SATU
Bangunan besar itu dari luar tampak sepi-sepi saja. Satu-satunya penerangan hanya sebuah lampu minyak yang berkelap-kelip di bawah cucuran atap dekat pintu masuk yang berada dalam keadaan tertutup. Di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian empat penunggang kuda memasuki halaman depan yang gelap.Lelaki pertama bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh brewok dan kumis tebal melingtang. Pakaiannya serba hitam. Keningnya diikat dengan sehelai kain hitam dan di pinggang kirinya tergantung sebilah pedang. Orang ini bernama Kebo Panaran. Dari gerak geriknya kelihatannya dia yang menjadi pemimpin dari rombongan yang baru datang ini.
Orang kedua bernama Bargas Pati, bertubuh gemuk berkepala botak plontos.
Mukanya selalu berminyak. Baju dan ikat kepalanya serba merah. Di balik baju merahnya dia membekal sebuah clurit besar.
Lelaki ketiga berbadan kurus kering tapi tinggi jangkung. Kulitnya sangat pucat tidak beda mayat. Dia mengenakan pakaina dan ikat kepala warna biru. Di pinggangnya melingkar sebuah rantai besi yang rupanya menjadi senjatanya. Manusia satu ini dikenal dengan nama Tunggul Anaprang.
Orang terakhir bernama Legok Ambengan, mengenakan baju dan celana serta ikat kepala warna hijau. Tubuhnya bungkuk dan di pinggangnya kiri kanan tersisip sepasang golok pendek.
Belum sempat keempat orang ini turun dari kuda masing-masing, dari samping kiri kanan bangunan besar yang kelihatan sepi itu tiba-tiba muncul lima orang berpakaian seragam hitam dan bertubuh rata-rata tinggi besar. Kelimanya membekal golok besar di pinggangnya masing-masing.
Walau empat penunggang kuda yang dating memiliki tampang sangar namun lima orang berseragam hitam itu kelihatannya tidak menaruh rasa jerih. Malah salah seorang dari mereka sambil bertolak pinggang menegur. Namanya Ranggas.
"Kalian berempat kami lihat baru sekali ini datang kemari. Betul.......?"
Empat penunggang kuda saling pandang satu sama lain lalu sama-sama menyeringai. Yang di ujung sebelah kanan yaitu Bargas Pati berkata perlahan pada kawan di sampingnya.
"Tunggul kau jawab saja pertanyaan monyet itu!"
Tunggul Anaprang lalu membuka mulut. "Kami berempat memang baru sekali ini kemari. Kenapa kau bertanya? Apa kau yang punya tempat ini?"
" Aku dan kawan-kawan bertanggung jawab atas keamanan di tempat ini.
Bagi orang-orang baru ada aturannya sendiri!" jawab orang berbaju hitam yang masih tegak sambil bertolak pinggang. "Pertama turun dari kuda masing-masing. Orangorangku akan membawa binatang itu ke halaman belakang."
"Hemm begitu? Bagus juga pelayanan di tempat ini," kata Kebo Panaran. Dia memberi isyarat pada kawan-kawannya. Keempat orang ini lalu turun dari atas kuda.
Dua orang anak buah si baju hitam memegang tali-tali kekang kuda lalu menuntun bintang itu ke halaman belakang.
"Sekarang kalian harus menyerahkan uang keamanan. Cukup sekali ini saja.
Lain kali kalian datang tidak perlu."
Legok Ambengan berpaling pada Kebo Panaran. Kebo Panaran kedipkan matanya. "Berapa besarnya uang keamanan itu?" bertanya Legok Ambengan kemudian.
"Seperlima dari jumlah uang yang kalian bawa. Keluarkan semua isi kantong kalian!" jawab Ranggas.
"Kami sama sekali tidak membawa uang!" kata Kebo Panaran lalu tertawa gelak-gelak. Tiga kawannya ikut-ikutan tertawa.
Merasa dipermainkan Ranggas jadi marah.
"Jika kalian tidak punya uang, lekas angkat kaki dari sini. Kuda-kuda kalian kami tahan!"
"Begitu?" Ujar Kebo Panaran sambil usap-usap berewoknya. "Mulai saat ini kau dan teman-temanmu dipecat sebagai penjaga keamanan di tempat ini! Lekas minggat dari hadapanku!"
Terkejutlah Ranggas mendengar ucapan Kebo Panaran itu. Rasa terkejut ini disertai juga dengan gejolak amarah. Karenanya Ranggas langsung melompati Kebo Panaran sambil melayangkan tamparan. Sesaat lagi tamparan itu akan melanda muka Kebo Panaran dengan keras tiba-tiba dari samping satu tangan mencekal lengan Ranggas. Sekali sentak saja tubuh Rangas terpuntir terbungkuk-bungkuk membuatnya meringis kesakitan. Dua orang anak buah kepala keamanan itu berteriak marah melihat atasan mereka diperlakukan seperti itu. Tanpa banyak bicara lagi keduanya mencabut golok di pinggang masing-masing terus membabat ke arah si gemuk botak Bargas Pati yang tengan memelintir lengan Ranggas.
Golok pertama membacok ke arah batok kepala yang botak sedang golok kedua membabat ke arah pinggang. Bargas Pati hanya ganda tertawa melihat serangan maut itu. Dari kiri kanan dua orang kawannya berkelebat.
"Bukk........Bukkk!"
Terdengar dua kali suara bergedebuk disusul dengan jeritan dua orang anak buah Ranggas. Keduanya terhuyung-huyung. Satu pegangi hidungnya yang mengucurkan darah, satunya lagi menekapi mata kirinya yang juga mengucurkan darah. Golok mereka berjatuhan ke tanah pada saat jotosan-jotosan Tunggul Anaprang dan Legok Ambengan menghantam muka meraka. Selagi keduanya terhuyung-huyung begitu, kaki-kaki kedua anak buah Kebo Panaran tadi ganti beraksi.
Kembali dua orang yang berpakaian hitam itu keluarkan jeritan kesakitan lalu tergelimpang roboh di tanah. Masing-masing menderita patah tiga tulang iga dan remuk tulang dadanya!
Dua orang anak buah Ranggas yang tadi membawa kuda-kuda ke halaman belakang berseru kaget ketika mereka kembali dan melihat apa yang terjadi.
Keduanya serta merta mencabut golok masing-masing lalu menyerang Tunggul Anaprang dan Legok Ambengan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian Tito
Ficción GeneralWiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...