggembala yang pandai meniup suling ini niscaya bukan saja aku kalah, malah jiwaku akan melayang di tangan Pak-san Kwi-ong. Aku berhutang nyawa pada budak ini dan wajib membalasnya!"
Memang betul apa yang dikatakan oleh Kiat Bo Hosiang. Ketika berkelahi melawan Pak-san Kwi-ong yang mengeluarkan ilmu hoatsut (sihir), Kiat Bo Hosiang hampir-hampir saja menemui ajal jika saat itu di tempat tersebut tidak ada anak penggembala yang memainkan sulingnya. Padahal suara tiupan seruling itu mengganggu pemusatan pikiran dan bathin yang menjadi dasar dari kehebatan ilmu sihir Pak-san Kwi-ong.
"Aku tidak tertarik pada ceritamu." Tidak tertarik padamu ataupun budak tukang angon kerbau itu! Nah sekarang silahkan angkat kaki dari puncak Liongsan ini!"
"Suheng...!"
Tapi Ik Bo Hosiang tidak perdulikan lagi sutenya itu, malah seenaknya dia membuka mulut dan menyanyi:Puncak Liongsan tinggi sekali
Tapi lebih tinggi akal dan budi
Laut Selatan hijau dan dalam sekali
Namun lebih dalam perasaan hati sanubari
Yang tinggi gampang jatuh
Yang dalam sukar diselam
Akal dan budi terkadang tak berguna
Jika perasaan lebih menggelora.Ik Bo Hosiang mengulang sekali lagi lagu itu. Dilain pihak, bocah penggembala yang mendengar merasa nyanyian itu cukup merdu dan terus saja keluarkan sulingnya, meniup benda itu mengiringi nyanyian si kakek. Mengetahui nyanyiannya ada yang mengiringi Ik Bo Hosiang lantas saja mengulang-ulang nyanyian sampai empat kali berturutturutl
Tiba-tiba tokoh aneh dari Liongsan ini hentikan nyanyiannya, mendongak ke langit dan tertawa gelak-gelak. Si bocah yang sedang asyik-asyiknya meniup suling merasakan lututnya goyah oleh suara tertawa itu dan sesaat kemudian dia pun terhuyung jatuh ke tanah. Kiat Bo Hosiang sendiri pun jika tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga dalamnya pasti akan menggeletar sekujur tubuhnya oleh kehebatan suara tertawa suhengnya itu!
"Budak, siapakah namamu dan apa she-mu?!" Ik Bo Hosiang tiba-tiba ajukan pertanyaan.
"kakek nyanyianmu bagus sekali. Kenapa berhenti?!"
"Budak kurang ajar! Ditanyai malah menyuruh orang menyanyi. Apa kau kira kau ini biduan sandiwara keliling?!" Ik Bo Hosiang membentak. Tiba-tiba berkelebat jungkir-balik. Sedetik kemudian kepalanya sudah terletak di atas batu di mana dia tadi bersemedi dan kaki lurus-lurus ke atas! "Hai budak! Kenapa kau menghentikan tiupan sulingmu! Ayo lekas mainkan lagi!"
"Apa kau kira aku ini tukang tiup suling sandiwara keliling?!" si bocah ngambek dan balik menyindir Ik Bo Hosiang. Kiat Bo Sang khawatir kalaukalau suhengnya bakai kumat otak miringnya marah mendengar kata-kata si bocah itu, buru-buru saja membuka mulut.
Suheng, kau tahu aku telah berhutang nyawa padanya! Hutang dalam bentuk apa pun harus dibayar. Kau saksikan sendiri keadaan budak ini. Potongan tubuh dan susunan ruas-ruas tulangnya amat baik. Rasanya sulit mencari bocah seperti dia di delapan penjuru angin Tiongkok. Sebetulnya aku berniat untuk mengambilnya jadi murid. Tapi kau tahu sendiri. Sejak aku mengambil Li Bwe Hun jadi murid tunggalku, aku sudah bersumpah untuk tidak akan mengambil murid lain lagi dalam keadaan atau alasan apapun juga. Memikir sampai saat ini kau sendiri tidak pernah mempunyai murid yarig sebenarnya bisa disebut murid, dan sekaligus untuk membalas hutang nyawaku padanya, maka kuharap kau sudi mengambil bocah ini menjadi muridmu!'
"Enak betul bicaramu. Kiat Bo!" tukas Ik Bo Hosiang. "Anak penggembala yang tidak tahu asalusulnya, tak dikenal bapak moyangnya, tak tahu juntrungannya, eh tahu-tahu kau minta aku mengambilnya jadi murid! Kau sudah gila atau otakmu memang sudah rengat?"
"Suheng, kau bisa lihat sendiri. Anak ini lain dari yang lain...."
"Apanya yang lain? Dia bertangan, berkaki, punya mata dua, hidung satu, mulut satu, telinga dua.... Itu kau bilang lain. Ah sute! Kau rupanya betul-betul sudah gila! Kasihan...!"
"Suheng, aku memohon padamu...!"
"Kau keblinger, Kiat Bo. Bagaimana kalau kemudian hari bocah itu mengecewakan aku?!"
"Kau boleh bunuh aku, suheng!"
"Buset! Dua tiga bulan di muka mungkin kau sudah lebih dulu mampus! Apakah aku harus menggali kuburmu lalu membunuhmu? Gila kau sute!"
Lama-lama berdebat begitu rupa Kiat Bo Hosiang yang memang punya watak lekas jengkel jadi penasaran juga. Dia berkata: "Sudahlah suheng, jika kau tak sudi aku pun tak memaksa!"
"Dan aku pun tidak mengemis untuk jadi murid-mu!" menimpali si bocah.
"Bocah kurang ajar! Aku tidak bicara denganmu!" hardik Ik Bo Hosiang. "Hai, kau masih belum menerangkan nama dan she-mu!"
"Namaku Thian Ong, she Song. Dan sekarang aku akan angkat kaki dari sini!" Anak penggembala itu berpaling pada Kiat Bo Hosiang dan berkata: "Kakek, kau punya tanggung jawab membawaku ke mari. Sekarang kau punya kewajiban membawaku turun dari tempat memuakkan ini!"
"Budak edan! Orang hendak membalas budi malah bersikap konyol!" bentak Kiat Bo Hosiang.
"Aku tak perlu segala balas budi. Kalaupun...."
"Thian Ong anak kurang ajar, kau mendekatlah ke mari," tiba-tiba Ik Bo Hosiang memanggil. Tapi si bocah tak mau datang. Namun satu hawa aneh yang keluar dari tubuh si kakek menyedotnya hingga tubuhnya terseret sampai ke hadapan orang itu. Aku sudah lihat susunan tubuhmu dari luar, tapi belum pada bagian-bagian yang tertutup. Sekarang tanggalkan seluruh pakaianmu. Telanjang!"
Kiat Bo Hosiang diam-diam merasa gembira mendengar kata-kata suhengnya itu. Tapi sebaliknya bocah yang bernama Song Thian Ong berkata marah: "Kakek, kau betul-betul sudah gila, menyuruh orang telanjang! Kau saja telanjang sendiri!"
"Anak kurang ajar! Kualat kau!" teriak Ik Bo Hosiang. Dia mengulurkan kedua tangannya. Bret.... Bret.... Bret! Maka robeklah seluruh pakaian Thian Ong hingga dia kini telanjang bulat. "Hem bagus.... Kau memang boleh!" Dan habis berkata begitu Ik Bo Hosiang mencekal tengkuk Thian Ong, melemparkannya ke udara, menyambutnya dengan kedua kakinya, lalu dengan kaki-kaki itu tubuh Thian Ong dipentalkan kembali ke atas, disambut lagi, dipentalkan lagi demikian seterusnya. Anehnya Thian Ong tidak merasa sakit barang sedikit pun. Tapi rasa gamang membuat dia ngeri. Dan anak ini tak hentihentinya menjerit.
Selagi Ik Bo Hosiang mempermainkan Thian Ong seperti itu seolah-olah anak ini adalah sebuah bola, tiba-tiba datanglah Lo Sam Hosiang dan Toa Sin Hosiang. Masing-masing mereka telah membalut lengan dan kaki yang cidera serta mengganjalnya dengan potongan kayu. Menyaksikan guru mereka "bermain-main" begitu rupa keduanya tertawa gelakgelak.
"Suhu," seru Toa Sin, "apakah kami berdua boleh Ikut main bersamamu?"
Sebagai jawaban Ik Bo Hosiang berseru: "Pendek, kau sambutlah!" Dan tahu-tahu tubuh Thian Ong sudah melesat ke arah Toa Sin Hosiang. Dan kakekkakek ini dengan gembira menyambut tubuh yang terlempar itu dengan kaki kirinya. Tubuh Thian Ong melayang ke arah Lo Sam Hosiang. Dengan gembira kakek yang seorang ini menyambut pula dengan tendangan. Tubuh Thian Ong kembali lagi melayang ko arah Ik Bo Hosiang. Begitulah seterusnya. Tiga kakek-kakek keblinger dari gunung Naga itu telah asyik dengan permainan "bolanya". Tidak perduli lagi akan jerit ketakutan si bocah. Apalagi terhadap Kiat Bo Hosiang.
Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan hal itu cuma bisa geleng-geleng kepala. "Gila dasar manusia manusia gila!" katanya dalam hati. Namun diam-diam dia gembira sekalipun suhengnya tidak mengatakan apakah dia mau mengambil Song Thian Ong menjadi muridnya, namun secara tidak langsung. Dengan cara main bola" seperti itu, Ik Bo Hosiang telah menyatakan bahwa dia berkenan dengan bocah itu.
Dengan senyum puas Kiat Bo Hosiang berkelebat pergi meninggalkan puncak Liongsan.5DUA BELAS TAHUN kemudian.... Pada permulaan abad ke XV daratan Tiongkok sebelah utara jatuh ke dalam cengkeraman bangsa mongol. Penjajahan oleh bangsa manapun juga atas bangsa lain pastilah mendatangkan penderitaan. Dan yang paling sengsara seperti biasanya ialah rakyat jelata.
Di mana-mana kaum penjajah yang berkuasa melakukan pemerasan, perkosaan, penindasan dan seribu satu macam tindakan sewenang-wenang lainnya.
Pemerintah Tiongkok di selatan yang pada masa itu beribu kota di Nanking tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kaum penjajah. Selain selatan memang memiliki balatentara dan persenjataan lemah, roda pemerintahan pun sudah kacau-balau centangperentang. Mulai dari kaisar sampai pada pejabatpejabat yang terendah di desa-desa sibuk memupuk kekayaan, harta dan uang, tanah dan sawah. Dalam pada itu mereka terlena pula dalam bujuk rayu perempuan-perempuan cantik hingga mana pula akan terpikir untuk membebaskan negeri di utara dari tangan penjajah Mongol.
Pedih sakitnya penderitaan yang melanda, lambat laun merupakan cambuk bagi rakyat jelata untuk bersatu dan secara diam-diam menyusun kekuatan.
Kekuatan tersebut dibagi dua. Yang pertama untuk menghantam kaum penjajah di utara dan kedua untuk menyingkirkan pejabat-pejabat pemerintahan yang korup, keji sewenang-wenang dan sebagainya. Pada masa itu bukan rahasia lagi kalau gerakan rakyat yang menderita ini secara diam-diam dibantu oleh orang-orang kangouw sehingga akibat yang ditimbulkannya makin hari makin hebat dan membuat kaum penjajah merasa terancam.
Namun tidak jarang pula rakyat yang berjuang itu menemui nasib malang. Yaitu bilamana mereka dihantam oleh pasukan Mongol berjumlah besar atau diserang dan ditangkap oleh balatentara Kaisar dari selatan. Pemimpin-Pemimpin mereka digantung di tempat terbuka, prajurit-prajurit yang tak lain adalah rakyat jelata biasa dibunuh secara massal!
Gerakan rakyat yang ingin membebaskan negeri mereka dari penindasan bangsa Mongol serta sekaligus mengikis para pejabat Pemerintah yang korup dan memeras, dengan sendirinya menghadapi dua lawan berat. Korban dan kerugian lebih banyak jatuh dikalangan mereka, namun demikian semangat perjuangan mereka tak kunjung padam. Jangankan orang lelaki yang sudah dewasa, bahkan anak-anak belasan tahun dan kaum wanita pun ikut turun ke dalam kancah peperangan tanpa rasa takut sama sekali!
Pada suatu hari di bulan kelima, malapetaka telah pula menimpa serombongan pasukan rakyat yang berjumlah 50 orang yang pada saat itu berada di sebuah kaki bukit. Tanpa setahu pemimpin pasu kan, salah seorang diantara anggotanya adalah mata-mata. Pemerintah selatan yang berhasil menyusup. Selagi pasukan itu tengah beristirahat di' kaki bukit, diam-diam mata-mata tadi meninggalkan tempat tersebut, langsung menuju tempat rahasia di mana telah menunggu satu kelompok pasukan Pemerintah yang terdiri dari lebih seratus orang
Dalam waktu singkat pasukan rakyat yang tengah istirahat itu telah terkurung. Dan ketika mereka diserbu dengan sendirinya mereka tidak berdaya. Sedapat-dapatnya mereka mempertahankan diri dan berjuang mati-matian. Namun jumlah lawan dua kali lipat disamping itu serangan datangnya mendadak sekali.
Dalam waktu sebentar saja dua puluh orang anggota pasukan rakyat gugur. Komandan pasukan seorang lelaki separuh baya bernama Pouw Keng In berteriak kepada anak buahnya untuk lari menyelamatkan diri dan membiarkan dia sendiri menghadapi pasukan Pemerintah. Tekadnya biar dia mati asal sisa-sisa anak buahnya masih bisa diselamatkan. Akan tetapi mana ada diantara mereka yang mau mengikuti perintah Pouw Keng In. Malah pasukan rakyat itu bertempur makin hebat hingga 10 orang lagi diantara mereka menjadi korban.
"Bunuh semua anjing-anjing pemberontak ini. Tangkap komandannya hidup-hidup!" teriak komandan pasukan Pemerintah. Dia menyeringai puas melihat bagaimana musuh porak-poranda dan berguguran satu demi satu dalam waktu yang cepat. Dan pandangan matanya rakyat yang berjuang itu tak lebih dari pada anjing, yang dapat dibunuh secara sewenang-wenang,
Pada saat yang gawat bagi pasukan rakyat itu. dimana Pauw Keng In sendiri sudah luka parah dan mandi darah, tiba-tiba berkelebatah satu bayangan hijau disertai gulungan sinar coklat. Terdengar pekik susul-menyusui. Dalam waktu amat cepat enam anggota pasukan Pemerintah telah menjadi korban, ada yang pecah kepalanya, remuk dada. bobol perut dan sebagainya.
Tentu saja pasukan Pemerintah terkejut sekali terutama Komandannya. PasuKan rakyat pun tak kurang kagetnya. Namun karena menduga ada orang kangouw yang telah turun tangan membantu mereka meskipun mereka beium melihat jelas siapa adanya orang itu karena saking cepatnya gerakannya maka kembali mereka jadi bersemangat dan menempur iawan berjumlah besar itu dengan hebatnya.
"Iblis dari mana yang berani mencari mati di sini?!" berteriak Komandan prajurit Pemerintan. Namanya Cu Lay Seng. Berbadan tinggi tegap bermata sedikit juling dan punya tampang garang, lengkap dengan kumis melintang serta cambang bawuk.
Bayangan hijau yang mengamuk tidak menyahuti malah berkelebat makin cepat. Delapan orang lagi pasukan Pemerintah berjungkalan mati! Kawan-Kawannya yang lain jadi gentar dan tak berani
didekati bayangan hijau itu. Sebaliknya kelengahan mereka itu merupakan sasaran baik bagi prajuritprajurit rakyat hingga banyak diantara mereka berhasil ditewaskan
"Setan alas." maki Cu La i Seng marah sekali. Saat itu dia masih duduk di atas punggung kudanya. Dengan tangan kanan dirampasnya pedang anak buahnya yang terdekat. Perlu diketahui Cu Lay Seng ini seorang yang amat lihay dalam ilmu menyambitkan berbagai macam senjata. Sekali tangannya mencari sasaran pastilah tak akan melesat! Begitu tangan kanannya memegang pedang segera senjata ini dilemparkan dan melesat deras ke arah bayangan hijau yang tengah memporak-porandakan pasukan Pemerintah.
Cu Lay Seng sudah dapat membayangkan bagaimana tubuh bayangan hijau itu akan tertembus oleh pedang yang dilemparkannya. Namun alangkah kagetnya Komandan pasukan ini sewaktu menyaksikan senjata yang dilemparkannya itu malah ditangkap oleh lawan dengan tangan kirinya. Dan dengan memegang senjata ini di tangan kirinya si bayangan hijau mempergunakannya untuk membabat musuh kian kemari hingga dalam waktu singkat makin banyaklah anggota pasukan Pemerintah yang tewas.
Cu Lay Seng maklum kini bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang berkepandaian amat tinggi dan memiliki gingkang luar biasa hingga dia sendiri sampai saat itu tidak dapat jelas melihat siapa adanya bayangan hijau itu.
"Mundur semua", teriak Cu Lay Seng.
Prajurit-Prajurit Pemerintah yang memang sudah sejak tadi-tadi merasa ngeri, tanpa disuruh dua kali terus saja melompat mundur. Di pihak pasukan rakyat Pouw Keng ln memberi isyarat agar anak buahnya tidak terus memburu musuh. Dia sendiri yang saat itu terluka parah, amat kagum melihat kehebatan bayangan hijau. Dengan dipapah oleh seorang anak buahnya dia menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya.
Saat itu Cu La y Seng telah melompat turun dari kudanya dengan satu gerakan enteng tahu-tahu sudah berada lima langkah di hadapan bayangan hijau. Dan ketika bayangan hijau ini menghentikan gerakannya yang luar biasa cepatnya itu, Cu Lay Seng dan semua orang yang ada di situ jadi melotot dan ternganga. Mereka semua melengak kaget! Be-tapa tidak! Si bayangan hijau yang kini tegak tak bergerak di tengah kalangan pertempuran itu nyatanya adalah seorang gadis berparas elok jelita. Rambutnya hitam panjang dan digelung di atas kepala dengan sepasang cambang halus meliuk dikedua pipinya! Menurut perkiraan paling banyak gadis ini baru berusia sekitar 17 tahun. Secantik dan semuda itu sudah memiliki kepandaian yang hebat, siapa orang yang menyaksikan tak akan melengak kaget?
"Nona, kau telah menurunkan tangan ganas terhadap prajurit-prajurit Kaisar. Terpaksa aku harus menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!" berkata Cu Lay Seng dengan nada keren dan keras.
"Aku?! Kau mau menangkap aku...?" si gadis menjawab lalu tertawa merdu sekali.
"Kuharap kau tidak mengadakan perlawanan dan menyerah dengan suka rela," berkata lagi Cu Lay Seng.
"Begundal penjilat pantat kaisar!" tiba-tiba gadis hijau membentak marah. Wajahnya merah dan justru dalam keadaan marah ini dia kelihatan tambah cantik. Jika kau bilang aku menurunkan tangan jahat terhadap prajurit-prajurit Kaisar, lantas kau yang telah membunuhi rakyat jelata pantas disebut apakah?! Dosamu besar sekali Komandan! Sebaiknya kaulah yang lekas menyerah dan cepat berlutut minta ampun di hadapan Thian. Karena kalau kau terlalu banyak mulut, aku tak segan-segan mengirimmu ke akhirat!"
Cu Lay Seng tertawa sinis. Dia telah menyaksikan kehebatan gadis itu, tapi jangan kira dia merasa takut. Selain memiliki ilmu tinggi dia sudah berpengalaman luas. Kalau baru gadis binal begini saja kenapa musti jerih? Demikian dia menganggap enteng.
"Jika kau tak mau menyerah secara baik-baik, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan kasar," Cu Lay Seng mengeluarkan ancaman yang disambut oleh sang nona dengan tertawa mengejek.
"Majulah! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan segala manusia pepesan macam kau!"
Dimaki "pepesan kosong" begitu rupa di hadapan sekian banyak orang dan anak buahnya sendiri betul-betul merupakan penghinaan luar biasa bagi Cu Lay Seng. Dengan didahului bentakan dahsyat. Komandan pasukan ini meloncat sebat ke arah nona berbaju hijau dan saat itu juga berkiblatlah sinar putih menyilaukan. Inilah sinai senjata di tangan Cu Lay Seng yaitu sebuah ruyung perak.
"Nona baju hijau!" Pouw Keng In Komandan pasukan rakyat berseru. Kau hati-hatilah dia lihay sekali!"
Memang Pouw Keng In mengetahui betul kalau Cu Lay Seng berkepandaian tinggi. Dibandingkan dengan dirinya masih ketinggalan jauh. Meskipun tadi dia sudah menyaksikan kehebatan si nona namun tetap saja dia khawatir. Karena kalau sampai Cu Lay Seng menang bukan saja dia dan seluruh anggota pasukannya akan dibunuh, tetapi nasib si nona pun akan jauh lebih buruk. Pouw Keng In cukup mengenal kebejatan para anggota pasukan Kaisar pada masa itu, apalagi Komandan-komandan mereka.
Tapi nona baju hijau justru malah tertawa mendengar peringatan itu. Dia menjura pada Pouw Keng in dan berkata: "Terima kasih atas peringatanmu. Kau lihat sajalah bagaimana aku menghajar manusia kecoak yang tidak berguna ini."
Sambil menjura tadi dengan tak acuh nona itu gerakkan tongkat kayu di tangan kanannya ke atas Cu Lay Seng yang saat itu tengah melancarkan serangan hebat menjadi amat terkejut ketika tiba-tiba dirasakannya ada sambaran angin dingin menderu ke arah lengannya. Komandan yang berpengalaman ini segera maklum kalau lawannya memiliki tenaga dalam yang jauh lebih lihay dari dia Karenanya secepat kilat Cu Lay Seng robah gerakannya, batalkan serangan pertama dan menyusul dengan serangan ruyung ke arah kaki sang nona.
Tapi lawan ternyata sudah mengetahui lebih dulu gerakannya. Karena begitu ruyung perak menyamber ke bawah si nona segera melintangkan tongkat kayunya ke arah yang sama
Selain tak menyangka kalau lawan akan menolong gerakannya seperti itu. Cu Lay Seng pun kelewat yakin bahwa ruyung peraknya lebih ampuh. Karenanya dia tidak berusaha menghindarkan bentrokan senjatanya dengan tongkat lawan yang hanya terbuat dari kayu coklat.
Tapi apa yang terjadi kemudian membuat Cu Lay Seng berseru tegang dengan muka pucat. Pada saat bentrokan senjata terjadi ruyung perak di tangan Komandan itu patah dua dan mencelat mental! Sedang tongkat kayu yang dianggap remeh oleh Cu Lay Seng ternyata tidak cacat barang sedikit pun.
Dalam keadaan sang Komandan masih kaget begitu rupa nona baju hijau yang sampai saat itu di tangan kirinya masih memegang pedang yang tadi dilemparkan oleh Cu Lay Seng sudah memburu ke depan kirimkan satu tebasan kilat. Dan cras ! Cu Lay Seng menjerit keras. Darah mancur dari tangan kanannya yang kini sudah terbabat putus!
"Sekarang lekaslah kau menghadap Tuhan untuk mempertanggung jawabkan dosa-dosamu." berseru si nona seraya tusukkan pedang di tangan kirinya tepat ke jantung si Komandan.
Hanya satu senti saja lagi ujung pedang akan menembus dada Cu Lay Seng tiba-tiba terdengar bentakan marah:
"Bwe Hun! Lagi-lagi kau! Lagi -lagi kau!"
Satu bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan kiri sang dara terdorong ke samping selamatlah Cu Lay Seng dari kematian!6NONA BERBAJU HIJAU palingkan muka dan berubahlah parasnya. Lalu gadis ini cepat jatuhkan diri, berlutut pada seorang kakek-kakek berpakaian putih yang tegak dihadapannya.
"Suhu...!"
"Bwe Hun. Berapa kali aku sudah bilang jangan melakukan pengacauan! Jangan berani menentang alat-alat kerajaan!" si kakek berkata dengan nada keras.
"Suhu, murid sama sekali tidak mengacau, tidak menentang siapapun. Murid hanya ingin mengikis kejahatan, kekejaman dan ketidak adilan dari muka bumi ini!"
"Dengan jalan membunuh seenakmu?!"
"Orang-orang jahat dan se-wenang-wenang macam mereka layak dibunuh. Dan perjuangan rakyat untuk membebaskan tanah air dari kaum penjajah dan penindasan bangsa sendiri wajib dibantu!"
"Bwe Hun! Kau masih hijau dan tidak tahu banyak artinya perjuangan. Sekarang lekas angkat kaki dari sini. Lain kali jika aku memergoki kau melakukan perbuatan begini, aku akan jatuhkan hukuman berat padamu! Kau dengar?!"
Si nona yang bernama Li Bwe Hun gelengkan kepalanya dan sikapnya gagah ketika menjawab: "Suhu hukuman berat bagiku bukan apa-apa. Tapi yang aneh adalah perbuatan Suhu sendiri. Kau menetap si utara, ditengah-tengah bangsa Mongol dalam kemewahan luar biasa. Tapi tanpa menyadari bahwa Suhu sebenarnya telah diperalat oleh kaum penjajah untuk menindas bangsa sendiri! Sebagai murid aku...."
Belum sempat Li Bwe Hun meneruskan katakatanya itu satu tamparan telah mendarat di pipinya, membuat gadis itu terhuyung ke belakang satu langkah. Keseluruhan wajahnya menjadi merah mengetam. Bukan karena sakit tapi karena tak percaya kalau suhunya sendiri-yang telah mendidik dan merawati selama belasan tahun -tega-menamparnya seperti itu dihadapan sekian banyak mata! Betul suhunya telah berubah sejak masuk ke dalam bujuk rayu bangsa Mongol!
"Sekali lagi kau berani bicara lancang seperti itu kubunuh kau Bwe Hun!"
"Suhu, aku tidak takut mati di tanganmu! Aku lebih rela mati dari pada menjadi murid Kiat Bo Hosiang yang kenyataannya adalah seorang pengkhianat bangsa dan negara!"
Cu Lay Seng, Pouw Keng In dan semua orang yang ada di situ sama-sama kaget mendengar siapa adanya nama kakek di hadapan mereka saat itu. Ternyata Kiat Bo Hosiang, tokoh silat utama yang boleh dikatakan tak ada tandingnya untuk masa itu diseluruh penjuru Tiongkok!
Baik Komandan pasukan Kaisar maupun Komandan pasukan rakyat masing-masing merasa gelisah dan berdebar. Karena kini di hadapan mereka berdiri tokoh silat berkepandaian tinggi yang sejak beberapa waktu belakangan ini telah membantu kaum penjajah Mongol. Jadi sekaligus merupakan musuh besar pasukan rakyat dan juga Pemerintah!
Sepasang bola mata Kiat Bo Hosiang berkilatkilat dan laksana dikobari api mendengar kata-kata muridnya itu. Dia menggerung dahsyat dan berteriak: "Li Bwe Huni Mulai hari ini aku bukan gurumu lagi! Kau murid kualat! Murtad! Kau harus serahkan seluruh ilmu yang kau dapat dariku!"
Habis berteriak demikian Kiat Bo Hosiang lantas kirimkan satu serangan berupa totokan ke arah jalan darah kian le hiat di dada dan jalan darah gi hay hiat di punggung muridnya. Dua totokan ini bukan merupakan totokan maut akan tetapi amat berbahaya. Jika totokan-totokan itu sampai menemui sasarannya, pembuluh-pembuluh darah di tubuh Li Bwe Hun akan menjadi rusak. Dan yang paling hebat akibatnya ialah bahwa dia akan kehilangan seluruh ilmu kepandaiannya bahkan akan menderita gagu seumur hidup!
Bwe Hun kaget sekali melihat bagaimana suhunya melancarkan totokan yang jahat itu. Kini nyata kalau gurunya memang sudah gelap mata dan tidak tedeng aling-aling untuk menurunkan tangan jahat. Bagusnya dia berlaku waspada hingga cepat menghindar selamatkan diri.
Melihat serangan dapat dikelit, Kiat Bo Hosiang jadi penasaran. Kembali dia menyerbu dengan serangan-serangan kilat secara berantai. Dan setiap serangan senantiasa diserta totokan-totokan jahat tadi. Sampai belasan jurus dimuka kakek-kakek sakti ini walaupun membuat sibuk muridnya namun masih belum sanggup merobohkan, ini membuat kemarahannya semakin meluap!
"Perempuan sialan! Menyesal aku mengambilmu jadi murid! Menyesal aku mewarisi segala macam ilmu kepandaian padamu!" teriak Kiat Bo Hosiang berulang kali.
"Aku malah seribu kali lebih menyesal dan malu karena memiliki suhu jahat dan pengkhianat macammu! Dan jangan lupa, aku tak pernah meminta untuk dijadikan murid! Kau yang menculik aku dari tangan orang tuaku!"
"Murtad! Laknat! Kubunuh kau sekalian biar puas hatiku!" Maka Kiat Bo Hosiang lantas mempergencar serangannya. Tubuhnya hanya tinggal bayangan putih saja lagi, mengurung Bwe Hun dari segala penjuru. Untuk menghadapi kehebatan suhunya terpaksa gadis ini kerahkan pula seluruh kepandaiannya. Karena masing-masing pihak mengetahui betul jurus-jurus silat yang dimainkan, termasuk tipu-tipu dan kelemahan-kelemahannya maka dengan sendirinya pertempuran itu penuh ketegangan dan seru sekali. Dalam hal Lweekang memang Bwe Hun masih berada di bawah suhunya. Namun dalam memainkan ilmu silat tangan kosong dan kegesitan dia tidak kalah! Sampai seratus jurus dimuka Kiat Bo Hosiang masih belum bisa berbuat apa-apa!
Bagaimanakah asal mulanya sampai Kiat Bo Hosiang bentrokan dan hendak membunuh murid nya sendiri! Dan apakah betul tokoh silat golongan putih itu menjadi kaki tangan penjajah Mongol?
Seperti sudah sama dimaklumi jarang sekali manusia yang betul-betul dapat membebaskan diri dari daya tarik keindahan hidup di dunia yang seribu satu macam ragamnya itu. Salah seorang diantaranya adalah Kiat Bo Hosiang. Selagi dia masih memberi pelajaran silat pada Li Bwe Hun. Kiat Bo yang memang mempunyai dasar watak suka akan hidup mewah di dunia dan disamping itu lemah iman dalam menghadapi perempuan cantik, telah terjebak dalam bujuk rayu orang-orang Mongol.
Kepadanya diberikan sebuah gedung besar bak istana layaknya di Undur Khan. Harta benda dan uang berlimpah ruah. Disamping itu tak lupa pula perempuan-perempuan cantik yang dia tinggal pilih saja berganti-ganti setiap hari. Semua ini membuat Kiat Bo Hosiang lupa segala-galanya. Dan diam-diam orang Mongol mulai memperalatnya. Memang banyak gunanya tokoh lihay ini oleh kaum penjajah. Pertama, jika Kiat Bo berada dalam genggaman mereka berarti tak akan ada bahaya dari pihak Pemerintah Tiongkok ataupun dari pergerakan rakyat karena memang masa itu Kiat Bo seorang tokoh sakti yang ditakuti oleh pihak Mongol. Kedua Kiat Bo bisa dipergunakan untuk menghadapi orang-orang Pemerintah dan rakyat. Dan kenyataannya memang Kiat Bo Hosiang telah berhasil mematahkan perlawanan-perlawanan yang dibangkitkan oleh bangsanya sendiri.
Disatu pihak Kiat Bo mendapat imbal kehidupan yang mewah penuh kesenangan namun dilain pihak dia menjadi momok kebencian rakyat dan juga Pemerintah Tiongkok. Salah satu dari orang yang membencinya ialah muridnya sendiri Li Bwe Hun yang telah digemblengnya selama lebih dari sepuluh tahun.
Gadis yang baru meningkat usia 17 ini begitu memulai pengelanaannya di dunia kangouw telah dihadapkan dengan kenyataan pahit yaitu gurunya ternyata adalah seorang pengkhianat yang menjada kaki tangan penjajah Mongol dan diperalat untuk menghancurkan rakyat serta Pemerintahnya sendiri! Sedangkan dia sendiri yang walaupun masih muda tapi dapat membedakan mana yang betul dan mana yang salah, telah memilih untuk berpihak perjuangan rakyat tertindas. Karenanya dalam petualangannya, gadis ini berulang kali membantu pasukan rakaat dan disamping itu setiap dia mendengar ada pejabatpejabat Pemerintah di daerah-daerah yang berlaku keji serta semena-mena, pastilah dia turun tangan untuk menghukum pejabat itu. Sekali dua diberi peringatan, tapi bila masih tidak mau insyaf, Bwe Hun tak segansegan untuk menebas batang lehernya.
Dalam melakukan hai yang dianggapnya sebagai tugas kewajiban itu tentu saja Bwe Hun mendapat tantangan dan menghadapi lawan-lawan berat. Dan salah satu diantaranya adalah gurunya sendiri yakni Kiat Bo Hosiang. Sebelumnya Kiat Bo Hosiang telah memberi peringatan keras pada muridnya itu untuk tidak ikut campur dalam kekalutan yang berkecamuk akhir-akhir ini. Namun Bwe Hun tak mau perduli karena dia yakin apa yang dilakukannya adalah benar. Dia sadar ilmu kepandaian yang dimilikinya bukanlah untuk membuat dia menjadi beo atau berlepas tangan ataupun melakukan perbuatanperbuatan yang salah, tapi justru guna menolong orang-orang yang tertindas, untuk kebaikan dan membela keadilan serta kebenaran. Dan nyatanya hari ini kembali dia dipergoki oleh subangnya ketika membela pasukan rakyat yang hendak dimusnahkan oleh pasukan Pemerintah Tiongkok dibawah Komandannya yang bernama Cu Lay Seng!
Sekali ini Kiat Bo Hosiang sudah jauh tersesat hingga dia mempunyai tekad keji untuk mencelakakan muridnya sendiri, membuat Bwe Hun menjadi cacat seumur hidupnya. Akan tetapi karena sampai begitu jauh dia masih belum sanggup menyerangkan dua totokan ganas itu ke tubuh muridnya yang dianggapnya murtad laknat, disamping itu ucapanucapan Bwe Hun betul-betul membuat dia gelap mata, maka dalam sesatnya Kiat Bo memutuskan untuk membunuh saja gadis itu!
Li Bwe Hun tersirap darahnya ketika melihat tiba-tiba suhunya mengeluarkan senjatanya yang hebat yakni tongkat baja yang kedua ujungnya bercagak.
"Suhu...! Orang-orang Mongol betul-betul telah membuat kau jadi buta mata dan hati serta pikiran! Insyaflah Suhu!" berseru Bwe Hun.
Tapi seruan itu justru membuat Kiat Bo Hosiang jadi semakin naik pitam. Tongkat bajanya berkiblat. Sinar putih menderu-deru menyilaukan. Bwe Hun terpaksa keluarkan tongkat kayu coklatnya yang tadi telah diselipkannya di pinggang.
Namun dalam ilmu permainan tongkat, Bwe Hun yang di mata Cu Lay Seng serta Pouw Keng In sudah amat luar biasa, dihadapan Kiat Bo Hosiang dia hanya sanggup bertahan sampai 5 jurus. Selewatnya 5 jurus, setelah tongkatnya dibabat patah oleh suhunya, dia segera terdesak hebat. Kegesitannya tiada berarti untuk menyelamatkan diri dari dua ujung tongkat yang terus-menerus menyambar. Beberapa bagian pakaiannya telah robek disambar senjata sang suhu dan agaknya dalam dua jurus dimuka gadis ini akan menemui kematian secara mengenaskan. Menyaksikan ini semua orang jadi gelisah. Lebih~lebih ketika satu-satu sodokan ujung tongkat bersarang di dada Bwe Hun, membuat gadis ini terpekik dan roboh terguling di tanah. Darah kental mengalir disela bibirnya.
"Sekarang kau mampuslah, murid celaka!" teriak Kiat Bo Hosiang seraya melompat dan tusukkan ujung tongkatnya ke leher Bwe Hun.
"Tua bangka keji!" tiba-tiba terdengar bentakan. "Kau yang lebih dulu layak mampus!" Dua orang berkelebat ke depan. Ternyata adalah Cu Lay Seng dan Pouw Keng In!"7BAGAIMANA pula sampai kedua Komandan pasukan yang tadinya saling bermusuhan dan bertempur itu kini bersatu menyerbu Kiat Bo Hosiang? Ada beberapa hal yang membuat mereka tiba-tiba saja turun tangan dalam keadaan yang kritis itu tanpa memperduiikan keadaan dan tingkat kepandaian mereka sendiri. Pertama bagaimana pun juga Li Bwe Hun merupakan nona penolong bagi Pouw Keng In sewaktu tadi dia luka parah menghadapi pasukan Pemerintah di bawah pimpinan Cu Lay Seng. Kedua, baik Cu Lay Seng maupun Pouw Keng In tahu, yaitu jika Bwe Hun sampai kalah, maka Kiat Bo Hosiang pasti akan membasmi mereka pula. Karena itu sebelum si nona celaka lebih baik mereka lekas-lekas turun tangan menolong. Ketiga Cu Lay Seng seolah-olah sadar bahwa apa yang terjadi di negerinya selama ini memang membawa penderitaan bagi rakyat jelata. Dan dia merasa berdosa telah melakukan pembasmian ganas terhadap rakyat yang selama ini berjuang.
Akan tetapi, meski dibantu oleh dua orang Komandan pasukan yang gagah berani Itu, keadaan Bwe Hun tidak lebih baik Malah setelah membantu dua jurus, Cu Lay Seng dan Pouw Keng In mulai terdesak. Melihat ini Cu Lay Seng segera berteriak, memerintah pada anak buahnya untuk mengeroyok. Demikian pula Pouw Keng In. Kini Kiat Bo Hosiang dikurung oleh lebih dari tujuh orang dengan Bwe Hun, Lay Seng dan Keng ln sebagai pelopornya. Namun keadaan bukannya lebih menguntungkan Bwe Hun dan kawan-kawan, malah jalannya pertempuran jadi sembrawutan
Tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang mulai minta korban. Jerit sakit dan erang kematian terdengar setiap tongkatnya berkiblat. Kemudian Cu Lay Seng menenun ajalnya pula dengan kepala pecah. Satu jurus kemudian menyusul Pouw Keng In. Sesudah kedua orang ini roboh anggota-anggota pasukan yang mengeroyok menjadi kecut. Kebanyakan diantara mereka segera melarikan diri hingga pada akhirnya Li Bwe Hun yang hanya mengandalkan tangan kosong, tinggal sendirian menghadapi suhunya. Dan boleh dikatakan ajalnya di depan mata kini!
Disaat tongkat baja Kiat Bo Hosiang menderuderu untuk menamatkan riwayat muridnya sendiri tiba-tiba terdengarlah tiupan seruling yang keras tapi merdu Li Bwe Hun yang tahu ajalnya sudah di depan matanya sama sekali tidak perduli dengan suara itu, lain halnya dengan Kiat Bo Hosiang, Serta merta kakek ini melompat dari kalangan pertempuran dan berpaling ke arah datangnya suara suling itu
Dan kelihatanlah satu pemandangan aneh tapi juga luar biasa. Seorang pemuda berpakaian gombrang mengaitkan kaki kirinya pada cabang sebuah pohon yang tinggi hingga dia tergantung-gantung dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Sambil ber gantung dia meniup seruling dan ayun-ayunkan tubuhnya mengikuti irama seruling itu. Lagu yang dimainkannya adalah lagu ketika 12 tahun yang lalu Kiat Bo Hosiang hampir menerima kematian waktu bertempur melawan Pak-san Kwi-ong! Meskipun kini telah berlalu demikian lama namun Kiai Bo Hosiang tak bisa pangling. Pasti inilah bocah penggembala yang tempo hari telah menolongnya dan yang telah dibawanya ke puncak Liongsan untuk diserahkan pada suhengnya. Ternyata kini dia telah dewasa. Tapi tingkahnya yang muncul secara aneh itu diamdiam membuat Kiat Bo Hosiang merasa kurang enak. Ah, pastilah dia telah pula mewariskan sifat gila suhengku! Demikian Kiat Bo Hosiang membathin lalu dia berseru :
"Thian Ong Kau! Ayo lekas turun!'
Pemuda berpakaian gornbrong yang berayunayun di cabang pohon sambil meniup suling itu memang adalah Song Thian Ong, bocah penggembala yang 12 tahun yang lalu dibawa oleh Kiat Bo kepada suhengnya di puncak Liongsan! Selama bertahun-tahun menerima pelajaran ilmu silat dari seorang sinting seperti Ik Bo Hosiang dan berada diantara pembantu-pembantunya yang berotak miring pula yakni Toa Si Hosiang dan Lo Sam Hosiang, maka selain telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa, ternyata pemuda itu juga mewarisi sifat-sifat keblinger suhu serta dua pembantu suhunya itu!
"Hai Thlan Ong. Turunlah! Apa kau tak kenal aku lagi? Aku Kiat Bo Hosiang yang dulu membawamu ke puncak Liongsan. Kau boleh panggil aku susiok!'
Tapi anehnya Thian Ong bukannya turun malah terus saja mainkan serulingnya. Seolah-olah dia tidak mendengar suruan susioknya itu. Sementara Itu Li Bwe Hun yang begitu mendengar bahwa pemuda aneh di atas pohon yang tentunya berkepandaian tinggi adalah murid keponakan dari Kiat Bo Hosiang, menyadari betapa makin sulit kedudukannya. Barusan dia hampir menemui kematian menghadapi Kiat Bo Hosiang seorang diri. Kini ditambah munculnya murid keponakan suhunya, pastilah tak ada harapan baginya untuk selamatkan diri. Karenanya selagi kakek itu lengah berseru seru memanggil Thian Ong. tanpa tunggu lebih lama lagi Li Bwe Hun segera berkelebat kabur. Tapi dari atas pohon tiba-tiba terdengar seruan:
"Nona baju hijau kau mau ke mana? Kenapa buruburu? Aku belurn puas melihat kecantikan wajahmu!' hampir tak kelihatan Thian Ong jentikkan jari telunjuk tangan kirinya secara acuh tak acuh. Inilah satu ilmu menotok jarak jauh yang amat lihay dan jarang terlihat dalam dunia persilatan di Tiongkok selama 40 tahun belakangan ini! Dan di bawah sana tahu-tahu Li Bwe Hun merasakan kedua kakinya Kaku tak sanggup untuk dibawa lari. Sekujur tubuhnya menjadi kaku tak bisa digerakkan barang sedikit pun. Malah bersuara pun dia tak sanggup!
Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan ha! itu diamdiam merasa terkejut. Dia sudah mengetahui kelihay an suhengnya. Tetapi adalah hampir tak dapat dipercaya kaiau murid suhengnya sehebat ini; karena dia sendiri pun telah meyakini ilmu menotok jarak jauh itu selama 10 tahun dan tak kunjung berhasil mencapai kesempurnaannya.
"Thian Ong!" Kenapa kau masih belum mau memberi hormat padaku?!"
Sebagai jawaban tiba-tiba terdengarlah nyanyian dari atas pohon :
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian Tito
Ficción GeneralWiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...