MATAHARI yang tadi bersinar amat terik kinin sinarnya itu pupus di telan awan hitam yang datang berarak dari arah timur. Sesaat kemudian langitpun mendung hitam. Hujan rintik-rintik mulai turun disertai sambaran kilat dan gelegar guntur. Sekali lagi kilat menyabung. Sekali lagi pula guntur menggelegar membuat seantero bumi bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini berganti dengan hujan lebat. Demikian lebatnya hingga tak beda seperti dicurahkan saja layaknya dari atas langit. Sekejap saja segala apa yang ada di bumi menjadi basah. Laut menggelombang, sungai menderas arusnya, sawah-sawah tergenang air. Selokan-selokan kecil banjir.
Di antara semua itu bertiup angin dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang sungsum. Di kala setiap orang berada di tempat kediamarn masing-masing, di kala semua orang berusaha mencari tempat berteduh guna menghindari hujar; lebat itu, maka di samping sebuah bukit batu kelihatanlah dua sosok bayangan kuning berkelebat lari dengan amat cepatnya. Seolah-olah kedua orang itu tidak memperdulikan lebatnya hujan, tidak mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin. Juga sama sekali tidak mau ambil perhatian terhadap batu-batu licin yang mereka lompati dalam lari mereka yang laksana terbang cepatnya.
Dan adalah lebih mengherankan lagi karena kedua orang berpakaian kuning itu nyatanya dua orang gadis cantuk jelita. Dari paras mereka yang hampir bersamaan itu jelas keduanya bersaudara atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka berhenti di satu bagian bukit yang terjal. Pakaian mereka yang bagus dan panjang menjela sudah basah kuyup oleh siraman air hujan. Demikian pula rambut hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-masing. Pakaian yang basah itu melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas kelihatan membayang keluar potongan badan mereka yang bagus ramping. Keduanya memandang berkeliling. Mata mereka yang tajam berusaha menembus tabir hujan dan kabut yang tebal.
"Heran," kata salah seorang dari mereka. "Kemana kaburnya pemuda itu...."
"Kalau dia sampai bertemu dengan lain orang, dan menuturkan apa yang diketahuinya tentang diri kita sebelum kita berhasil merungkusnya, celakalah kita, kakak!"
Gadis baju kuning yang dipanggilkan kakak menggigit bibirnya. Di wajahnya yang bulat telur itu jelas terlihat rasa cemas yang amat sangat.
"Kurasa dia belum lari jauh, adikku. Mari!"
Maka kedua gadis itupun berkelebat dan di lain kejap sudah lenyap dari tempat itu. Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat di dalam lebatnya hujan ke arah kaki bukit sebelah timur. Meski tiupan angin keras sekali memampasi lari mereka, namun itu tidak mengurangi kecepatan lari masing-masing! Di kaki bukit keduanya melompati sebuah anak sungai. Kilat tibatiba menyambar lagi. Gadis baju kuning yang berlari di sebelah belakang berseru, "Kakak! Tunggu!"
"Hai ada apakah, Dewi?" tanya gadis yang lari di depan seraya menghentikan larinya dan berbalik!
"Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Siapa tahu ..."
"Mari kita selidiki,"ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani sambil menarik lengan adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam waktu yang singkat kedua gadis itu telah sampai di pondok yang tadi terlihat di kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Di ambang pintu pondok yang tertutup berdiri seorang tua berkerudung kain sarung yang telah kumal dan apak baunya.
Si orang tua kelihatan terkejut sekali karena tahu-tahu di hadapannya berdiri dua orang gadis berparas jelita.
"Ka . . . kalian . . . siapa?" tanya orang tua ini gugup. Dia kawatir kalau dua gadis itu bukan manusia sungguhan.
Bukannya menjawab, sebaliknya Nilamahadewi bertanya membentak, "Orang tua! Apa kau lihat seorang pemudi baju putih lewat di sini?"
"Ti .., tidak," jawab si orang tua masih gugup.
"Jangan dusta!" Nilamaharani membentak dengan melototkan kedua matanya.
"Sungguh aku tidak dusta . . . ".
"Kita geledah pondoknya!" kata Nilamaharani lalu menggerakkan tangan kirinya dan si orang tua terpelanting jatuh.
"Jangan!" seru orang tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak menghalangi.
"Tua bangka tidak tahu diri!" bentak Nilamaharani dan menendang pinggul si orang tua hingga mencelat mental dan melingkar pingsan di halaman pondok di bawah siraman hujan lebat.
Dengan kakinya yang lain Nilamaharani menendang pintu pondok hingga bobol. Begitu pintu hancur dan terpentang lebar sesosok tubuh berpakaian putih kelihatan menghambur lewat jendela samping.
"Itu dia!" teriak Nilamahadewi.
"Kau mau lari ke mana hah?" ujar Nilamaharani seraya mengulurkan tangannya mencekal leher pakaian si pemuda. Tapi pemuda ini lebih cepat lagi. Dengan satu gerakan kilat dia membungkuk lalu memutar larinya ke lain jurusan. Tapi justru dia salah tindak karena arah larinya itu memapasi Nilamahadewi yang datang dari samping. Kini dia terkurung di tengahtengah.
"Kalian ini manusia-manusia macam apakah?!" si pemuda berkata dengan suara keras.
"Sesudah menipu aku kalian inginkan jiwaku pula!" Pemuda ini berumur sekitar dua puluh tahun.
Wajahnya cakap dan kulitnya kuning. Nilamaharani tertawa bergumam. Ada bayangan yang aneh di balik tawanya itu. Dan bayangan aneh ini membuat si pemuda merasa ngeri.
"Orang muda, jangan banyak mulut. Sudah menjadi ketentuan bahwa kau harus mati di tangan kami!"
"Tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa terhadap kalian. Bahkan aku telah turutkan kemauan kalian. Tapi ketika aku tahu bahwa kalian ..."
"Plaak!"
"Heh, kuat juga kau ya?!" kata Nilamaharani. Dia melompat, membungkuk menangkap salah satu kaki si pemuda lalu melemparkan pemuda itu ke arah sebatang pohon waru. Tak ampun lagi kepala pemuda itu hancur, otaknya berhamburan. Nyawanya putus sebelum tubuhnya jatuh melingkar di akar pohon!
"Baru lega hatiku sekarang," kata Nilamaharani. Di betulkannya gelungan rambutnya. Dia berpaling pada adiknya dan saat itu Nilamahadewi berkata.
"Mari kita tinggalkan tempat ini."
Keduanya segera meninggalkan tempat tersebut tapi belum jauh tiba-tiba Nilamaharani menghentikan larinya.
"Astaga!"
"Ada apa?" tanya Nilamahadewi.
"Orang tua itu."
"Kenapa dia?"
"Mungkin pemuda itu telah membuka rahasia padanya."
"Kalau begitu ..." ujar Nilamahadewi seraya membalikkan tubuh. Sesaat kemudian dia sudah berada kembali di depan pondok.
"Lekas bereskan dia, adikku. Aku sudah tak tahan dinginnya udara gila ini!"
Nilamahadewi tak perlu disuruh dua kali. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Kepala orang tua yang masih menggeletak pingsan itu ditendangnya hingga rengkah.
***
HUTAN Bintaran terkenal sebagai hutan yang banyak binatang perburuannya. Mulai dari kelinci sampai pada rusa-rusa muda yang amat jinak. Karena itulah Adipati-adipati di Jawa Tengah dan setiap orang yang gemar berburu, kerap kali melakukan perburuan di hutan tersebut. Sekali waktu putera Adipati Muntilan bersama dua orang pembantunya berangkat ke hutan Bintaran untuk berburu. Menjelang tengah hari mereka telah berhasil membunuh tiga ekor kelinci, menjebak hidup-hidup seekor tupai berbulu merah. Tepat sewaktu matahari mencapai titik tertingginya, putera Adipati itu duduk melepaskan lelahnya di tepi sebuah telaga.
"Sejuk sekali air telaga ini," kata putera Adipati itu sambil merendamkan kedua kakinya ke dalam air telaga. "Telaga apakah ini namanya paman?"
Salah seorang pembantu yang sudah agak lanjut usianya menjawab, "Kalau saya tidak salah, ini Telaga Puteri Intan Dewi." Lalu dituturkannya sedikit cerita tentang sampai bagaimana telaga itu diberi nama demikian.
Baru saja pembantu itu menyelesaikan ceritanya, di tepi telaga yang terletak di seberang mereka muncullah seekor anak rusa. Binatang ini memandang kian kemari lalu melangkah lebih dekat ke tepi telaga dan mencelupkan mulutnya ke dalam air.
Cepat-cepat Aryo Darmo, putera Adipati Muntilan itu, mengambil busurnya. Ketika anak panah hendak dilepaskannya, selintas pikiran timbul dalam hatinya. Anak rusa itu bagus sekali bulunya. Coklat berbintik-bintik putih besar-besar. Hatinya pun tak tega untuk membunuh binatang itu. Karena kelihatannya anak rusa ini cukup jinak, maka Aryo Damar akhirnya memutuskan untuk menangkapnya hidup-hidup.
Aryo Darmo berdiri dan mengambil jalan memutar. Sesaat kemudian dia sudah mengendapendap di belakang anak rusa itu. Pemuda ini pernah belajar ilmu silat dari ayahnya. Karenanya dia bisa bergerak cepat. Begitulah, ketika tinggal beberapa langkah lagi, Aryo Darmo laksana seekor harimau melompat menerkam anak rusa itu.
Tapi si anak rusa lebih cepat lagi. Dengan gesit dia melompat ke samping hingga Aryo Darmo menangkap angin. Kalau dia tidak mempergunakan kedua tangannya untuk jungkir balik pasti tubuhnya akan terjun ke dalam telaga!
Yang membuat Aryo Darmo menjadi penasaran ialah anak rusa itu tidak lari jauh, tapi berdiri sekitar enam tujuh langkah dari hadapannya, memandang kepadanya dengan mengendipendipkan sepasang matanya, seolah-olah menantang putera Adipati Muntilan itu untuk menangkapnya. Untuk kedua kalinya Aryo Darmo melompat. Hampir pemuda ini berhasil menangkap tengkuk binatang itu, si anak rusa melompat binal dan lari ke dekat serumpun semak belukar yang terletak sepuluh langkah dari si pemuda.
"Sialan!" maki Aryo Darmo dengan kesal. "Kau mau lari ke mana hah?! Kau musti dapat kutangkap hidup-hidup!" Maka dikejarnya binatang itu.
Demikianlah kejar mengejar terjadi hingga tanpa disadari Aryo Darmo telah berada jauh dalam rimba belantara yang lebat. Penuh lelah dan juga kesal pemuda ini akhirnya mendudukkan dirinya di satu akar pohon. Sewaktu dia memandang ke kiri dilihatnya anak rusa tadi berdiri pula tak berapa jauh darinya dan mengedip-ngedipkan sepasang matanya. Ini membuat hati Aryo Darmo tambah kesal.
"Binatang celaka! Kalau tak dapat kutangkap hidup-hidup bangkaimupun tak jadi apa!" Lalu dicabutnya kerisnya dan dilemparkannya ke arah binatang itu.
Si anak rusa yang rupanya tahu bahaya, siang-siang sudah melompat berpindah tempat hingga keris yang dilemparkan luput dan menancap di sebatang pohon.
Benar-benar kini Aryo Darmo menjadi naik darah. "Binatang celaka! Ke manapun akan kukejar kau!" Setelah mengambil kerisnya dikejarnya kembali anak rusa itu. Dengan demikian semakin jauhlah dia masuk ke dalam rimba belantara yang lebat. Sementara itu tanpa setahu Aryo Darmo, dua pasang rata sejak tadi mengikuti gerak geriknya.
Di satu tempat yang agak gelap karena rapatnya pohon-pohon dan semak belukar yang tumbuh tiba-tiba anak rusa yang dikejar Aryo Darmo lenyap dari pemandangan. Pemuda ini menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Kemudian didengarnya suara lengking binatang itu. Di lain kejap pemuda ini menjadi terkejut sewaktu di hadapannya muncul dua orang dara jelita berpakaian kuning. Salah seorang dari mereka memegang anak rusa yang sejak tadi di kejar-kejarnya.
"Saudara, apakah kau menginginkan binatang ini?" tanya dara yang memegang rusa. Di bibirnya terlukis sekuntum senyum.
"Betul," jawab Aryo Darmo. Lalu tanyanya, "Kalian berdua siapa? Kenapa berada dalam rimba belantara begini rupa?"
"Aku Nilamaharani dan ini adikku Nilamahadewi," jawab sang dara masih dengan senyumnya yang memikat, "Kalau kami berikan anak rusa ini padamu, sebagai gantinya kau mau berikan apa?"
"Ah, kau baik sekali saudari. Beri tahu di mana rumahmu, kelak akan kusuruh orangorangku untuk mengantarkan baju-baju bagus dan perhiasan-perhiasan indah kepada kalian berdua, Eh, kalian ini kakak beradik, bukan?"
Nilamaharani mengangguk. "Tempat kediaman kami mungkin sukar dicari oleh orang-orang suruhanmu. Kecuali kalau kau tak berkeberatan ikut bersama kami untuk mengetahuinya."
"Tentu saja aku tidak keberatan," jawab Aryo Darmo. Sudah barang tentu mana ada pemuda yang ; menolak begitu saja ajakan dara berparas secantik ' Nilamaharani itu?
"Tapi", kata Nilamahadewi, "tempat kami buruk, hanya sebuah goa batu".
"Itu bukan soal", sahut Aryo Darmo.
"Kalau begitu kau peganglah anak rusa ini dan mari kita berangkat", kata Nilamaharani pula.
Aryo Darmo menerima anak rusa yang diberikan Nilamaharani lalu ketiganyapun meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan mereka tak hentinya bercakapcakap. Demikian gernbiranya Aryo Darmo dapat berkenalan dengan dua dara jelita itu hingga boleh dikatakan dia hampir tak perduli dengan si anak rusa. Kalau saja anak rusa itu bukan ditangkap dan diberikan oleh Nilamaharani, mungkin sudah sejak tadi-tadi dilepas dilemparkannya.
Mereka tiba di luar rimba belantara. Di hadapan mereka kini terbentang satu daerah berbukit-bukit. Kedua dara itu berlari menuju ke sebuah bukit di sebelah barat, diikuti oleh Aryo Darmo. Memperhatikan cara lari kedua dara kakak beradik itu maklumlah si pemuda bahwa keduanya orang-orang berilmu. Dengan mengandalkan ilmu lari yang diajarkan ayahnya, dicobanya menyamai lari keduanya, namun siasia belaka. Dan diam-diam Aryo Darmo jadi tambah tertarik pada dara-dara ini.
Setibanya di lereng bukit yang di tuju. Nilamaharani menyibakkan serumpun semak belukar lebat. Maka kelihatanlah sebuah goa batu yang amat, bersih dan luas.
"Inilah tempat kediaman kami. Harap kau jangan . . . ".
"Ah, tempat kalian bersih dan bagus", kata
Aryo Darmo memotong. Lalu setelah dipersilahkan dia pun masuk. Ruangan yang dimasukinya harum semerbak, diterangi oleh sebuah pelita aheh yaitu sepotong kayu yang ujungnya berapi dan memancarkan sinar kehijauan, tertancap kedinding. Ternyata di situ ada dua buah ruangan dan keduanya sama sekali tidak seperti ruangan dalam goa.
"Silahkan duduk", kata Nilamaharani. Ketika Aryo Darmo duduk membelakanginya, dara ini mengedipkan matanya pada adiknya.
Melihat isyarat ini Nilamahadewi berkata, "Saudara kau duduklah terus. Aku hendak keluar sebentar"
Aryo Darmo mengangguk. Belum sempat dia bertanyakan mau ke mana gadis itu, Nilamahadewi sudah lenyap di mulut goa. Aryo Darmo tinggal sendirian di ruangan itu karena sebelumnya Nilamaharani sudah masuk ke ruangan yang satu lagi.
Pemuda ini memandang berkeliling. Kemudian pandangannya di tujukan pada pelita kayu aneh yang tertancap di dinding. Dia tak habis mengerti bagaimana ada sepotong kayu yang dibakar terang begitu rupa tanpa habis-habisnya yang apinya mengeluarkan sinar kehijauan dan berbau harum pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian Tito
General FictionWiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...