94. Pedang Naga Suci 212

8.1K 125 8
                                    

SATUWalau saat itu menjelang tengah hari namun puncak Gunung Gede diselimuti kelapan mencekam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SATU

Walau saat itu menjelang tengah hari namun puncak Gunung Gede diselimuti kelapan mencekam. Langit hitam kelam ditebali awan hitam mendung bergulung. Angin bertiup kencang mengeluarkan suara aneh. Suara deru hujan deras seolah langit koyak terbelah. Udara sangat dingin membungkus puncak gunung. Ditambah dengan gelegar guntur yang sesekali ditimpali sambaran petir membuat suasana benar-benar menggidikkan.

Di tepi sebuah telaga yang terletak di puncak timur Gunung Gede, dua sosok tubuh tampak duduk bersila di tanah yang becek. Sepasang lengan dirangkapkan di depan dada. Mereka tidak bergerak sedikitpun seolah telah berubah menjadi patung tanpa nafas. Sekujur tubuh ke dua orang ini basah kuyup mulai dari rambut sampai ke kaki. Hawa dingin luar biasa membuat tubuh mereka sedingin es! Dua orang ini tidak sedang bersamadi atau bertapa karena sepasang mata mereka memandang tak ber-kesip ke tengah telaga yang airnya mengeluarkan riak seolah mendidih dan mengepulkan asap putih.

Orang di sebelah kanan adalah seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih. Wajahnya tampan dan memiliki sepasang mata besar dengan pandangan tajam tak berkesip menyorot ke arah telaga. Di samping kiri si pemuda duduk tak bergerak seorang dara berpakaian biru muda, berparas cantik dan berkulit hitam manis. Di pinggangnya melilit ketat sehelai selendang merah hingga pinggangnya tampak ramping dan pinggulnya mencuat bagus. Gadis ini memiliki rambut panjang sepinggang yang dijalin lalu dilingkarkandi atas kepala. Seolah hiasan, jalinan rambut ini menambah kecantikan wajahnya.

Sulit diduga apa yang tengah dilakukan sepasang muda mudi itu. Mereka tetap tak bergerak dan tak berkesip walau hujan terus mendera, hawa dingin mencucuk, guntur menggelegar dan kilat membuat darah berulang kali tersirap.

Tiba-tiba si pemuda tampak membuat gerakan. Perlahan sekali kepalanya dipalingkan ke kiri ke arah gadis berpakaian biru. Sesaat dipandanginya gadis itu. Mulutnya bergerak sedikit seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak ada suara yang keluar. Orang yang dipandangi tetap diam tak bergerak. Si pemuda sesaat menjadi bimbang. Akhirnya dia memutar kepala, memandang kembali ke arah telaga. Tapi dia seperti tidak dapat memusatkan perhatian lebih lanjut. Tak selang berapa lama kembali dia menoleh ke kiri, pandangi gadis cantik di sebelahnya itu. Mulutnya bergerak namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Hanya di dalam hatinya si pemuda membatin. "Air mukanya jelas masih membayangkan marah dan dendam. Dia pasti tetap tak akan mau bicara denganku. Tapi kalau aku tidak bicara bisa-bisa lebih salah kaprah.... Hemmm. Bagaimana aku harus memulai. Hatinya sekeras batu, sikapnya segarang harimau betina...."

Kilat menyambar. Sekilas puncak Gunung Gede terang benderang. Guntur menggelegar seperti merobek telinga dan menghancurkan jantung. Air telaga tampak beriak keras dan kepulan asap semakin tebal bergulung ke udara. Cahaya kilat lenyap dan tempat itu kembali dibungkus kegelapan.

"Aku harus bicara! Terserah dia mau marahi" Pemuda berwajah tampan ambil keputusan. Dia menarik nafas dalam lebih dulu seolah berusaha mempertabah diri. Lalu terdengar suaranya menegur diantara deru hujan dan tiupan angin.

"Sinto, apa kita tidak salah menghitung hari? Jangan-jangan kita datang terlambat atau terlalu cepat...."

Si pemuda menunggu. Tapi orang yang ditanya jangankan menjawab. Bergerak sedikitpun tidak. Bahkan dua matanya yang tajam bagus terus saja memandang ke tengah telaga tanpa berkedip.

"Sinto, kau mendengar pertanyaanku. Harap kau suka menjawab dan sementara melupakan dulu apa-apa yang menjadi ganjalan di hatimu...." Pemuda gagah di sebelah kanan si gadis kembali membuka suara.

Gadis yang diajak bicara tetap membungkam seribu bahasa. Hujan dan angin terus berkecamuk. Kegelapan dan hawa dingin semakin mencekam.

"Sinto Weni kalau kau...."

"Aku tak pernah salah memperhitungkan segala sesuatu dalam hidupku. Satu-satunya kesalahan adalah kesalahan memperhitungkan dirimu...."

Kata-kata yang tiba-tiba keluar dari mulut si gadis walaupun diucapkan secara lembut tapi membuat wajah pemuda tampan di sebelahnya menjadi berubah. Untuk beberapa lamanya dia terdiam dengan mulut ternganga.

"Sinto Weni adikku...."

"Suaramu tidak sedap masuk ke telingaku. Kalau kau tak mau berhenti bicara lebih baik segera saja angkat kaki dari tempat ini...,"

Si pemuda menggigit bibirnya sendiri. "Hatinya bukan saja sekeras batu tapi juga sepanas bara. Tak mungkin aku membujuknya. Dari pada urusan jadi panjang memang lebih baik aku pergi saja. dari sini...."

"Sinto, terus terang aku memang tidak mengharapkan warisan apa-apa dari kiai Gede Tapa Pamungkas. Hanya sebagai murid aku harus patuh. Itu sebabnya aku datang ke sini sesuai pesan Kiai beberapa tahun lalu. Kalau kau tidak menginginkan kehadiranku di sini mungkin memang benar aku harus angkat kaki dari tempat ini. Selamat tinggal Sinto. Urusan di antara kita pasti ada saat penyelesaiannya.... Satu hal perlu kau ketahui. Hatiku tidak sejahat yang kau duga. Hanya memang mungkin imanku setipis embun di permukaan daun. Mudah sirna terkena cahaya sang surya...."

Habis berkata begitu si pemuda siap bergerak bangkit. Bagi si gadis apa yang dikatakan pemuda itu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Dia tetap tak bergerak danterus menatap ke arah telaga.

Tiba-tiba petir menyambar. Guntur menggelegar. Puncak Gunung Gede bergetar hebat. Si pemuda yang hendak berdiri jatuh terduduk di tanah becek. Tapi hatinya telah bulat, tekadnya telah tetap. Dia kembali bangkit berdiri. Namun sekali lagi gerakannya tertahan.

Mendadak di kejauhan terdengar suara orang menyanyi. Demikian halus lembut suara itu hingga sulit diketahui apakah yang menyanyi seorang lelaki atau seorang perempuan.

Hari pertemuan datang sudah

Dua warisan akan muncul di dunia

Benda mati akan membawa manusia

Memilih jalan lurus atau jalan sesat

Memilih sorga atau dunia maksiat

Karena itu manusia diberi otak untuk berpikir

Diberi hati untuk menimbang

Manusia harus menguasai benda

Bukan benda yang harus menguasai manusia

Kalau warisan sudah berbagi

Saat berpisah datang sudah.

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang