130. Meraga Sukma

5.8K 105 0
                                    

ADIPATI Salatiga Jatilegowo memacu kudanya sekencang yang bisa dilakukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ADIPATI Salatiga Jatilegowo memacu kudanya sekencang yang bisa dilakukan. Sosok Nyi Larasati tergeletak melintang di atas pangkuannya. Dalam hati orang ini merutuk tak henti-henti.

"Kurang ajar! Bagaimana kakek jahanam itu bisa mengikuti aku sampai ke sini? Kalau dia berlaku nekad terpaksa aku menghabisinya!"

Jatilegowo berpaling ke belakang. Dua prajurit yang ikut bersamanya masih belum kelihatan. Hatinya merasa tak enak.

"Jangan-jangan mereka telah menemui ajal di tangan jahanam itu," pikir sang Adipati. Dia berusaha mempercepat lari kudanya. Tapi dengan beban dua orang seperti itu sang kuda tidak mampu lagi berlari lebih cepat walau didera sekalipun.

Sebelumnya Jatilegowo punya rencana begitu berhasil mendapatkan Nyi Larasati dia akan membawa janda itu ke Salatiga. Di sana akan diadakan perhelatan pesta perkawinan sekaligus pengumuman penggabungan Kadipaten Temanggung dan Kadipaten Salatiga di bawah kekuasaannya sesuai dengan persetujuan Sri Baginda. Tapi dengan kemunculan kakek berambut biru yang tidak diduganya sama sekali, dia terpaksa merubah rencana. Kuda diarahkan ke selatan menuju Bandongan. Di desa itu dia memiliki sebuah rumah yang selama ini ditinggal kosong.

Ketika sang surya terbit di timur, kemudian bergerak naik memancarkan sinarnya yang benderang dnn mulai hangat, Jatilegowo merasa agak loga. Tak ada yang mengejarnya. Lari kudapun diperlambat. Sebelum tengahari dia memperkirakan akan sampai di Bandongan. Dugaannya tidak meleset. Sebelum mentari mencapai titik tertinggi Jatilegowo bersama janda boyongannya telah memasuki Desa Bandongan.

Rumah kosong milik Jatilegowo terletak di bibir lembah subur berpemandangan indah. Ada satu aliran air jernih tak berapa jauh dari rumah itu. Jatilegowo hentikan kudanya dekat aliran air. Binatang itu dibiarkan mereguk air segar. Dia sendiri menggendong Nyi Larasati yang masih berada dalam keadaan tertotok, melangkah menuju rumah.

Di depan pintu rumah Jatilegowo hentikan langkah. Sunyi. Sang Adipati menyeringai. Dia suka akan kesunyian seperti itu. Dengan kaki kirinya dia kemudian mendorong daun pintu yang terbuat dari papan tebal. Pintu terbuka, mengeluarkan suara berkereketan. Jatilegowo melangkah masuk. Tapi baru satu kaki menginjak lantai rumah, tiba-tiba dari dalam terdengar suara tawa mengekeh. Membuat Jatilegowo tersentak dan cepat tarik kakinya ke belakang.

"Jatilegowo! Aku sudah bilang. Dunia ini kecil dan sempit. Kau masih berlaku nekad hendak mencoba lari dariku? Mana mungkin! Mana mungkin! Ha... ha... ha!"

Kejut Jatilegowo seperti disambar petir. Dia segera melompat mundur, keluar dari dalam rumah. Dia maklum, bahaya besar mengancam di depan mata. Tubuh Nyi Larasati cepat-cepat diletakkan di satu tempat di samping sebuah batu besar. Lalu dia bergerak mendekati rumah, berhenti tujuh langkah di depan pintu yang terpentang lebar sementara dari dalam rumah masih mengumbar suara tawa bergelak.

Jatilegowo kertakkan rahang. Tinju kanan dikepalkan.

"Sarontang! Keluarlah! Katakan apa maumu!"

Berteriak Jatilegowo. Tangan kanannya ditempelkan ke pinggang kiri di mana terselip sebuah senjata sakti mandraguna. Badik Sumpah Darah senjata yang didapatnya dari seorang kakek sakti di tanah Makassar, bernama Daeng Wattansopeng. (Baca dua Episode sebelumnya yakni "Badik Sumpah Darah" dan "Mayat Persembahan")

Belum lenyap gema teriakan Jatilegowo, suara tawa di dalam rumah sirna. Lalu satu bayangan melesat ke luar pintu, melayang di udara, jungkir balik dua kali untuk kemudian turun ke bawah dnn tegak tiga langkah di hadapan Jatileciowo. Luar biasa sekali gerakan orang ini, pertanda dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sampai pada puncaknya. Dan manusia satu ini ternyata bukan lain kakek berambut biru berminyak.

"Hebat! Dulu kau memanggil aku dengan sebutan kakek Sarontang. Kini Sarontang saja! Hebat! Tapi kurang ajar! Ha... ha... ha!"

Jatilegowo mendengus.

"Perlu apa memakai segala bahasa halus dan peradatan terhadap manusia sepertimu!"

"Oo begitu?! Ha... ha... ha!" Si kakek berambut biru kembali umbar tawa panjang. "Benar rupanya lidah tidak bertulang. Hati bisa menjadi batu. Manusia bicara semaunya sesuai kebutuhan perut dan pantatnya! Ha... ha... ha!"

"Aku muak mendengar suara tawamu! Katakan bagaimana kau bisa mengikuti aku sampai ke sini?!" bentak Jatilegowo.

Sarontang menyeringai.

"Jatilegowo, apa kau lupa?! Aku yang bernama Sarontang ini sebenarnya adalah Aryo Probo, Pangeran Kerajaan Pakubuwon! Aku lebih tahu setiap jengkal seluk beluk Tanah Jawa di kawasan ini dari padamu! Selagi kau masih orok aku sudah malang melintang di daerah ini!"

"Lalu apa maumu mengikuti diriku! Kau inginkan janda muda cantik bernama Nyi Larasati ini?!" Kembali Jatilegowo membentak.

Sarontang tertawa bergelak.

"Kau tanya mengapa aku mengikuti dirimu? Aku punya sejuta alasan! Tapi tidak untuk mendapatkan janda cantik itu. Kau tahu seleraku. Kau pernah bermain cinta denganku! Apa kau lupa?!"

Mendengar ucapan terakhir si kakek Jatilegowo keluarkan suara seperti orang mau muntah. Memang jika dia ingat peristiwa terkutuk itu, rasa jijik membuat perutnya bergulung mual.

"Tua bangka mesum! Dosa bejatmu tak akan terampunkan!"

Sarontang menyeringai.

"Justru aku mengejarmu sejak kau kabur dari Tanah Makassar karena dirimu membawa dua dosa besar pengkhianatan!"

"Hehmm! Kau seperti malaikat yang hendak mengadili insan! Aku kawatir otakmu sudah sejak lama miring Sarontang!"

Diejek orang begitu rupa si kakek bukannya marah malah kembali umbar tawa panjang.

"Dosa pertamamu! Kau membunuh pemuda bernama Bontolebang yang jadi kekasihku! Kau bunuh secara keji dan mayatnya kau kirimkan padaku sebagai Mayat Persembahan! Sungguh kurang ajar dan keterlaluan! Dosa keduamu! Kau membawa kabur Badik Sumpah Darah asli. Memberikan badik palsu padaku! Dua dosa itu sudah cukup alasan bagiku untuk menguliti tubuhmu saat ini juga!"

Jatilegowo sunggingkan seringai mengejek.

"Tadi kau berlaku seperti malaikat. Kini seperti tukang potong sapi hendak menguliti diriku! Jangan bicara ngacok di hadapanku Sarontang!

Kalau mau gila pergilah ke tempat lain! Aku nasihatkan, sebaiknya kau lekas angkat kaki dari hadapanku sebelum kuhabisi! Pangeran Aryo Probo, apa kau tidak sayang tahta kerajaan yang selama ini kau inginkan? Apa kau benar-benar ingin mampus sebelum merasakan bagaimana nikmatnya jadi Raja? Bagaimana nikmatnya duduk di atas tahta Kerajaan dalam Keraton yang indah dan serba mewah? Dengan permaisuri serta dikelilingi para gundik yang canti-cantik?!"

Sarontang hanya ganda tertawa.

"Mulutmu ternyata cukup pandai menghasut. Tapi siapa mau mendengar. Hasutanmu hanya tipuan keji karena penuh racun dan bisa. Dengar Jatilegowo, aku datang untuk minta Badik Sumpah Darah asli. Serahkan padaku sekarang juga! Karena senjata itu aku perlukan untuk mendapatkan tahta Kerajaan!"

Jatilegowo menyeringai lalu gelengkan kepala.

"Aku tidak akan memberikan badik itu pada siapa pun! Juga tidak padamu! Jika kau ingin merampas tahta Kerajaan silakan kau lakukan sendiri. Aku kawatir tahta yang kau idamkan selama ini akan menjadi tahta berdarah! Kau akan menemui kematian sebelum berhasil menyentuhnya!"

"Bicara soal kematian mungkin kau yang bakal mampus duluan dariku, Jatilegowo! Kecuali kau mau menyerahkan badik itu padaku sekarang juga! Serahkan!"

"Tua bangka takabur! Kau akan kubuat mati tak berkubur!" bentak Jatilegowo. Habis berkata begitu Adipati Salatiga ini menggebrak maju, hantamkan tangan kiri kanan ke arah dada si kakek.

"Bukk... bukkk... bukkk... bukkk!"

Empat jotosan kilat, keras dan bertenaga dalam tinggi melanda dada Sarontang. Jangankan terpental atau menjerit kesakitan, bergeming sedikit pun sosok si kakek tidak. Di wajahnya sama sekali tidak membersit kerenyit kesakitan! Malah Sarontang kemudian tertawa bergelak.

Kagetlah Jatilegowo. Jotosannya tadi jangankan manusia. Tembok batu sekali pun bisa jebol hancur!

Sarontang masih umbar tawa bergelak. Tiba-tiba dia angkat tangan kanannya ke atas lalu berseru.

"Anak-anak! Bunuh manusia pengkhianat ini!"

Begitu ucapan Sarontang berakhir tiba-tiba menggemuruh suara aneh menggidikkan. Seperti raungan anjing tapi juga menyerupai lolongan manusia!

Jatilegowo tersentak kaget dan mundur dua langkah. Dia ingat peristiwa di Gunung Lompobatang. Sarontang mempunyai peliharaan manluk-mahluk aneh. Pada saat-saat tertentu mahluk-mahluk itu diberinya makan berupa burung-burung yang beterbangan di udara. Apakah dia membawa serta mahluk-mahluk peliharaannya itu ke Tanah Jawa? Jatilegowo tidak pernah melihat bagaimana bentuk mahluk-mahluk peliharaan Sarontang itu. Dia mendongak ke atas. Suara menggemuruh semakin keras. Lalu dia melihat puluhan benda aneh melesat dari langit seolah keluar dari perut matahari!

"Wuuuttt... wuuuttt!"

"Bettt... betttt!"

"Kraakk... kraaakkk!"

"Bukkk! Byaaarrr!"

Puluhan mahluk menyambar ke arah Jatilegowo. Adipati Salatiga ini cepat jatuhkan diri ke tanah lalu cepat pula bangkit berdiri. Ketika dia berhasil bangkit dan memandang ke depan, pucatlah tampang Jatilegowo.

Dua buah pohon cukup besar di depan sana berpatahan lalu tumbang ke tanah. Di samping dikir tak jauh dari aliran air, batu besar di dekat mana dia membaringkan Nyi Larasati hancur berkeping-keping. Suara raung dan lolongan kembali menderu. Di udara berlesatan puluhan mahluk menyerupai kelelawar tapi memiliki dua tangan berkuku panjang hitam seperti manusia dan kepala menyerupai srigala bertaring penuh lumuran darah!

Seumur hidup Jatilegowo tidak pernah melihat mahluk aneh dan seram seperti ini. Kelelawar bukan, manusia bukan, srigala juga bukan! Dan inilah rupanya yang disebut Sarontang sebagai anak anak peliharaannya. Yang sanggup menabas batang pohon, menghancurkan batu besar!

"Bunuh!"

Tiba-tiba Sarontang berteriak.

"Wuutt... wuuttt!"

"Beettt... beettt!"

Puluhan mahluk aneh menukik ke bawah, melesat menyambar menyerang dengan mengeluarkan suara mengerikan. Jatilegowo merunduk, sambil jatuhkan diri dia hantamkan dua tangan ke atas. Dia berhasil memukul dua mahluk aneh hingga terpental. Tapi dua mahluk itu tidak cidera sedikit pun malah meraung melolong tambah beringas. Jatilegowo sendiri ketika berusaha bangkit terkejut pucat ketika melihat bagaimana lengannya kiri kanan telah bergelimang darah, ternyata di balik lengan pakaian birunya yang robek besar, daging tangannya telah terkuak koyak, entah kena cakaran entah disambar taring mahluk-mahluk aneh.

"Bunuh!"

Kembali terdengar Sarontang berteriak.

Raung dan lolongan mahluk aneh semakin hebat. Puluhan berkelebat, menyambar ke arah Jatilegowo. Dalam takutnya Jatilegowo ikut berteriak keras. Di saat genting mengerikan begitu rupa dia ingat pada senjata sakti mandraguna yang tersisip di pinggang kirinya. Tangan kanannya yang berlumuran darah segera bergerak ke pinggang. Di lain kejap di udara siang yang terang benderang itu berkiblat sinar biru kehitaman.

"Craass... crassss... craasss!"

Raung lolongan menggelegar keras menggidikkan.

Darah berciparatan di udara.

Enam mahluk aneh jatuh berkaparan di tanah dalam keadaan terkutung-kutung, meraung sambi! meronta geliatkan tangan, melolong delikkan mata lalu melosoh diam tak berkutik lagi.

Sarontang menggerung keras saksikan enam anak-anak peliharaannya menemui kematian begitu rupa. Dalam marah yang menggelegak matanya terkesima melihat benda di tangan kanan Jatilegowo. Badik Sumpah Darah! Senjata itu bergelimang darah. Darah berasal dari luka besar di tangan Jatilegowo bercampur darah yang berasal dari pembantaian tubuh anak-anak peliharaannya!

ASAP kelabu mengepul keluar dari ubun-ubun Sarontang. Sepasang matanya berubah merah tapi tampak berkaca-kaca. Mulutnya berkomat kamit merapal sesuatu. Tiba-tiba mulut itu berteriak.

"Bunuh!"

Sunyi sesaat lalu puluhan mahluk aneh yang melayang di udara mendadak berubah menjadi besar, hampir dua kali besar semula. Dari kepala masing-masing mengepul asap kelabu seperti yang keluar dari ubun-ubun Sarontang. Kesunyian hanya sekejapan. Sesaat kemudian didahului gemuruh raung lolongan puluhan mahluk itu melesat menyerbu ke arah Jatilegowo. Meski panik setengah mati melihat apa yang terjadi tapi Jatilegowo berusaha tabahkan diri. Di tengah serbuan puluhan mahluk aneh, dua kakinya laksana menancap ke tanah. Tangan yang memegang Badik Sumpah Darah dihantamkan ke atas. Sinar biru kehitaman menderu dahsyat, membentuk lingkaran membentengi Jatilegowo dari setiap serbuan mahluk halus.

"Wuuuttt... wuttt...!"

"Bett... bettt...."

"Craasss... craasss... craasssi"

Sarontang menjerit keras ketika meiihat bagaimana anak-anak peliharaannya satu persatu terpental, jatuh ke tanah dalam keadaan mati terkutung-kutung.

"Celaka! Badik Sumpah Darah tidak bisa dibuat main!" Dada Sarontang bergetar. Selagi dia terkesima kembali mahluk-mahluk aneh peliharaannya mati berjatuhan di depan mata.

"Anak-anak! Pulang!" Sarontang akhirnya berteriak.

Lolongan dan raungan menggelegar lalu terdengar suara sayap bergelepakan. Sesaat kemudian belasan mahluk aneh yang masih hidup melesat tinggi ke udara, berputar di atas kepala Sarontang dua kali lalu melesat ke arah timur hingga akhirnya lenyap dari pemandangan. Kini di tempat itu kembali hanya tinggal Sarontang dan Jatilegowo serta Nyi Larasati yang terbujur di dekat batu besar yang telah hancur. Dalam keadaan tertotok tak bisa bergerak tak bisa bersuara janda cantik ini menyaksikan semua apa yang terjadi. Tadinya dalam hati dia berharap kakek berambut biru berminyak itu akan mampu mengalahkan Jatilegowo hingga dia punya kesempatan untuk selamat. Tetapi begitu melihat bagaimana mahluk-mahluk aneh peliharaan si kakek akhirnya terbang melarikan diri, rasa takut kembali menyelimuti diri Nyi Larasati.

"Sarontang! Kau telah menyaksikan apa yang terjadi!" Tiba-tiba Jatilegowo keluarkan ucapan. "Aku memberi kesempatan padamu untuk meninggalkan tempat ini!"

Sarontang tak segera menjawab. Dalam hati dia membatin. "Badik itu, aku harus bisa merampas dari tangannya." Lalu si kakek berkata. "Aku baru pergi dari sini kalau kau mau menyerahkan badik itu!"

"Tua bangka tak tahu diri! Diberi pengampunan malah minta mampus!"

Sarontang tak mau menunggu lebih lama. Begitu orang membentak kakek ini segera melesat ke depan. Tangan kanannya dihantamkan. Kepala digoyangkan. Lilitan tali yang terbuat dari usus manusia yang ada di keningnya melesat menyambar laksana cambuk ke arah leher Jatilegowo. Bersamaan dengan itu si kakek kirimkan serangan susulan berupa tendangan ke arah dada lawan.

Seperti diketahui Sarontang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi yang sudah sampai pada puncaknya. Gerakan tiga serangannya yang laksana kilat itu mau tak mau membuat Jatilegowo tersentak kaget. Cepat dia membuat gerakan mengelak sambil babatkan Badik Sumpah Darah.

Hantaman tangan serta sambaran lilitan tali berhasil dielakkan Jatilegowo. Malah badik sakti di tangan kanannya nyaris mendera paha kanan Inwan. Entah bagaimana tahu-tahu kaki kanan si knkek mendadak terangkat ke atas. Tendangan ynng tadi mengarah dada kini melabrak bahu kniinn Jatilegowo, membuat Adipati Salatiga ini terpental dan terjengkang jatuh. Sarontang tidak sia-siakan kesempatan. Selagi lawan masih terkapar di tanah begitu rupa dia lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti. Pukulan dahsyat ini memancarkan cahaya kelabu karena dialiri tenaga dalam tinggi. Jatilegowo tidak punya kesempatan untuk selamatkan diri.

"Jahanam keparat! Makan badikku!"

Dalam saat genting begitu rupa Jatilegowo kerahkan tenaga dalam lalu babatkan Badik Sumpah Darah. Cahaya biru kehitaman yang keluar dari badik sakti langsung berbenturan dengan sinar kelabu pukulan sakti Sarontang.

Anehnya benturan dahsyat itu tidak mengeluarkan suara letusan. Yang kelihatan hanya bunga api berpijaran lalu terdengar keluhan Sarontang. Kakek berambut biru berminyak ini terjajar ke belakang sambil satu tangan memegangi kening, sementara tangan lain diletakkan di atas dada. Tali yang melibat kening dan dipergunakan sebagai senjata untuk menyerang lawan telah berubah menjadi kepulan arang. Pada kulit kening si kakek kelihatan garis melingkar merah kehitaman seolah daging di kening itu telah ditoreh dengan besi panas. Lalu dari mulut Sarontang mengucur lelehan darah pertanda dia menderita luka dalam yang cukup parah.

"Aku tahu betul, keparat ini tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Bagaimana dia bisa menciderai diriku di sebelah dalam. Pasti dia mendapatkan kekuatan dahsyat dari badik yang dipegangnya!' mambantin Sarontang.

"Manusia jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!" Berteriak Sarontang. Lalu dengan nekad kakek ini menerjang ke arah lawan sambil dua tangan membuat gerakan aneh, didorong ke depan.

"Wuss! Wusssi"

Sepuluh kuku jari tangan Sarontang mendadak mencuat panjang, memancarkan cahaya hitam. Menyambar ganas ke leher dan muka Jatilegowo. Inilah ilmu yang disebut "Sepuluh Kuku Setan." Di Tanah Bugis dan Makassar ilmu ini menjadi momok nomor satu bagi para tokoh persilatan baik golongan putih maupun hitam.

"Breett!"

Leher baju biru Jatilegowo robek besar. Kalau tidak cepat dia menarik badannya ke belakang niscaya lehernya akan amblas berbusaian disambar lima kuku hitam tangan kanan Sarontang.

Melihat serangan lima kuku tangan kanannya hampir berhasil mencelakai lawan, Sarontang lipatgandakan kekuatan dorongan serangan lima kuku tangan kiri.

Namun saat itu tiba-tiba satu cahaya biru kehitaman berkelebat ganas. Sarontang maklum apa yang dilakukan lawan. Cepat kakek ini mundur dua langkah sambil tarik serangan tangan kiri. Namun terlambat.

"Craa... crass... crass... crass... crasss!"

Sarontang melompat mundur sambil keluarkan pekik kesakitan. Lima jari tangan kanannya kepulkan asap biru. Bersamaan dengan itu hawa panas luar biasa menggerogoti tangan kirinya. Dia merasa tangan itu laksana lumer. Sarontang kucurkan keringat dingin, kerahkan tenaga menahan sakit. Ketika diperhatikan dia saksikan bagaimana lima kuku jari tangan kirinya terbabat putus. Sisa kuku yang masih menempel di ujung-ujung jari tampak hangus kehitaman dan mengepulkan asap.

Jatilegowo tertawa bergelak.

"Sarontang kakek mesum! Umurmu tak bakal lama! Racun badik akan merasuk ke dalam tubuhmu, menghancurkan pembuluh darah menjebol jantungmu! Ha... ha... ha!"

Pucatlah wajah tua Sarontang. Dia tahu Jatilegowo tidak bisa dusta. Racun Badik Sumpah Darah yang berasal dari Pohon Tuba jahat luar biasa. Sekali racun itu masuk ke dalam tubuh tidak satu mahluk hidup pun bisa bertahan.

"Jahanam!" rutuk Sarontang. Dia gerakkan tangan kanannya ke tangan kiri. Lalu kraakk! Sarontang pelintir dan tanggalkan tangan kirinya sendiri sebatas pergelangan! Kutungan tangan kiri ketika dicampakkannya ke tanah telah berubah menjadi sangat hitam. Dia masih beruntung. Walau tangan kirinya kini hancur buntung tapi racun jahat Badik Sumpah Darah tidak sampai masuk ke dalam tubuhnya!

Jatilegowo tertawa mengekeh.

"Sarontang. Kau memang bisa selamat dari racun badik, tapi kau tidak bisa selamat dari badiknya sendiri!"

Habis berkata begitu Jatilegowo melompat ke depan sambil kirimkan satu tusukan ganas. Tapi Sarontang yang sudah tahu gelagat cepat melesat ke udara. Kakek ini sengaja melesat ke atas satu pohon besar, lalu berpindah ke pohon lain dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Jatilegowo yang tidak punya kemampuan untuk berbuat seperti itu, tak bisa melakukan pengejaran. Dia hanya menyumpah habis-habisan. Saat ini dia memang bisa membuat si kakek tak berdaya dan melarikan diri. Namun dia maklum satu saat orang tua itu akan muncul kembali untuk dapatkan Badik Sumpah Darah dan membunuh dirinya. Selama Sarontang masih hidup dia akan merasa tidak tenteram.

Untuk beberapa lamanya Jatilegowo memandang ke arah lenyapnya si kakek di atas deretan pohon-pohon sebelah sana. Kemudian dia perhatikan koyakan iuka pada dua tangan kiri kanan. Dengan badik yang dipegang di tangan kanan Jatilegowo ucapkan senjata itu ke tangan kiri. Asap biru kehitaman mengepul. Ketika asap lenyap, luka mengerikan di tangan kirinya ikut lenyap.

Jatilegowo menyeringai. Dia letakkan Badik Sumpah Darah di kening lalu cium senjata sakti mandraguna itu. Badik kemudian dipindah ke tangan kiri. Lalu seperti tadi senjata sakti mandraguna ini diusapkan ke tangan kanan yang luka parah akibat serangan mahluk-mahluk halus peliharaan Sarontang. Asap biru mengepul, begitu asap sirna, luka di tangan kanan Jatilegowo ikut lenyap. Kembali Jatilegowo letakkan badik sakti di atas kening. Sambil mencium senjata itu dia berkata. "Terima kasih badik sakti. Aku akan menjaga dirimu baik-baik. Harap kau juga mau menjaga diriku baik-baik."

Mendadak ada suara derap kaki kuda meninggalkan tempat itu. Jatilegowo tersentak kaget. Dia ingat pada Nyi Larasati. Secepat kilat dia melompat ke balik hancuran batu besar di mana tadi dia membaringkan janda itu. Seperti disambar petir begitu terkejutnya Adipati Salatiga ini ketika dapatkan sosok Nyi Larasati tak ada lagi di tempat itu.

"Jahanam! Siapa berani mati punya pekerjaan! Nyi Lara! Nyi Lara! Di mana kau?" teriak Jatilegowo. Dia memandang berkeliling. Kuda besar miliknya masih ada di tempat itu. Tadi dia mendengar suara derap kaki kuda. Berarti orang melarikan Nyi Lara menunggang kuda. Siapa? Mungkin Sarontang yang kembali lagi secara tak terduga, membawa kuda dan menculik Nyi Larasati?

"Tidak mungkin setan tua keparat itu," ujar Jatilegowo dalam hati. "Tak mungkin dia. Lalu siapa...?" Jatilegowo tak bisa menjawab. Dia hanya bisa menyumpah habis-habisan lalu melompat ke atas kudanya. Bintang ini segera dipacu ke arah lenyapnya suara derap kaki kuda tadi.

DALAM Episode sebelumnya (Tahta Janda Berdarah) diceritakan bahwa Wiro minta pertolongan Ratu Duyung untuk mempertemukannya dengan Nyi Roro Manggut. Sesuai petunjuk Kakek Segala Tahu, Nyi Roro memiliki satu-satunya ilmu kesaktian yang bisa dipergunakan Wiro untuk menolong Bunga keluar dari sekapan guci tembaga Iblis Kepala Batu Alis Empat. Ketika Wiro mengutarakan maksudnya Ratu Duyung tidak memberikan jawaban. Menyangka gadis bermata biru ini tidak mau menolongnya karena baru sembuh dan mungkin masih berada di bawah pengaruh petaka besar yang baru dialami yakni dicelakai oleh Nyi Ragil dengan ilmu Mengupas Raga hingga dadanya mengalami luka mengerikan, maka tanpa mau memaksa Wiro akhirnya tinggalkan puncak Bukit Menoreh. Agaknya dia harus berusaha sendiri mencari Nyi Roro Manggut yang konon berdiam di dasar samudera kawasan selatan. Di puncak Bukit Menoreh saat itu ada Bidadari Angin Timur dan Anggini. Bujang Gila Tapak Sakti telah pergi duluan ke Temanggung.

Tidak dinyana ternyata Ratu Duyung mengejar Wiro dan berhasil menyusul sang pendekar di satu tempat. Kepada Bidadari Angin Timur dan Anggini Ratu Duyung sebelumnya dia memberi tahu karena ada satu keperluan di Kotaraja maka dia terpaksa meninggalkan dua gadis sahabatnya itu.

"Menurutmu...." berkata Bidadari Angin Timur pada Anggini sesaat setelah Ratu Duyung tinggalkan Bukit Menoreh. "Apakah dia benar-benar pergi ke Kotaraja?"

Anggini tersenyum.

"Kau bisa menduga sendiri. Menurutmu bagaimana?" balik bertanya murid Dewa Tuak.

"Kita sama tahu," jawab Bidadari Angin Timur. "Antara Ratu Duyung dan Bunga sejak peristiwa Wiro menolong Ratu Duyung di Puri Pelebur Kutuk telah terjadi perselisihan yang tak mungkin diperbaiki. Bunga berpendapat Ratu Duyung secara licik telah memperdayai Wiro dan berhasil mendapatkan kejantanan pemuda itu. Padahal kita tahu hal tersebut sebenarnya tidak pernah kejadian. Kesembuhan Ratu Duyung dari penyakit kutukan semua karena kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam perselisihan yang masih berlarut-larut, bagaimana mungkin sekarang Ratu Duyung mau dan rela menolong Wiro membebaskan Bunga dari sekapan guci Iblis Kepala Batu?" (Mengenai peristiwa di Puri Pelebur Kutuk harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode)

Anggini tak segera menjawab. Gadis itu berdiam diri seolah tengah memikirkan sesuatu. Sesaat kemudian baru Anggini berkata.

"Dari sudut pandanganmu hal itu memang bisa seperti yang kau katakan. Tapi dari sudut pandangan Ratu Duyung sendiri, bukankah ini berarti satu kesempatan baginya untuk lebih mendekatkan diri dengan Wiro?"

"Dengan kata lain kau tidak yakin Ratu Duyung benar-benar pergi ke Kotaraja?"

Anggini menggeleng. "Dia tidak ke Kotaraja. Aku yakin saat ini Ratu Duyung tengah mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng!"

"Lalu kita mau berbuat apa?" tanya Bidadari Angin Timur pula sambil melirik pada Anggini.

"Kau punya usul apa, sahabatku?" balik bertanya Anggini.

"Aku bisa pergi ke mana saja aku suka. Namun aku justru memikirkan dirimu."

"Memikirkan diriku?" Anggini berucap heran.

Bidadari Angin Timur mengangguk. "Dalam rimba persilatan sudah bukan rahasia lagi. Hampir semua orang mengetahui kalau gurumu Dewa Tuak ingin menjodohkan dirimu dengan Pendekar 212...."

"Ah, perkara yang satu itu tak usah kita bicarakan," kata Anggini. Selain memang tidak suka membicarakan soal perjodohannya dengan Wiro, Anggini juga maklum kalau Bidadari Angin Timur adalah salah satu dari sekian banyak gadis yang menginginkan pemuda yang dikasihinya itu.

"Kau tak ingin membicarakan perjodohanmu. Tak ingin membicarakan jalan hidupmu di kemudian hari. Itu hakmu, aku tak berani memaksa.Tapi sebagai sahabat, kalau aku boleh bertanya mengapa kau tidak suka membicarakan hal itu...."

"Mengenai perjodohanku dengan Wiro itu hanya maksud baik guruku saja. Dari pihak Wiro dan gurunya Eyang Sinto Gendeng dingin-dingin saja. Menurutmu apakah perjodohan itu bisa dipaksakan?"

"Tentu saja jodoh tidak bisa dipaksakan. Tapi bisa diatur...." jawab Bidadari Angin Timur. "Kita suka orang tak mau. Orang mau kita tak suka. Mana mungkin kejadian?"

"Nah kalau kau bisa berucap seperti itu, berarti kau sudah tahu permasalahannya. Jadi kita tak usah membicarakan berpanjang-panjang. Sekarang hanya tinggal kita berdua di puncak bukit ini. Tak lama lagi pagi segera datang. Apa yang hendak kita lakukan?" bertanya Anggini.

"Kita dimintai pertolongan mencari Pedang Naga Suci 212 oleh Wiro...." kata Bidadari Angin Timur pula.

"Betul, lalu apa yang akan kita lakukan? Ke mana kita akan pergi?" tanya Anggini.

"Sebaiknya kita tinggalkan saja bukit ini. Sambil berjalan kita bisa bicara ke mana kita akan pergi. Tapi jika aku boleh memilih, aku akan pergi ke tempat di mana kira-kira beradanya Pangeran Matahari."

"Mengapa begitu?" tanya Anggini.

"Dia biang racun dari segala malapetaka yang terjadi belakangan ini. Lalu, aku juga tidak akan pernah melupakan bahwa dialah yang telah menghamili lalu membunuh adik kembarku sendiri!" (Mengenai kematian gadis bernama Pandan Arum kisahnya dapat dibaca dalam "Kiamat Di Pangandaran" Episode terakhir dari "Wasiat Iblis" terdiri dari 8 Episode)

Bidadari Angin Timur memegang lengan Anggini. Dua gadis itu menuruni bukit sambil berpegangan tangan. Dalam hati Bidadari Angin Timur muncul selarik kegembiraan. Kini dia tahu pasti bahwa perjodohan antara Anggini dengan Wiro hanya tetap menjadi satu niat belaka, yang tak akan mungkin menjadi kenyataan. Berarti bagi Bidadari Angin Timur seorang saingan dalam memperebutkan cinta Pendekar 212, yaitu gadis bernama Anggini yang saat itu berjalan berdampingan bersamanya, tidak perlu dikhawatirkan lagi. Puti Andini yang juga mencintai Wiro telah meninggal dunia. Bunga gadis alam roh yang bagaimanapun juga sampai kiamat tak mungkin bersatu sebagai suami istri dengan Wiro. Jadi kini hanya Ratu Duyung seorang yang harus diperhatikannya.

"Sahabat, apa yang tengah kau pikirkan sambil melangkah?"

Suara Anggini mengejutkan Bidadari Angin Timur. Gadis ini tersenyum. Tapi tak menjawab.

SANG SURYA mulai condong ke barat ketika Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung turun dari biduk kecil yang ditumpanginya sampai di satu muara di kawasan selatan. Kini samudera luas terbentang di hadapan mereka. Ratu Duyung memandang ke langit, memperhatikan letak matahari.

"Kita tunggu sampai sang surya masuk ke tempat tenggelamnya. Pada saat itu kita baru masuk ke dalam laut," kata Ratu Duyung.

"Kenapa tidak masuk sekarang saja?" tanya Pendekar 212.

"Ada hitungannya Wiro...."

"Hitungan? Hitungan apa?" tanya Wiro sambil garuk-garuk kepala.

"Hitungan agar kita sampai pada waktu yang tepat dan baik. Agar maksud dan tujuan bisa terlaksana dengan baik pula...."

"Aku tidak mengerti. Tapi aku menurut apa yang baik menurutmu saja," kata Wiro. Lalu dia meneruskan. "Ingat peristiwa beberapa waktu lalu ketika pertama kali kau membawaku masuk ke dalam laut di pantai selatan ini?"

Ratu Duyung tersenyum. "Apa yang masih kau ingat, Wiro?"

"Waktu itu sehabis pertempuran besar di Pangandaran. Aku naik kereta putih bersamamu. Kereta itu menuruni pantai, masuk ke dalam laut. Aku ketakutan...."

"Kau takut mati. Tapi tidak mati kan?" ujar Ratu Duyung pula sambil tersenyum.

"Sekarang kau tidak membawa kereta. Bagaimana caranya kita bisa masuk ke dalam laut?"

Ratu Duyung tertawa.

"Tanpa kereta kita bisa lebih cepat sampai ke tujuan. Atau mungkin kau punya usul bagaimana caranya kita bisa sampai lebih cepat?"

Pendekar 212 tertawa. Lalu gelengkan kepala.

"Wiro, satu hal harus kau ingat baik-baik," kata Ratu Duyung. "Keadaan samudera kawasan selatan saat ini, dibanding ketika dulu pertama kali kau bersamaku masuk ke sana, jauh berbeda. Dulu aku masih menjadi orang dalam yang bisa bergerak bebas ke mana aku suka. Sekarang setelah aku terlepas dari kutukan berkat pertolonganmu, aku bukan lagi orang dalam. Langkahku terbatas. Gerak gerikku akan diawasi. Jadi kita harus berlaku sangat hati-hati. Jangan sampai berbuat salah atau keliru. Begitu berada dalam air, kau harus mengerahkan Ilmu Menembus Pandang hingga daya penglihatanmu bisa lebih luas. Lalu satu hal lagi. Sebelum kita sampai ke kawasan tempat kediaman Nyi Roro Agung, di dalam air kau tidak akan bisa bicara. Jadi jangan coba-coba membuka mulut. Kecuali kalau kau Ingin perutmu kembung kemasukan air laut!"

"Semua ucapanmu akan kuperhatikan Ratu," kata Wiro pula. "Mengenai Nyi Roro Manggut yang akan kita temui itu. Apakah dia...."

"Ingat, aku bukan lagi orang dalam. Aku punya pantangan. Tidak boleh menerangkan segala sesuatu menyangkut isi samudera kawasan selatan. Mengenai Nyi Roro Manggut, kalau Nyi Roro Agung memberi izin kau akan bertemu sendiri dengan dia. Kau bisa mengajukan seribu satu pertanyaan."

"Bagaimana kalau Nyi Roro Agung tidak memberi izin?" tanya Wiro.

"Berarti kita harus menunggu sampai bulan purnama mendatang. Saat itu biasanya Nyi Roro Agung bersikap baik dan mengabulkan segala sesuatu yang dipinta."

Wiro menarik nafas dalam, menggaruk kepala. Lalu lama sekali dia memandang ke tengah laut sementara sang surya semakin condong ke barat.

"Apa yang tengah kau pikirkan? Apa yang ada dalam benakmu?" bertanya Ratu Duyung.

"Kau ingat sewaktu terjadi pertempuran antara guruku Eyang Sinto Gendeng dengan si gendut Bujang Gila Tapak Sakti di Bukit Menoreh?"

"Saat itu aku masih dalam keadaan terluka berat. Terbaring tak berdaya. Tapi apa yang terjadi sempat kusaksikan semua. Dua orang itu, apa yang terjadi dengan diri mereka. Berkelahi mau saling berbunuhan. Padahal masih satu golongan, dan selama ini ia selalu bersahabat...."

"Orang-orang berkepandaian tinggi memang terkadang suka berlaku aneh," kata Wiro. "Tapi aku yakin mereka tidak ada maksud untuk sungguhan saling membunuh."

"Lalu apa maksud pertanyaanmu tadi, apa kau ingat akan pertempuran mereka?" tanya Ratu Duyung pula.

"Aku pernah mendengar ucapan orang-orang tua. Katanya seorang guru tidak pernah mewariskan seluruh kepandaiannya pada muridnya. Menurutmu bagaimana?"

"Bukan menurutku bagaimana," jawab Ratu Duyung. "Tapi justru aku mau tahu kenapa kau bertanya seperti itu. Agaknya ada satu ganjalan dalam dirimu?"

Wiro menggaruk kepala. Memandang ke tengah laut. "Sudahlah, lupakan saja apa yang aku tanyakan tadi."

Ratu Duyung pegang tangan Wiro. "Jangan kau berkata seperti itu. Apa yang menjadi ganjalan dalam dirimu tidak akan pernah lenyap hanya dengan ucapan seperti itu. Satu ketika hal itu akan muncul kembali...."

"Hemmm.... Baiklah. Akan aku sampaikan apa yang menjadi unek-unekku. Ketika Eyang Sinto Gendeng dibuat panik oleh serangan hawa dingin Bujang Gila Tapak Sakti, guruku itu menyerang dengan dua larik sinar biru yang keluar dari sepasang matanya. Dua sinar itu seperti sepasang pedang raksasa, membabat bersilangan.

Dahsyatnya bukan kepalang. Puncak gunung karang sekali pun kalau kena dihantam pasti akan papas buntung...."

Wiro hentikan ucapannya ketika dilihatnya Ratu Duyung tersenyum.

"Ratu, mengapa kau tersenyum?"

"Aku maklum sudah. Eyang Sinto Gendeng tidak pernah mengajarkan atau memberikan ilmu itu padamu. Itu yang membuat hatimu kecewa dan menjadi ganjalan. Mungkin juga merasa dirimu tidak dipercaya untuk menguasai ilmu itu."

"Apa yang kau katakan memang benar adanya...."

"Eyang Sinto Gendeng pasti punya alasan mengapa tidak mewariskan ilmu itu. Atau belum mewariskan ilmu itu padamu."

Wiro mengangguk.

"Beliau memang pernah berkata. Aku belum pantas, belum bisa dipercaya untuk memiliki ilmu itu," kata Wiro pula. (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Munculnya Sinto Gendeng")

"Kalau begitu kau tak perlu kecewa. Satu ketika ilmu luar biasa itu pasti akan diajarkannya padamu."

"Sewaktu Bujang Gila Tapak Sakti dilabrak serangan itu, dalam kejutnya pemuda gendut itu berseru menyebut ilmu yang dikeluarkan Eyang Sinto Gendeng. Sepasang Sinar Inti Roh."

"Wiro sebaiknya kau tak usah menurutkan perasaan. Bukankah ada ujar-ujar mengatakan. Jangan perasaan menipu jalan pikiran...."

Wiro tertawa. Dibelainya punggung Ratu Duyung sehingga gadis bermata biru ini merasa sejuta kebahagiaan. Dua matanya yang biru bagus dipejamkan. Dalam keadaan seperti itu dia berkata.

"Wiro, jika kau masih belum puas, mungkin aku bisa membantu."

"Kau mau meminta guruku agar mengajarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu padaku?" tanya Wiro.

Ratu Duyung gelengkan kepala lalu berkata. "Aku juga memiliki ilmu kesaktian menyerupai ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu. Dua mataku bisa mengeluarkan sinar biru atau hijau, menyambar bersilang seperti sepasang pedang. Tapi dibanding dengan Sepasang Sinar Inti Roh, ilmu yang kumiliki kehebatannya mungkin tidak ada sepersepuluhnya. Kalau kau suka, aku bisa mengajarkan dan memberikan ilmu itu padamu."

"Ratu...." ujar Wiro. "Aku senang sekali mendengar ucapanmu itu. Tapi aku sudah terlalu banyak berhutang budi padamu. Kau telah memberikan beberapa ilmu kesaktian padaku. Aku tak berani menerima budi lebih banyak. Di samping itu sebenarnya aku juga telah memiliki ilmu mirip-mirip seperti yang dipunyai Eyang Wiro. Namanya ilmu Sepasang Pedang Dewa. Aku dapat dari Datuk Rao Basuluang Ameh, seorang mahluk setengah roh setengah manusia yang konon telah meninggal sekitar seratus tahun lalu. tapi jika dibanding dengan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh milik guruku, ilmu Sepasang Pedang Dewa agaknya masih berada satu dua tingkat di bawah...."

"Wiro, jika kau bicara perihal budi, ketahuilah budi hanyalah sekedar ucapan. Dari apa yang didapatnya si penerima budi akan menanam dan mendapatkan kebaikan di kemudian hari. Sedang si pemberi budi sendiri tidak kehilangan apa-apa....

"Terima kasih Ratu, aku tak mau membebani diriku dengan terlalu banyak ketanaman budi." Kata Wiro pula sambil memegang lengan Ratu Duyung. Sang Ratu letakkan tangannya di atas tangan Wiro yang memegang lengannya.

"Wiro, aku jadi berpikir. Gurumu memiliki ilmu yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh. Kau punya ilmu Sepasang Pedang Dewa, dan aku punya ilmu Sepasang Pedang Sinar Dasar Samudera. Tiga ilmu kesaktian itu memiliki kesamaan. Sama-sama keluar dari dalam mata. Menurutmu apakah ketiganya tidak bersumber pada ilmu yang sama? Warisan dari seorang tokoh sakti mandraguna yang sama?"

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya.

"Bisa jadi. Tapi siapa yang mau menyelidik?" Wiro diam sebentar lalu melanjutkan ucapannya. "Ratu Duyung, saat ini kita tengah menghadapi satu urusan besar. Aku tahu kau ada perselisihan dengan Bunga. Tetapi ketulusan hatimu menunjukkan bahwa budimu begitu luhur. Kau masih mau membantu aku untuk menyelamatkan gadis dari alam roh itu...."

Ratu Duyung diam saja. Dalam hati dia berkata. "Tak mungkin bagiku untuk mengatakan terus terang padamu Wiro. Bahwa aku menolong gadis alam roh itu semata-mata karena cinta kasihku padamu. Sebagai manusia biasa aku tidak bisa melepaskan diri dari berbagai rasa dan harapan."

Perlahan-lahan Ratu Duyung sandarkan kepalanya ke dada bidang berotot Wiro. Sang pendekar merangkul bahu Ratu Duyung, memeluknya erat-erat lalu perlahan-lahan rundukkan kepala mencium kepala gadis itu. Ratu Duyung tengadahkan wajahnya. Ketika dia menarik mesra kepala sang pendekar dan sesaat lagi bibir mereka akan saling kecup, tiba-tiba Wiro sadar. Jari-jari tangannya ditempelkan di atas bibir sang dara hingga bibir mereka tidak jadi saling bersentuhan.

"Kita tengah menghadapi urusan besar. Seperi katamu tadi jangan perasaan kita mempengaruhi pikiran."

Ratu Duyung buka sepasang matanya yang bagus yang barusan sempat dipejamkan, mendesah lirih.

"Sejak lama aku merindukan keadaan seperti Ini Wiro. Kau dan aku berdua-dua. Tapi...." Ratu Duyung menarik nafas dalam. "Aku mengerti. Kita tengah menghadapi urusan besar. Mungkin aaja penguasa kawasan ini tidak suka melihat tindak tanduk kita hingga apa yang kita harapkan dari mereka tidak kesampaian.

DI BALIK serumpunan semak belukar lebat tak jauh dari tempat Wiro dan Ratu Duyung berada, dua gadis cantik yang sejak tadi sembunyi memperhatikan Wiro dan Ratu Duyung sama-sama kelihatan jengah paras masing-masing. Keduanya lalu sama-sama menarik nafas panjang.

"Anggini, aku tak mau lebih lama berada di tempat ini. Lebih baik kita pergi sekarang juga...." Yang bicara adalah gadis berpakaian biru tipis dan tubuhnya menebar bau harum. Dia bukan lain Bidadari Angin Timur, gadis yang selama ini begitu mendalam cintanya terhadap Wiro. Dadanya terasa sesak. Sepasang matanya berkaca-kaca.

Gadis di sebelahnya yaitu Anggini, pegang tangan Bidadari Angin Timur. Dua tangan yang saling berpegangan itu sama berkeringat dan dingin.

"Aku tahu perasaanmu, sahabatku," kata Anggini yang bicara sambil memandang ke jurusan lain karena dua matanya juga tampak mulai basah. Walau dia sadar sepenuhnya bahwa perjodohannya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng sulit akan menjadi kenyataan, namun dia tidak bisa menipu diri sendiri. Saat itu rasa cemburu menyumpal relung hatinya karena seperti Bidadari Angin Timur dia pun mengasihi Wiro.

KETIKA sang surya masuk ke titik tenggelamnya, kawasan samudera selatan mulai diselimuti kegelapan. Keheningan alam hanya ditandai oleh tiupan angin yang kini terasa agak mencucuk.

"Sudah saatnya Wiro," kata Ratu Duyung.

"Pegang lengan kiriku. Jangan lepaskan sebelum kepalamu berada tiga tombak di bawah permukaan air. Nanti aku akan memberi tanda. Kau siap?"

Wiro mengangguk. Dia merasa sedikit tegang. Ratu Duyung angkat tangan kirinya. Wiro segera pegang lengan gadis itu. Satu hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuh Pendekar 212. Hawa ini merambat lebih banyak di bagian dada, leher, jalan pernafasan termasuk hidung dan mulut serta mata. Inilah hawa sakti yang bisa membuat Wiro berada dalam lautan seperti dia berada di daratan.

Wiro dan Ratu Duyung melangkah bergandengan tangan di atas pasir pantai. Pecahan ombak membasahi kaki dan pakaian mereka. Saat demi saat sepasang kaki ke dua orang itu memasuki air laut semakin dalam. Ketika air laut mencapai pinggang Wiro mulai merasa dingin. Di sebelahnya Ratu Duyung tampak tenang.

Air laut naik sampai ke dada. Terus naik mencapai leher. Tak selang berapa lama kepala kedua orang itu tak kelihatan lagi, lenyap di bawah permukaan air. Di dalam air Wiro melangkah terus. Gerakannya tambah cepat. Air laut bersibak keras di kiri kanannya. Wiro mengikuti. Tangannya memegang lengan si gadis erat-erat. Kemudian dia merasakan dua kakinya tidak menginjak pasir lagi. Di sebelahnya Ratu Duyung mulai berenang. Wiro ikut berenang. Lalu sang Ratu sentakkan tangan kirinya. Itulah tanda yang dikatakan Ratu Duyung. Berarti saat itu mereka telah berada tiga tombak di bawah permukaan air laut. Wiro lepaskan pegangannya pada lengan kiri Ratu Duyung. Lalu dia sadar kalau dia belum mengerahkan Ilmu Menyusup Pandang. Segera dia keluarkan ilmu ini. Satu keanehan serta merta terasa. Keadaan yang tadi remang-remang kini menjadi lebih terang seolah dia berada di udara terbuka dalam keadaan rembang sore.

MAKIN jauh masuk ke dasar samudera air laut terasa tambah dingin. Wiro terpaksa kerahkan hawa sakti hangat ke sekujur tubuh agar gerakannya berenang tidak kaku. Saat itu dia tertinggal jauh di belakang Ratu Duyung. Di satu tempat Ratu Duyung berhenti, menunggu sampai Wiro mendekat. Gadis ini kemudian menunjuk ke arah depan. Memandang ke arah yang ditunjuk, di kejauhan Wiro melihat satu dinding batu kelabu, membujur dari kiri ke kanan. Demikian tinggi dan panjangnya dinding ini hingga tidak kelihatan bagian atas dan tak tampak ujung jari kiri maupun kanan. Lapat-lapat Wiro mendengar suara bebunyian seperti alunan gamelan.

Wiro hendak membuka mulut bertanya. Air laut langsung masuk ke dalam mulutnya. Ratu Duyung mengangkat tangan memberi tanda lalu berkata.

"Wiro, kau belum masuk ke dalam kawasan kekuasaan Nyi Roro Agung. Jadi belum mampu untuk bicara. Dengar saja apa yang aku ucapkan."

Ratu Duyung menunjuk ke arah dinding kelabu

"Itu Tembok Karang Abad. Pembatas kawasan kediaman Nyi Roro Agung dengan dunia luar. Tembok itu berusia ratusan bahkan ribuan tahun. Tidak satu kekuatan dari luar pun bisa menembus tembok itu. Kita harus masuk melalui Pintu Gerbang Naga Biru. Letaknya di sebelah sana. Ikuti aku...."

Ratu Duyung berenang menyusuri pinggiran Tembok Karang Abadi ke arah barat. Makin jauh berenang keadaan semakin redup dan air laut bertambah dingin. Hawa panas yang diandalkan Wiro untuk melindungi diri dari dinginnya air laut ternyata masih bisa ditembus hingga pemuda ini berenang setengah menggigil. Melihat Wiro sering-sering tertinggal di belakang dan cara berenangnya yang tersendat-sendat Ratu Duyung segera dekati si pemuda. Telapak tangan kanannya ditempelkan ke dada Wiro lalu perlahan-lahan dia alirkan hawa sakti ke dalam tubuh sang pendekar. Tak selang berapa lama Wiro merasakan tubuhnya menjadi hangat dan pemandangannya jernih kembali. Dia angguk-anggukkan kepala pada Ratu Duyung sebagai tanda ucapan terima kasih.

Ratu Duyung kembali berenang ke arah barat. Di kejauhan Wiro melihat ada bagian dinding berbcnluk gapura tinggi. Di atas gapura bergelung patung besar seekor naga berwarna biru. Agaknya itulah Pintu Gerbang Naga Biru, pikir Wiro.

Hanya beberapa belas tombak menjelang sampai ke Pintu Gerbang Naga Biru, tiba-tiba pada Tembok Karang Abadi kelihatan dua belas titik bercahaya terang kebiruan. Titik cahaya ini makin lama makin besar dan tambah terang. Lalu selagi Wiro memperhatikan dan bertanya cahaya apa gerangan itu adanya tiba-tiba bett... bett... bett! Dua belas titik terang menembus tembok. Di lain kejap kelihatan dua belas sosok gadis berwajah cantik berambut panjang tergerai melesat dalam air dan dalam waktu singkat telah mengurung Wiro serta Ratu Duyung. Di tangan masing-masing gadis cantik tergenggam sebuah tongkat memancarkan warna biru terang.

Yang membuat murid Sinto Gendeng jadi terkesima bukan saja kecantikan wajah dua belas gadis, bukan pula rambut yang hitam tergerai lepas, bukan kehebatannya yang sanggup menembus dinding karang. Tetapi juga pakaian yang begitu minim yang melekat di tubuh dua belas gadis hingga keadaan mereka nyaris polos. Selagi Wiro terkagum-kagum begitu rupa, tiba-tiba salah seorang gadis yang memegang tongkat paling besar membentak. Agaknya dia adalah pimpinan dari rombongan gadis-gadis cantik itu.

"Siapa berani mati memasuki kawasan kekuasaan Nyi Roro Agung tanpa izin?"

Wiro garuk-garuk kepala tak bisa menjawab. Gadis yang barusan bicara melesat ke arahnya. Tongkat biru menyala disorongkan ke depan kepala Pendekar 212.

"Ah...." Gadis pembawa tongkat besar keluarkan seruan tertahan. Dia tidak menyangka orang yang berada di hadapannya ternyata seorang pemuda berwajah sangat gagah. Belasan tahun hidup di dasar samudera baru hari itu dia melihat pemuda segagah yang ada dihadapannya. Tapi ingat tugas, dia tak mau larut dalam perasaan. Kembali gadis ini membentak.

"Kau siapa? Apa keperluanmu berada di tempat ini?!"

"Nyi Kantili, aku yang membawa pemuda itu ke sini. Harap maaf kalau aku tidak sempat memintakan izin. Waktu dan kemampuanku sangat terbatas." Satu suara tiba-tiba menggema di dalam air.

Nyi Kantili dan sebelas gadis bertongkat biru menyala sama palingkan kepala ke arah kiri. Dua belas gadis ini keluarkan seruan pendek ketika mengetahui siapa yang barusan bicara.

"Ratu Duyung! Ah, kau rupanya...." ujar gadis bernama Nyi Kantili. "Kawan-kawan, berikan penghormatan pada Ratu Duyung!"

Dua belas gadis di bawah pimpinan Nyi Kantili membungkuk dalam sambil membabatkan tongkat masing-masing dua kali berturut-turut.

"Nyi Kantili dan para sahabat. Terima kasih atas penghormatan itu. Rasanya semua itu tidak perlu lagi diberikan padaku. Kita ini hidup dalam alam yang berbeda...."

"Ratu Duyung, walau bagaimanapun kau adalah yang pernah menjadi pimpinan dan sahabat kami. Kami merasa bahagia bisa bertemu lagi dengan dirimu." Nyi Kantili melirik pada Wiro lalu bertanya. "Ratu Duyung, kalau kami boleh bertanya siapakah adanya pemuda ini? Kau tadi berkata bahwa kaulah yang membawa dirinya ke sini."

"Nyi Kantili, pemuda ini bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212. Beberapa waktu lalu dia telah pernah datang ke kawasan kekuasaan Nyi Roro Agung namun waktu itu kami datang dari arah Pangandaran hingga kau tidak berkesempatan menemuinya karena tugasmu di wilayah ini. Jauh dari Pangandaran...."

"Hmm.... Kami memang pernah mendengar peristiwa hebat itu. Waktu itu walau tidak bisa menemui dirimu tapi kami para sahabat merasa bahagia bahwa kau berhasil lepas dari hukum kutukan...."

"Semua berkat pertolongan pemuda bernama Wiro ini," kata Ratu Duyung pula.

"Ooh, jadi dia...?" Kembali Nyi Kantili dan sebelas gadis lainnya arahkan pandangan pada wajah gagah Pendekar 212. "Ratu Duyung, harap kau suka memberi tahu maksud kehadiranmu di sini. Kami tidak bisa terlalu lama berada di luar Tembok Karang Abadi."

"Aku mengerti," jawab Ratu Duyung. "Nyi Kantili, untuk satu keperluan sangat penting pemuda sahabatku ini ingin bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Aku minta pertolonganmu dan para sahabat untuk membawanya ke hadapan Nyi Roro Manggut. Tentunya setelah mendapat izin dari Nyi Roro Agung."

"Apa yang kau mintakan akan kami lakukan. Namun kami tak bisa mengajakmu serta...."

"Nyi Kantili, aku tahu. Sejak perubahan diriku aku tidak bisa keluar masuk kawasan kediaman Nyi Roro Agung sebebas seperti dulu lagi. Sampaikan salam hormatku pada Nyi Roro Agung dan Nyi Roro Manggut. Aku akan tetap berada di sini sampai pemuda sahabatku selesai dengan urusannya."

"Ratu Duyung, kami akan menolong sebisa yang kami lakukan. Kami merasa senang bisa bertemu denganmu. Kami harus pergi sekarang," kata Nyi Kantili.

Ratu Duyung mengangguk dan lambaikan tangan. Pada Wiro dia berkata. "Ikutlah bersama Nyi Kantili dan kawan-kawannya. Ingat, begitu kau sampai di balik Tembok Karang Abadi kau baru bisa bicara."

Wiro lambaikan tangan pada Ratu Duyung lalu bergerak mengikuti Nyi Kantili dan sebelas gadis lainnya. Kalau tadi mereka keluar dengan cara menembus Tembok Karang Abadi maka karena membawa Wiro para gadis itu melewati Pintu Gerbang Naga Biru.

Di hadapan pintu gerbang Nyi Kantili membuat gerakan-gerakan seperti menusuk, membabat dan membacok dengan tongkat besar biru bercahaya di tangan kanannya, gerakan-gerakan itu bukan gerakan sembarangan karena merupakan sembilan gerakan rahasia yang mampu membuka Pintu Gerbang Naga Biru. Selesai membuat gerakan sembilan, secara aneh pintu gerbang yang terbuat dari batu kelabu dan memiliki dua buah daun pintu mengeluarkan suara berdesir lalu bergerak membuka ke dalam.

Enam orang anak buah Nyi Kantili melesat masuk. Nyi Kantili sendiri memberi isyarat pada Wiro agar mengikuti. Sebelum bergerak Wiro berpaling pada Ratu Duyung. Setelah lambaikan tangan murid Sinto Gendeng ini segera berenang melewati pintu. Pada saat kepalanya tepat berada di bawah pintu gerbang, tiba-tiba terdengar suara menggemuruh. Air laut bergelombang menimbulkan gelembung-gelembung aneh. Pintu gerbang bergetar, mengeluarkan suara berderik. Ada sesuatu bergerak di atas sana. Ketika Nyi Kantili dan anak buahnya mendongak ke atas mereka sama mengeluarkan pekik terkejut. Patung Naga Biru besar yang melingkar di atas pintu gerbang kelihatan menggerakkan kepala dan ekornya.

"Nyi Kantili! Patung Naga Biru hidup!" seru seorang anak buah Nyi Kantili.

"Batara Tunggal! Gusti Allah Maha Kuasa!" mengucap Nyi Kantili dengan suara gemetar sementara sebelas anak buahnya menunjukkan wajah pucat. Bagaimana mungkin selama ratusan tahun patung Naga Biru yang terbuat dari batu, mendekam diam kaku membatu tiba-tiba kini bisa menggerakkan kepala dan ekor seolah hidup!"

Di tempatnya berdiri Ratu Duyung juga ikut terkejut. "Ya Tuhan, pertanda apakah ini?" mem batin sang Ratu lalu bergerak menjauh menjaga segala kemungkinan.

Di atas pintu gerbang besar Naga Biru buka mulutnya. Air menyembur dari dalam mulut disertai suara menggumuruh yang membuat Seantero tempat kembali bergetar. Lidah menjulur merah, taring mencuat mengerikan. Tiba-tiba binatang itu bergerak meluncur ke bawah.

Nyi Kantili mendorong punggung Wiro.

"Pendekar 212 lekas masuk!"

Wiro melesat melewati bagian bawah pintu gerbang. Nyi Kantili mengikuti, disusul lima gadis anak buahnya yang berada di sebelah belakang. Tapi lebih cepat dari gerakan orang-orang itu, di atas sana Naga Biru meluncur ke bawah. Air laut laksana terbelah. Tepat pada saat semua orang sudah masuk ke dalam dan pintu gerbang tertutup kembali, sosok Naga Biru telah melingkar di hadapan mereka. Badan bergelung di dasar samudera sedang kepala tegak mendongak siap hendak menerkam.

"Celaka! Bertemu Nyi Roro Manggut saja belum! Ternyata nyawaku akan amblas di tempat ini!" membatin Pendekar 212.

KITA tinggalkan dulu peristiwa hebat yang terjadi di balik Tembok Karang Abadi, di belakang Pintu gerbang Naga Biru. Kita kembali pada Adipati Jatilegowo yang tengah memacu kudanya ke arah derap kaki kuda di kejauhan. Siapa pun penunggang kuda di depan sana dia yakin adalah orang yang telah melarikan Nyi Larasati.

Pengejaran yang dilakukan Jatilegowo memasuki hutan jati di sebelah barat Tegalrejo. Di satu bebukitan sekeluarnya dari hutan jati Jatilegowo melihat orang yang dikejarnya menyusuri anak Kali Progo menuju ke selatan. Karena kenal betul seluk beluk kawasan itu, Jatilegowo menuruni bukit; mengambil jalan memotong. Tak selang berapa lama dia berhasil mendahului orang yang dikejarnya lalu menghadang di satu jalan mendaki.

"Jahanam! Tanganku .sudah gatal ingin menghajar bangsat minta mampus berani mati melarikan Nyi Larasati!" kata Jatilegowo. Tanpa turun dari kudanya lelaki tinggi besar ini keluarkan Badik Sumpah Darah. Dengan ujung senjata sakti ini dia membuat torehan dalam seputar batang sebuah pohon lalu menunggu. Tak selang berapa lama di kejauhan kelihatan seorang penunggang kuda menuruni bukit dengan cepat. Di pangkuannya melintang sosok seorang perempuan yang bukan lain Nyi Larasati adanya.

Beberapa tombak lagi penunggang kuda itu akan sampai di tempatnya berada, Jatilegowo dorong kuat-kuat bagian atas batang pohon yang telah ditorehnya. "Kraaakkk!" Pohon cukup besar itu berderak patah lalu

tumbang menggemuruh, jatuh melintang di tengah jalan. Kuda yang tengah berlari cepat di jalan menurun meringkik keras, coba hentikan larinya. Akibat berhenti mendadak dua orang yang ada di atas punggungnya mencelat mental. Nyi Larasati mencelat lebih tinggi dan lebih jauh sementara si penunggang kuda yang rupanya memiliki kepandaian cukup tinggi, walau terlempar begitu rupa namun ketika jatuh ke tanah dia masih mampu tegak di atas dua kakinya. Malah dengan sigap dia membuat gerakan kilat ke arah jatuhnya sosok Nyi Larasati. Sebelum tubuh janda yang masih dalam keadaan tertotok itu jatuh ke tanah dengan cepat orang ini membawa Nyi Larasati ke tempat yang dianggapnya aman. Namun baru bergerak empat langkah tiba-tiba satu bayangan tinggi besar berkelebat di depannya. Satu bentakan menggeledek.

"Jahanam Loh Gatra! Kau rupanya!"

Orang yang mendukung dan menyelamatkan Nyi Larasati saat itu memang adalah Loh Gatra, pemuda cakap cucu Ki Sarwo Ladoyo, sesepuh Kadipaten Temanggung.

Dalam Episode pertama (Badik Sumpah Darah) dikisahkan bagaimana Loh Gatra atas perintah kakeknya pergi ke satu bukit kapur di selatan Gunung Merbabu untuk mencari orang tua berjuluk Kakek Segala Tahu. Dari kakek ini diharapkan bisa didapat keterangan mengenai di mana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Menurut Ki Sarwo Ladoyo, Wiro adalah satu-satunya orang rimba persilatan yang bisa menolong Nyi Larasati dari maksud jahat Adipati Jatilegowo serta menyelamatkan Kadipaten Temanggung dari kehancuran.

Dalam perjalanan menuju bukit kapur Loh Gatra dihadang oleh tiga orang tak dikenal. Ketiga orang itu kemudian diketahui adalah orang-orang suruhan Adipati Jatilegowo yang berusaha menggagalkan rencana Loh Gatra untuk mencari Kakek Segala Tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Dalam keadaan terdesak hebat dan luka muncullah Wiro menyelamatkan Loh Gatra. Loh Gatra sendiri tidak tahu kalau yang telah menolongnya itu sebenarnya adalah Pendekar 212 yang tengah dicarinya.

Ketika beberapa waktu kemudian Jatilegowo dan rombongannya muncul di Kadipaten Temanggung dan memaksa Nyi Larasati untuk dijadikan istri, keributan tak dapat dihindari. Dalam kemarahan yang menggelegak Jatilegowo berlaku nekad hendak menghabisi Nyi Larasati dengan pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit." Saat itulah Loh Gatra berkelebat menghadang. Dengan bersenjatakan sebilah keris sakti pemberian kakeknya Ki Sarwo Ladoyo yakni keris Tumbal Bekisar, Loh Gatra menyabung nyawa menyelamatkan Nyi Larasati yang diam-diam dicintainya. Namun ilmu silat Loh Gatra masih jauh di bawah tingkat ilmu silat yang dimiliki Jatilegowo. Pemuda itu tak sanggup menghadapi pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit." bahkan kakeknya ikut kena hantaman hingga cidera berat.

Di saat-saat genting begitu rupa mucul Wiro. Sebelumnya di Kadipaten Temanggung telah lebih dulu muncul pemuda gendut Bujang Gila Tapak Sakti. Bagaimanapun hebatnya Jatilegowo, Adipati ini tak mungkin menghadapi dua pendekar yang tingkat kepandaian silat dan kesaktiannya telah menggegerkan rimba persilatan tanah Jawa itu. Tapi Jatilegowo tetap nekad. Apalagi dia tahu bahwa Wiro-lah yang telah membuat tanda bekas kecupan di leher istri mudanya. Maka Jatilegowo perintahkan pasukannya untuk menyerbu Kadipaten Temanggung.

Wiro masih mau memberi nasihat agar Jatilegowo membawa pasukannya kembali ke Salatiga. Ketika Adipati ini masih tetap keras kepala maka bersama Bujang Gila Tapak Sakti Wiro menggembosi ilmu "Dua Gunung Meroboh Langit" yang dimiliki Jatilegowo. Bahkan tidak cuma sampai di sana. Dengan ilmu "Menahan Darah Memindah Jazad" yang didapatnya di Negeri Latanahsilam, Wiro seenaknya memindahkan hidung Andipati Jatilegowo ke kening. Dalam keadaan babak belur habis-habisan serta dihina demikian rupa Jatilegowo bersama pasukannya akhirnya tinggalkan Kadipaten Temanggung.

"Pemuda jahanam! Turunkan Nyi Lara! Lalu datang berlutut di hadapanku untuk menerima kematian!"

Bentakan Jatilegowo tidak membuat takut Loh Gatra. Pemuda ini malah menjawab dengan suara tak kalah keras.

"Pelajaran dari Pendekar 212 dan Bujang Gila Tapak Sakti rupanya tidak membuatmu jera! Kau masih berkeliaran meneruskan niat kejimu! Nyi Lara tidak suka padamu! mengapa memaksa malah menculiknya! Kebejatanmu bukan cuma sampai di situ. Kau telah membunuh kakekku!"

"Pemuda keparat! Bagus kalau kau sudah tahu kalau kakekmu telah jadi bangkai! Sebentar lagi kau akan segera menyusul kakekmu itu! Kau mencampuri urusanku telah kelewat jauh. Turunkan Nyi Lara! Atau kalian berdua akan kubantai sekaligus!"

Loh Gatra tidak takut ancaman Jatilegowo terhadap dirinya. Tapi jika Nyi Larasati sampai cidera, itu yang dikawatirkannya. Karenanya pemuda ini segera baringkan tubuh Nyi Larasati di bawah sebatang pohon.

"Bagus! Sekarang datang ke hadapanku untuk menerima kematian!" kata Jatilegowo begitu Loh Gatra selesai membaringkan tubuh Nyi Lara di tanah.

Loh Gatra balikkan badan. Begitu dia menghadapi Jatilegowo di tangan kanannya pemuda ini telah menggenggam sebilah keris terbuat dari perak murni, memancarkan cahaya terang berkilauan. Inilah Keris Tumbal Bekisar, pemberian Ki Sarwo Ladoyo kakeknya. Dulu ketika bertempur melawan Jatilegowo, kalau tidak memegang senjata bertuah ini Loh Gatra niscaya menemui ajal dihantam pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit." Loh Gatra menyaksikan sendiri bagaimana Pendekar 212 Wiro sableng dan temannya si gendut Bujang Gila Tapak Sakti memusnahkan ilmu pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit" yang dimiliki Jatilegowo. Karena itu dia yakin kali ini dia akan dapat menghadapi Adipati Salatiga itu, menyelamatkan Nyi Larasati dan sekaligus menuntut balas atas kematian kakeknya. Si pemuda sayangnya tidak tahu, walau Jatilegowo tidak lagi memiliki ilmu pukulan maut "Dua Gunung Meroboh Langit", namun dia kini membekal sebilah senjata sakti mandraguna yang kehebatannya lebih dahsyat dari ilmu pukulan itu.

Jatilegowo sunggingkan senyum mengejek.

"Ternyata kau masih menyimpan senjata rongsokan itu! Kau mau membunuh aku dengan keris itu?! Silakan maju! Cari bagian tubuhku paling empuki"

Dengan sikap menantang tapi air muka merendahkan Jatilegowo buka dada bajunya lalu tangannya dilambaikan memberi isyarat agar Loh Gatra mendekat.

Diejek dan dianggap enteng seperti itu Loh Gatra jadi terpancing marah. Tenaga dalam dialirkan ke tangan kanan hingga pancaran cahaya Keris Tumbai Bekisar tambah terang.

"Lihat serangan!" teriak Loh Gatra. Tubuhnya melesat ke depan. Keris Tumbal Bekisar lenyap, berubah menjadi cahaya kemilau, membeset ke arah dada lalu membabat ke atas mengincar tenggorokan! Inilah jurus yang disebut "Bekisar Menyabung Gunung Menghujat Matahari".

"Loh Gatra! Jurusmu hanya pantas untuk menyerang anak kecil!" teriak Loh Jatilegawa lalu sambil tertawa bergelak dia mundur dua langkah. Begitu serangan keris lewat dia gerakkan tangan kanan untuk memukul hancur sambungan siku kanan lawan. Tapi Loh Gatra cepat merubah kedudukan kakinya, dengan tubuh dimiringkan dia kembali membabatkan Keris Tumbal Bekisar. Suara angin menggidikkan menderu dahsyat keluar dari ujung runcing dan badan keris. Kali Ini yang diarah adalah lambung Jatilegowo hingga manusia tinggi besar ini berseru kaget dan cepat melompat selamatkan perutnya.

Loh Gatra tak mau memberi kesempatan. Jurus "Bekisar Menyabung Topan" yang tadi gagal diteruskannya dengan jurus "Bekisai Menyabung Dinding Karang." Keris di tangan Loh Gatra bergetar demikian rupa hingga kelihatan seolah berubah menjadi enam buah, menderu ganas dari pinggang kiri ke arah dada kanan, begitu tidak mengenai sasaran membalik dari bahu kanan ke arah leher!

"Hebat!" teriak Jatilegowo. Dia kembangkan tangan kirinya untuk menangkis serangan maut Keris Tumbal Bekisar.

"Wuuutt!"

"Craasss!"

Keris Tumbal Bekisar menancap tepat di pertengahan telapak tangan kiri Jatilegowo. Ketika keris itu dicabut darah langsung menyembur. Anehnya walau cidera begitu rupa Jatilegowo seperti tidak merasakan apa-apa. Ingat peristiwa sewaktu dirinya diserang oleh mahluk aneh peliharaan Sarontang? Walau dua lengannya koyak besar berlumuran darah namun dia tidak merasakan apa-apa. Ini adalah berkat kesaktian Badik Sumpah Darah yang seolah telah menyatu dengan tubuhnya.

Sementara Loh Gatra terkesima melihat sikap lawan, dengan tenang Jatilegowo keluarkan Badik Sumpah Darah. Senjata ini kemudian diusapkannya ke telapak tangan kirinya. Serta merta luka bekas tusukan keris di telapak tangan itu sirna bahkan darah yang mengotori tangan Jatilegowo ikut lenyap.

"Luar biasa! Ilmu apa yang dimiliki Adipati jahanam ini!" membatin Loh Gatra. "Dia mampu menahan sakitnya luka! Badiknya mampu menyembuhkan cidera!"

Di hadapan Loh Gatra Jatilegowo tertawa mengekeh.

"Aku minta agar kau memilih bagian tubuhku paling empuk! Kau cuma menusuk telapak tanganku! Ha... ha... ha! Sekarang giliranku mencari bagian tubuhmu yang lunak! Lihat badik!"

Habis berkata begitu Jatilegowo menerjang sambil babatkan Badik Sumpah Darah. Sinar biru kehitaman berkiblat angker disertai deru menggidikkan.

Loh Gatra maklum kalau senjata di tangan lawan bukan senjata sembarangan. Dia cepat menyingkir ke kiri sambil susupkan Keris Tumbal Bekisar di arah bawah tangan lawan. Ujung keris mengarah tepat ke jantung Jatilegowo. Yang diserang menyeringai sinis dan keluarkan suara mendengus. Tiba-tiba tubuh besar Jatilegowo melesat ke atas. Tapi setengah jalan tubuh yang melayang itu menukik ke bawah. Badik Sumpah Darah membabat ganas ke arah kepala Loh Gatra.

Jurus "Bekisar Menyusup Mega" yang dilancarkan Loh Gatra ke arah jantung Jatilegowo disambut lawan dengan jurus "Badik Sakti Menebas Genta".

Sebenarnya saat itu serangan Loh Gatra maupun Jatilegowo masih bisa dielakkan oleh masing-masing pihak. Namun tidak terduga tumit kanan Loh Gatra terserandung akar pohon yang menyembul di permukaan tanah. Walau hanya

Sebentar dia kehilangan keseimbangan namun Jatilegowo tidak menyia-nyiakan kesempatan. Badik di tangan kanan Adipati Salatiga ini berkelebat ganas ke arah muka cucu Ki Sarwo Ladoyo!

Dalam keadaan seperti itu tidak ada kemungkinan bagi Loh Gatra untuk selamatkan diri dengan cara mengelak atau singkirkan dari serangan lawan yang datang cepat luar biasa. Satu-satunya jalan untuk cari selamat ialah dengan cara menangkis badik lawan dengan keris di tangan.

"Traang!"

Dua senjata sakti saling bentrokan di udara. Dua cahaya biru kehitaman dan putih berkilauan bersabung. Bunga api memercik berpijaran.

Loh Gatra keluarkan seruan tertahan. Dengan muka pucat pemuda ini melompat setengah tombak ke belakang. Ketika dia memperhatikan, dalam genggaman tangan kanannya hanya tinggal gagang dan sedikit sisa badan keris. Keris Tumbal Bekisar telah buntung dibabat Badik Sumpah Darah. Buntungannya mencelat mental entah ke mana! Selagi Loh Gatra terkesiap begitu rupa didahului bentakan menggeledek tiba-tiba Jatilegowo kembali menyerang.

Dengan mengandalkan tangan kosong tak mungkin Loh Gatra mampu menghadapi lawan. Lalu senjata apa yang akan dipergunakan? Dia tak punya senjata lain selain Keris Tumbal Bekisar yang kini telah buntung dan berubah hitam.

Untuk sedikit menghalangi serangan lawan Loh Gatra lemparkan gagang keris yang masih ada dalam genggamannya lalu secepat kilat dia melompat mematah cabang sebatang pohon kecil. Dengan cabang pohon sebagai senjata, Loh Gatra berjibaku coba menyambut serangan Jatilegowo.

Ganda tertawa Jatilegowo babatkan Badik Sumpah Darah.

"Kraakk! Kraaakk!"

Beberapa kali kena dibabat badik sakti, cabang pohon yang dijadikan senjata untuk bertahan oleh Loh Gatra habis dibabat buntung. Kini cabang itu hanya tinggal dua jengkal panjangnya!

"Celaka!" keluh Loh Gatra. Pemuda ini terpaksa melangkah mundur ketika Jatilegowo mendatanginya dengan Badik Sumpah Darah terpentang angker di tangan kanan.

"Wuuuttt!"

Serangan pertama berhasil dielakkan Loh Gatra.

"Wuttt!"

Loh Gatra masih mampu selamatkan diri dari sambaran badik berikutnya yang semakin dekat.

Ketika serangan ke tiga dilancarkan Jatilegowo, dengan berlindung di balik kuda miliknya Loh Gatra masih bisa bertahan.

"Jahanam! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" gertak Jatilegowo. Lalu saking kesalnya Adipati Salatiga ini tusukkan badik saktinya ke lambung kuda yang dijadikan tameng perlindungan oleh Loh Gatra.

Kuda besar warna coklat ini meringkik krias dua kali berturut-turut. Dua kaki depannya tersentak naik ke atas. Dari mulutnya keluar busa kuning. Sekali lagi binatang ini meringkik lalu tubuhnya terhempas ke tanah. Empat kaki melejang-lejang beberapa kali lalu akhirnya diam.

Kuda malang ini menemui ajal dengan sekujur kulit sampai ke bulunya berubah menjadi hitam akibat racun luar biasa jahat dari Badik Sumpah Darah! Racun badik yang berasal dari Pohon Tuba berusia ratusan tahun itu memang luar biasa. Kalau kuda sebesar itu saja bisa dibuat meregang nyawa demikian rupa, dapat dibayangkan bagaimana kejadiannya dengan tubuh manusia!

Pada saat kuda coklat besar miliknya roboh ke tanah Loh Gatra melompat ke balik pohon besar. Dengan cepat dia menyambar tubuh Nyi Larasati untuk dibawa lari. Namun baru sempat membungkuk, belum lagi tangannya menyentuh tubuh janda itu tiba-tiba seseorang berkelebat di sampingnya dan satu tendangan keras melanda pinggulnya.

Tak ampun lagi Loh Gatra terlempar sampai satu tombak, terguling-guling di tanah. Tulang pinggulnya sakit bukan kepalang, mungkin remuk. Ketika susah payah dia berusaha bangkit berdiri, tiba-tiba satu sosok tinggi besar melompat dihadapannya. Itulah Jatilegowo yang tegak menghunus Badik Sumpah Darah. Seringai maut bermain di mulutnya.

"Loh Gatra! Kau bakal menunggang bangkai kudamu pergi ke neraka menyusul kakekmu! Ha... ha... ha!"

"Kau mau bunuh aku! Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" teriak Loh Gatra sambil tangan kanannya bergerak ke pinggul seperti mengurut bagian yang cidera terkena tendangan. Tapi sebenarnya tangan itu menyusup ke balik pinggang pakaian di mana terselip sebuah senjata rahasia terbuat dari besi putih berbentuk bintang. Ketika tangan itu bergerak, satu cahaya putih menderu di udara.

Jatilegowo berseru kaget dan marah sekali ketika melihat ada benda melesat ke arahnya.

"pembokong jahanam!" maki Jatilegowo. Dia cepat miringkan kepala ke kiri. Tapi tak urung saiah satu mata bintang senjata rahasia yang dilemparkan Loh Gatra masih sempat menyerempet daun telinganya sebelah kanan hingga luka dan mengucurkan darah.

Didahului bentakan marah yang sekaligus merupakan teriakan kesakitan Jatilegowo melompat sambil babatkan Badik Sumpah Darah ke arah leher Loh Gatra. Cucu Ki Sarwo Ladoyo itu tak mampu membuat gerakan menyelamatkan diri atau menangkis. Pemuda ini hanya berdiam diri seperti pasrah.

Hanya sesaat lagi ujung badik beracun akan membabat batang leher Loh Gatra tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Satu tangan mendorong bahu Jatilegowo hingga sosok tinggi besar Adipati Salatiga ini terjajar ke samping. Ujung badik maut lewat seujung kuku di depan leher Loh Gatra!

ADIPATI Jatilegowo berteriak marah. Sambil membabatkan Badik Sumpah Darah dia berbalik. Bayangan putih yang tadi mendorongnya cepat melompat mundur. Dua tangan dipentang ke depan. Saat itu juga udara di tempat itu terasa dingin luar biasa.

"Jahanam! Kau rupanya!" teriak Jatilegowo ketika melihat siapa yang berdiri cengengesan di depannya sambil mengipas-ngipaskan kopiah hitam ke mukanya yang bulat gembrot, merah keringatan.

"Jahanam! Kau rupanya! Sama!" Orang itu keluarkan ucapan meniru bentakan Jatilegowo lalu tertawa gelak-gelak. Suara tawanya ini membuat gelombang udara dingin seperti mencucuk. Jatilegowo kertakkan rahang berusaha bertahan. Loh Gatra terbungkuk-bungkuk, sekujur tubuh menggigil. Sementara Nyi Larasati yang terbujur kaku di bawah pohon juga merasa ada udara dingin menyelimuti hingga janda cantik ini bergeletar sekujur tubuhnya.

Di hadapan Jatilegowo saat itu berdiri seorang pemuda gemuk luar biasa, rambut gondrong. celana hitam komprang, baju terbalik dan sehelai kain sarung butut melintang di atas bahunya. Di tangan kanannya si gendut ini memegang sebuah peci hitam yang dikipas-kipaskan ke wajahnya yang keringatan. Aneh, sementara semua orang kedinginan dia sendiri kepanasan dan keringatan. Padahal udara dingin yang menyungkup seantero tempat itu adalah hasil perbuatannya!

"Gendut jahanam! Kau memang masuk dalam daftar kematian manusia-manusia keparat yang akan kubunuh! Berani datang sendiri, hingga aku tidak susah-susah mencari!"

"Bujang Gila Tapak Sakti...." ujar Loh Gatra yang mengenali siapa adanya si gendut. Dia merasa bersyukur atas kemunculan pemuda yang telah menyelamatkan dirinya dari tangan maut Jatilegowo. Dia lantas ingat bagaimana bersama Pendekar 212 Wiro Sableng dulu bukan saja Adipati Salatiga itu telah dipermainkan, malah digembosi ilmu kesaktiannya. Dan di saat itu pula Loh Gatra ingat, bukankah Pendekar 212 waktu itu secara aneh telah memindahkan hidung Jatilegowo ke keningnya? Bagaimana sekarang cacat wajahnya itu pulih dan hidungnya kembali berada di tempat semula?

Jatilegowo sendiri juga ingat, pemuda gendut inilah dulu yang mempermalukannya habis-habisan, menggembosi kesaktiannya hingga dia kehilangan ilmu pukulan hebat yang disebut "Dua Gunung Meroboh Langit." Tidak heran kalau Jatilegowo sangat mendendam dan inginkan kematian Bujang Gila Tapak Sakti sebagaimana dia juga ingin membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Eh!" seru Bujang Gila Tapak Sakti sambil menuding Jatilegowo. "Dulu kawanku memindah hidungmu ke jidat! Sekarang mengapa tampangmu bisa bagus kembali? Tukang solder mana yang pandai mendadani tampangmu?! Kalau aku bisa bertemu dia akan kuminta memindahkan kemaluan kuda yang mati itu ke atas hidungmu biar tampangmu tambah bagus!" Habis berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak hingga dadanya yang gembrot dan perutnya yang buncit berayun-ayun.

Amarah Jatilegowo dihina seperti itu jadi meledak. Asap tipis mengepul dari ubun-ubunnya.

Tangannya yang memegang Badik Sumpah Darah bergetar. Tanpa banyak bicara, didahului suara menggembor keras Jatilegowo melompat ke arah si gendut. Badik sakti berkiblat di udara.

"Wah, marah dia rupanya!" Bujang Gila Tapak Sakti tertawa lebar, peci kupluk hitam di tangan kanan cepat disungkupkannya ke kepala. Lalu tangan kanannya diangkat ke atas, telapak mengembang terbuka diarahkan pada Jatilegowo.

Satu gelombang angin dingin luar biasa menggempur Adipati Salatiga itu. Sesaat tubuhnya mengambang di udara, tertahan tak bisa maju. Tapi begitu tangan kanannya membabatkan Badik Sumpah Darah ke depan dan selarik sinar biru kehitaman berkiblat, gelombang hawa dingin yang menahan gerakan serangannya serta merta terbelah buyar!

Bujang Gila Tapak Sakti berseru kaget ketika merasakan hawa dingin yang dilepasnya jebol bahkan bergerak membalik menyerangnya. Dengan cepat dia kibaskan tangan kiri. Serangan hawa dingin terpental ke samping. Baru saja dia selamat dari gelombang dahsyat miliknya sendiri tiba-tiba senjata di tangan lawan telah membeset di depan kepalanya!

"Edan!" maki Bujang Gila Tapak Sakti. Tubuhnya yang gendut luar biasa, enteng sekali melesat beberapa langkah ke belakang. Tahu bahaya dan ganasnya Badik Sumpah Darah, pemuda gendut ini cepat loloskan sarung bututnya. Dengan sarung ini dia hadapi serangan ganas senjata lawan yang datang bertubi-tubi.

Jatilegowo kerahkan seluruh tenaga dan menyerang dengan segala kecepatan yang bisa dilakukan. Sambaran angin yang keluar dari sa-rung di tangan si gendut menahan atau membuat mental setiap serangannya.

"Jahanam! Masakan hanya sehelai sarung butut dan bau sanggup mengalahkan badik saktiku!" maki Jatilegowo dalam hati. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam, genggam badik lebih erat lalu lancarkan serangan berantai laksana curahan hujan. Udara tertutup oleh larikan sinar biru kehitaman yang sabung-menyabung mengurung sosok gendut Bujang Gila Tapak Sakti.

"Breett!"

Satu tusukan kilat selagi sarung berkelebat di udara membuat sarung itu robek besar. Bujang Gila Tapak Sakti terkesiap dan maklum kalau senjata di tangan lawannya benar-benar tidak bisa dibuat main. Maka dia berseru pada pemuda bernama Loh Gatra.

"Loh Gatra! Lekas tinggalkan tempat ini. Selamatkan Nyi Larasati!"

Mendengar teriakan si gendut, Loh Gatra segera melompat ke arah pohon. Namun gerakannya tak terduga dipotong oleh Jatilegowo. Badik Sumpah Darah kembali berkiblat, membeset udara, mencari sasaran di dada Loh Gatra. Maksud si pemuda hendak mendekati sosok Nyi Larasati yang terbaring di bawah pohon gagal. Malah dadanya tak urung hampir dikoyak sambaran senjata maut di tangan Jatilegowo.

"Edan!" kembali Bujang Gila Tapak Sakti memaki. "Senjata di tangan Adipati keparat itu harus bisa kurebut!" Lalu si gendut menerobos menghadang serangan Jatilegowo kembali dengan mempergunakan kain sarung. Dalam amarahnya Jatilegowo membabat habis-habisan. Terdengar suara bret-bret berulang kali. Robekan kain sarung bertebaran di udara. Sesaat kemudian, kain sarung di tangan si gendut hanya tinggal seukuran kecil sebesar sapu tangan!

"Hah?!" Bujang Gila Tapak Sakti pelototkan matanya yang belok. "Benar-benar edan!" Si gendut palingkan kepala ke arah Jatilegowo.

"Adipati, aku minta badik saktimu! Atau aku pecahkan kepalamu!"

"Babi gendut! Jangan cuma mengancam! Buktikan ucapanmu!" ejek Jatilegowo dengan suara lantang.

"Begitu?!" ujar Bujang Gila Tapak Sakti. Dia tanggalkan kopiah hitam kupluk di kepala, berkipas-kipas beberapa kali lalu bett! Tubuh gendutnya berkelebat lenyap dan mendadak terdengar seruan kaget Jatilegowo ketika tiba-tiba lengannya yang memegang badik dicekal orang dari samping.

Tahu bahaya Jatilegowo hantamkan tangan kirinya.

"Bukkk!"

Pukulan kilat tak terduga itu memang mengenai sasaran yakni dada gembrot Bujang Gila Tapak Sakti, tapi sebaliknya bukkk! Kening Jatilegowo juga kena dihantam pukulan tangan kanan si gendut!

Jatilegowo melintir kesakitan. Kepalanya seperti pecah. Pemandangannya berkunang gelap. Di keningnya kelihatan satu benjolan besar. Di sebelah bawah benjolan ada luka cukup besar mengucurkan darah. Walau cidera cukup berat begitu rupa tapi dia berhasil selamatkan Badik Sumpah Darah yang hendak dirampas lawan. Dengan senjata ini dia cepat usap keningnya. Benjolan besar serta luka yang mengucurkan darah serta merta lenyap.

Bujang Gila Tapak Sakti sendiri tegak setengah tertegun melihat kehebatan badik di tangan lawan. Sambil usap-usap dadanya yang kena dihajar orang dia berkata dalam hati.

"Heran, kerbau saja jika kupukul seperti itu akan pecah kepalanya. Ilmu apa yang didapat Adipati keparat itu setelah menghilang beberapa bulan. Badik di tangannya itu bukan saja merupakan senjata berbahaya tapi juga punya kemampuan pengobatan luar biasa. Aku harus berjibaku dapatkan senjata itu!"

Bujang Gila Tapak Sakti sungkupkan peci kupluknya di atas kepala. Dengan tangan kosong dia kembali menyerbu Jatilegowo. Setiap serangan yang dilancarkannya dia selalu kerahkan tenaga dalam tinggi yang membawa alur gelombang sangat dingin. Jatilegowo memang sempat dibuat terdesak beberapa jurus, namun untuk benar-benar mampu menembus pertahanan lawan sulit dilakukan Bujang Gila Tapak Sakti. Badik di tangan Jatilegowo menjadi satu kendala luar biasa. Malah memasuki jurus-jurus selanjutnya si gendut ganti terdesak. Di satu saat ketika keadaannya terdesak hebat Bujang Gila Tapak Sakti terpaksa keluarkan pukulan Dua Puncak Mahameru Murka. Dua gelombang angin luar biasa dingin yang memancarkan cahaya seputih salju menderu ke arah Jatilegowo.

Adipati Jatilegowo ini merasakan tubuhnya seperti ditindih dua gunung es. Lututnya goyah, kepalanya laksana leleh. Dia cepat kerahkan tenaga. Ketika sosoknya hampir jatuh terduduk di tanah, satu hawa hangat keluar dari dalam Badik Sumpah Darah, menjalar ke dalam tubuhnya. Pada saat kekuatannya pulih kembali, Jatilegowo melesat ke udara. Mulut keluarkan bentakan garang dan tangan kanan membabat ke atas.

"Dess! Desss!"

Dua letupan yang tidak keras tapi memijarkan cahaya berapi mencuat di udara. Jatilegowo terpental satu tombak, jatuh berlutut di tanah. Mulutnya menggumam darah. Sementara Bujang Gila Tapak Sakti terguling menggelinding. Sosok gemuk ini tiba-tiba melenting ke udara, lalu brukkk! Jatuh duduk menjelepok di tanahl Di depannya Adipati Jatilegowo usapkan badik sakti di atas dada. Seperti tidak menderita cidera apa-apa sosoknya kemudian bangkit berdiri lalu dengan Badik Sumpah Darah terhunus di tangan dia melangkah mendekati si gendut yang saat itu megap-megap berusaha mengatur jalan darah dan pernafasan.

"Jangan bunuh dia!" teriak Loh Gatra sambil memburu, berusaha menghadang Jatilegowo.

"Kalian berdua sudah ditakdirkan mampus bersama!" kertak Jatilegowo. Lalu senjata di tangan kanannya ditusukkan ke dada Loh Gatra. Pemuda ini masih mampu mengelak. Namun ketika Jatilegowo mengejar, memburunya dengan serangan kedua, Loh Gatra tak sanggup selamatkan diri. Sewaktu Jatilegowo angkat tangan kanannya dan siap menghunjamkan senjata maut itu ke tubuh si pemuda tiba-tiba satu bayangan berkelebat di balik pohon besar. Lalu terdengar suara derap kaki kuda menghambur.

"Loh Gatra! Nyi Larasati diculik orang!" teriak Bujang Gila Tapak Sakti.

Loh Gatra terkesiap kaget. Jatilegowo juga tersentak. Loh Gatra mengejar ke arah pohon, tapi dia tidak melihat apa-apa kecuali dapatkan sosok Nyi Larasati memang tak lagi di tempat itu. Jatilegowo yang sebelumnya hendak menghabisi Loh Gatra dan Bujang Gila Tapak Sakti jadi lupa rencana. Dia lebih mementingkan mengejar si penculik Nyi Larasati. Maka tanpa perdulikan kedua orang itu dia segera berkelebat mengejar ke arah lenyapnya suara derap kaki kuda.

Jatilegowo boleh dikatakan cukup mengenal seluk beluk daerah itu. Melalui jalan memotong dia mampu melakukan pengejaran dengan cepat. Namun di satu tempat tiba-tiba terdengar beberapa kali suara letusan. Tahu-tahu kawasan di mana dia berada telah tertutup kabut tebal, membuat Adipati itu tenggelam dalam kegelapan, tak sanggup melanjutkan pengejaran.

Untuk beberapa lamanya Jatilegowo terpaksa berdiam diri, tegak menunggu. Begitu kabut tebal surut dan akhirnya lenyap, pertama sekali yang dilihatnya adalah sebuah pecahan benda bulat di tanah borbentuk manggis terbelah. Jatilegowo ambil benda ini, memperhatikan dengan seksama. Dia mengenali.

"Sarontang keparat! Dia lagi! Aku pernah melihat benda ini di tempat kediamannya. Ini salah satu senjata rahasia miliknya, jahanam! Kabut Penyesat Mata." Jatilegowo menggeram marah. Pelipisnya bergerak-gerak. Dia cabut Badik Sumpah Darah yang tersisip di pinggang. Letakkan senjata sakti mandraguna ini di atas keningnya. Lalu mulutnya berucap.

"Darah Sarontang menjadi reguk minumanmu. Nyawanya menjadi hias tumbal dirimu. Bantu aku mengejar manusia jahanam itu!"

Setelah simpan kembali Badik Sumpah Darah di balik pinggangnya Jatilegowo segera tinggalkan tempat itu. Kira-kira lari sepcminuman teh ke arah timur, di satu tempat tiba-tiba dia mendengar suara orang mengerang. Ingin tahu dan ingin melihat siapa adanya oiang itu Jatilegowo menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Dia mendengar suara an menggericik. Semak belukar disibakkan, pertama sekali dia melihat sebuah pancuran bambu yang airnya mengucur ke sebuah telaga kecil berbatu-batu. Lalu di tepi telaga, duduk bersandar ke sebuah batu besar dilihatnya seorang nenek berdandan menor. Sepasang alis kereng hitam, gincu tebal menutupi bibir, pipi yang keriput diberi merah-merah. Nenek ini duduk sambil tiada hentinya mengerang kesakitan. Dia pegangi tangan kanannya yang buntung dengan tangan kiri. Sesekali dia mengambil sebuah batok kelapa. Dengan batok ini dia menciduk air telaga yang sejuk lalu mengguyur tangannya yang buntung.

Jatilegowo keluar dari balik semak-semak.

"Nek, siapa kau. Mengapa berada di tempat ini dan apa yang terjadi dengan dirimu. Buntung di tanganmu aku lihat masih baru...."

Sepasang mata si nenek berputar melirik. Ketika melihat yang menegur seorang lelaki tinggi besar, dengan kumis melintang berkilat menghiasi wajahnya yang jantan garang, cahaya genit membayang di mata si nenek. Dia mendehem beberapa kali lalu berkata.

"Orang gagah berkumis tebal melintang, apa matamu sudah lamur? Hari masih begini siang, terang benderang. Kau memanggil aku nenek. Buka matamu lebar-lebar."

Jatilegowo hendak tertawa bergelak. Tapi ditahannya. Dia berkata. "Aku belum buta! Yang aku lihat memang seorang tua bangka berdandan...." Jatilegowo hentikan ucapannya. "Astaga!" Dia kucak-kucak matanya berulang kali. Orang yang tadi dilihatnya sebagai nenek buntung berdandan tak karuan kini tampak berupa seorang gadis berwajah cantik jelita dan tangan sempurna, berpakaian sangat tipis hingga tembus pandang, memandang ke arahnya penuh daya tarik mengundang.

"Panas begini terik, kau barusan saja dari satu perjalanan jauh. Dari wajahmu aku bisa melihat ada satu perkara besar yang tengah kau hadapi. Untuk melepas lelah dan bertutur sapa membagi duka serta pengalaman, mengapa kau tidak duduk di sampingku?" Habis berkata begitu gadis jelita itu menggeser duduknya, sengaja memberi tempat bagi Jatilegowo.

"Rejeki besar, gadis ini ternyata tidak kalah cantiknya dengan Sri Kemuning, istri mudaku. Juga tak kalah dengan kejelitaan Nyi Larasati. Tempat begini sepi, udara begini sejuk. Hanya aku berdua dengan dia."

Jatilegowo tersenyum lebar, usap-usap dagunya. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia duduk di samping si gadis.

"Tubuhku memang letih, aku memang dalam satu perjalanan jauh. Dan aku memang tengah menghadapi satu perkara besar. Sungguh luar biasa. Gadis semudamu ini bagaimana bisa mempunyai kepandaian menduga apa yang terjadi dan dialami seseorang seperti yang barusan kau ucapkan?"

Sang dara tersenyum manis.

"Raut air muka di wajahmu yang gagah tak bisa ditutupi. Semua orang akan bisa menduga, bukan cuma diriku." Si gadis bicara merendah, membuat Jatilegowo tambah tertarik.

"Hari begini panas, pakaian dan tubuhku kotor. Keringat kering di badan. Air telaga itu tampak begitu sejuk. Ingin sekali rasanya aku terjun dan mandi."

"Aneh," ucap si gadis.

"Apa yang aneh?" tanya Jatilegowo.

"Perasaan kita sama. Dari tadi aku ingin mandi menyejukkan diri dalam telaga. Tapi mandi sendirian apa nikmatnya? Orang gagah, apakah kau mau menemani aku mandi?"

Jatilegowo tertawa lebar. Tubuhnya mendadak terasa panas. Sang dara dilihatnya kedipkan mata. Lalu terdengar suaranya penuh manja.

"Orang gagah mohon kau mau menolong membukakan pakaianku."

Darah di tubuh Jatilegowo semakin panas dan semakin cepat mengalirnya. Lelaki ini memang sudah cukup lama tidak berdekatan dengan perempuan. Karenanya tidak tunggu lebih lama dia segera lakukan apa yang diminta si gadis. Tangannya dengan cepat melepas tali-tali kecil pengikat bajunya. Sesaat kemudian, ketika punggung dan dadanya tersingkap putih, tiba-tiba terdengar suara orang berkata.

"Nyi Ragil, Nyi Ragil. Aku pergi tidak lama. Aku pergi mencari obat untuk menyembuhkan luka buntungan tanganmu! Tahu-tahu kau sudah bergendak dengan lelaki lain! Sungguh keterlaluan!"

Suara ucapan orang membuat si gadis yang telah terbuka setengah pakaiannya menjadi terkejut dan palingkan kepala. Saat itu juga wajah dan tubuhnya kembali berubah ke bentuk aslinya yakni sosok seorang nenek-nenek bertangan buntung!

KITA kembali dulu pada peristiwa setelah terjadi pertempuran hebat antara tokoh golongan putih dengan Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai di Bukit Menoreh (Baca Episode sebelumnya berjudul "Tahta Janda Berdarah")

Satu sosok tinggi hitam dengan kepala ditancapi empat buah tusuk konde berlari secepat kilat dalam gelapnya malam, meninggalkan bayangan angker di sebelah belakang, seolah dirinya setan yang tengah gentayangan di malam buta. Sebelumnya di kepala itu ada lima tusuk konde. Namun satu di antaranya telah dipergunakan untuk menghantam Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai yang melarikan diri.

"Nyi Ragil.... Kau telah membunuh saudara Tua Gila. Aku tidak akan membiarkan dirimu tenteram seumur hidup. Ke mana pun kau pergi akan kukejar."

Orang yang berlari tidak tahu sudah sejauh mana dia meninggalkan Bukit Menoreh melakukan pengejaran. Dia terperangah sendiri ketika di timur muncul cahaya terang pertanda fajar telah menyingsing. Orang ini hentikan larinya. Saat itulah dia baru sadar kalau sekujur dirinya sangat letih. Dia mendengar suara kicau burung di sekitarnya. Lalu lapat-lapat ada suara riak air. Dia melangkah ke arah suara ini hingga akhirnya menemui sebuah telaga kecil di tengah kerapatan pepohonan dan semak belukar.

"Aku capai sekali, haus... ingin mandi. Tapi apakah aku perlu mandi?! Hik.. hik... hik!" Orang yang tertawa jatuhkan dirinya di tepi telaga. Lalu dia ulurkan tangan untuk menciduk air, maksudnya mau meneguk air telaga lalu mencuci muka.

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, entah siapa yang bicara terdengar suara menggema. Suara perempuan.

"Sinto Gendeng, air telaga itu lebih suci dari dirimu yang penuh dosa. Jangan kau berani menyentuhnya. Apa lagi minum dan dipakai mandi!"

Orang di tepi telaga yang memang adalah Sinto Gendeng nenek sakti dari puncak Gunung Gede, guru Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget. Kibaskan air telaga yang sempat diciduknya lalu berdiri di tepi telaga sambil berkacak pinggang. Sepasang matanya yang berada dalam rongga cekung berputar, memandang garang seputar telaga.

"Mahluk betina yang barusan bicara! Siapa kau? Mengapa berani bicara tidak berani unjukkan diri?!"

"Kau tidak cukup pantas melihat diri kami!" Ada jawaban, juga suara perempuan. Dan tetap saja Sinto Gendeng tidak bisa mengetahui dari mana asalnya.

Nenek sakti itu mendengus.

"Kami! Huh! Jadi kalian berdua! Sama-sama tidak berani unjukkan tampang! Berarti sama-sama jelek! Mungkin kalian berdua punya wajah bopeng. Atau hidungnya gerumpung. Mungkin juga picak sebelah matanya! Hik... hik... hik!"

"Sinto Gendeng, menjauh dari telaga!"

"Kurang ajar!" Sinto Gendeng hentakkan kaki kanannya. Hentakan ini bukan gerakan biasa tapi mengandung tenaga dalam tinggi luar biasa, apalagi disertai tawa kemarahan. Tanah bergetar. Batu-batu dan tanah sekitar telaga berjatuhan ke dalam air. Pohon-pohon besar keluarkan suara berderak. Dedaunan runtuh luruh dan jatuh ke tanah.

"Manusia penuh dosa, tidak ada gunanya memamerkan kehebatan tenaga dalam di hadapan kami. Jika kami mau, tubuhmu bisa kami benamkan ke dalam tanah!"

"Oo la la!" Sinto Gendeng mendongak lalu tertawa melengking. Diam-diam matanya memandang berputar, telinga dipasang tajam. "Bicara sombong amat! Baik, aku mau tahu bagaimana caranya kalian membenamkan diriku ke dalam tanah! Tapi lebih dulu kalian berdua harus unjukkan tampang!"

Habis berkata begitu Sinto Gendeng hantamkan tangan kanannya ke arah satu pohon besar yang diperkirakan di situlah tempat dua orang yang tadi bicara mendekam.

Sinar putih berkiblat. Hawa panas menghampar. Sesaat rimba belantara sekitar telaga itu menjadi terang berderang. Lalu bummm! Wusss!

Pohon besar yang kena dihantam Pukulan Sinar Matahari tenggelam dalam kobaran api ialu kraakk! Pohon ini tumbang menggemuruh.

Dua tawa cekikikan memenuhi gemuruhnya suara pohon yang tumbang.

"Sinto Gendeng! Orang lain mungkin bisa kagum melihat kehebatan pukulan saktimu tadi. Tapi kami berdua menganggap pukulan itu tidak ada apa-apanya!"

"Saudaraku, dia minta memperlihatkan bagaimana cara kita membenamkan dirinya ke tanah. Bagaimana menurutmu?"

"Tidak ada salahnya kita penuhi permintaannya itu! Kau sudah siap?!"

"Sudah! Mari!"

Di tepi telaga Sinto Gendeng keluarkan caci maki panjang pendek. Tapi sambil memaki dia siapkan dua pukulan sakti. Pukulan pertama berupa pukulan pertahanan yakni Benteng Topan Melanda Samudera satunya pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang. Begitu dua orang tersebut unjukkan diri maka dia akan menghantam dengan dua pukulan sakti itu. Malah diam-diam dia juga telah menyiapkan ilmu sakti Sepasang Pedang Inti Roh di kedua matanya.

Tapi dua orang yang ditunggu tidak kunjung muncul.

"Pengecut!" teriak Sinto Gendeng.

Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi berpasangan. Satu suara tinggi, satunya suara rendah. Dua-duanya suara perempuan.

"Tembang Puspita Loro," desis Sinto Gendeng mengenali nyanyian itu. Tengkuknya mendadak mengkirik. Tembang itu adalah nyanyian yang biasa dialunkan pada saat-saat terjadi kedukaan. Misal pada saat ada seseorang meninggal dunia.

Selagi Sinto Gendeng berusaha mencari-cari di mana adanya dua perempuan yang menyanyi itu tiba-tiba dia merasa ada satu hawa aneh di sekeliling tubuhnya. Sesaat kemudian satu kekuatan yang tidak kelihatan, laksana himpitan sebuah gunung, menekan dirinya ke bawah.

"Jahanam! Minta mati berani membokong licik!" Sinto Gendeng berteriak marah lalu hantamkan dua tangannya ke atas. Namun pukulan sakti Benteng Topan Melanda Samudera dan Segulung Ombak Menerpa Karang tidak mau keluar! Malah tekanan berat yang datang dari atas semakin hebat. Dua kaki Sinto Gendeng mulai bergetar lalu menekuk. Dia kerahkan tenaga dalam untuk bertahan akibatnya dess... desss! Sepasang kakinya yang hitam tinggal kulit pembalut tulang melesat ke dalam tanah!

Kejut nenek sakti ini bukan alang kepalang. Dia pukulkan dua tangannya ke udara dalam gerakan "Kipas Sakti Terbuka". Bersamaan dengan itu dia keluarkan pula Ilmu Belut Menyusup Tanah untuk bisa loloskan diri dari tanah tempat kakinya terbenam. Namun sia-sia saja. Setiap apa yang dilakukannya membuat tubuhnya semakin melesak ke dalam tanah! Kini tubuhnya telah terbenam sampai sebatas pinggul!

Sinto Gendeng keluarkan keringat dingin. Seumur hidup nenek yang tidak pernah merasa jerih ini untuk pertama kalinya merasa takut yang amat sangat. Makin jauh terbenam ke dalam tanah, makin terasa lemas sekujur tubuhnya. Suara teriakan dan makiannya yang tadi terdengar tidak berkeputusan kini lenyap. Dada si nenek turun naik. Nafasnya megap-megap.

Tekanan dari atas masih belum berhenti. Sosok Sinto Gendeng amblas sampai ke perut, lalu lebih dalam lagi sampai ke dada.

"Kalian siapa... kalian siapa? Apa dosaku sampai mengazab diriku seperti ini?" Ucapan itu keluar berkepanjangan dari mulut Sinto Gendeng.

Suara dua perempuan menyanyikan lagu Puspito Loro lenyap. Saat itulah berbarengan dengan munculnya sang surya di ufuk timur dua sosok aneh muncul di permukaan telaga. Sosok ini perwujudan dua perempuan tua berwajah sama, jernih bersih yang dari rautnya menandakan di masa mudanya mereka merupakan gadis-gadis cantik. Rambut mereka yang putih melambai-lambai ditiup angin pagi, berkilauan laksana perak. Yang luar biasanya tubuh dua perempuan tua ini, mulai dari dada sampai ke kaki berupa tubuh seekor naga berwarna putih. Sosok dua perempuan tua bertubuh naga ini seolah-olah mengapung di tepian telaga. Entah dari mana datangnya kabut mendadak muncul di permukaan air.

"Sinto Gendeng," perempuan tua di sebelah kanan keluarkan ucapan. "Kami sudah unjukkan diri. Apakah kau mengenali siapa adanya kami berdua?"

Sinto Gendeng buka matanya lebar-lebar lalu gelengkan kepala. "Aku tidak mengenali. Aku tidak tahu siapa kalian. Katakan... katakan siapa kalian."

"Kami Sepasang Naga Putih Kembar. Aku bernama Naga Nini, adikku bernama Naga Nina. Nah, kami sudah memperkenalkan diri. Apalagi yang hendak kau tanyakan."

"Kalian.... Meng... mengapa memendam diriku begini rupa. Apa dosaku dan kesalahanku...." ujar Sinto Gendeng dengan suara gemetar.

"Kalau ingin kami mengatakan, dosamu terlalu banyak Sinto Gendeng. Tapi dosamu terakhir yang ada sangkut pautnya dengan diri kami adalah pembunuhan yang kau lakukan terhadap seorang anak lelaki berusia lima belas tahun. Bernama Boma Wanareja."

"Aahhhh.... Anak itu," ujar Sinto Gendeng dengan mata berputar liar. "Aku membunuhnya secara tidak sengaja. Aku mengira dia orang yang telah membunuh Datuk Mudo Carano Ameh, orang yang kusangka adalah Tua Gila Dari Andalas. Aku tidak sengaja karena tidak tahu. Aku ketelepasan tangan dan seumur hidup aku akan menyesali perbuatanku itu!"

Sepasang Naga Putih sama-sama gelengkan kepala. Lalu seperti menyanyi tadi, sama-sama pula keduanya berucap.

"Kau tidak ketelepasan tangan Sinto. Kau juga bukan tidak sengaja. Sebelum menemui ajal anak itu sempat berteriak bahwa dia bukan pembunuh Datuk Mudo Carano Amen. Tapi karena sudah biasa gatal tangan membunuh sembarangan, kau tidak perdulikan teriakan orang. Kau menghantamnya dengan Pukulan Sinar Matahari! Sungguh keji! Pukulan sakti yang sanggup menghancur gunung itu kau pakai untuk membunuh seorang bocah tidak berdaya!"

Sinto Gendeng keiuarkan suara menggerung mendengar kata-kata Sepasang Naga Putih.

"Kalian berdua boleh saja tidak percaya. Tapi aku berani bersumpah aku tidak punya niat jahat membunuh anak itu!"

"Kematian sudah terjadi! Anak yang mati tak mungkin dibuat hidup kembali! Dosamu tak mungkin dilebur. Jadi saat ini pantas sekali kami membenamkan dirimu di tanah!" Berkata Naga Nini.

Naga Nina menyambung. "Sebenarnya kami ingin memendam tubuhmu di puncak Gunung Gede, di samping makam Boma Wanareja. Namun ketika kami datang ke sana kau tengah gentayangan ke mana-mana...."

"Aku bukan gentayangan. Aku justru tengah mengejar Nyi Ragil, pembunuh sebenarnya dari Datuk Mudo Carano Amen!" jawab Sinto Gendeng setengah berteriak.

"Sekali pun Nyi Ragil punya tujuh nyawa dan kau membunuhnya sampai tujuh kali, Boma tidak akan dapat hidup kembali...." ujar Naga Nini.

"Kalian... kalian bukan manusia. Mahluk apa kailan aku tidak perduli. Tapi apa sangkut paut kalian dengan Boma Wanareja?!"

"Kami adalah Sepasang Naga pelindung anak itu. Ketika kejadian kau membunuh Boma, kami baru saja menyelesaikan tapa di Gunung Wilis." Menerangkan Naga Nina.

Naga Nini menyambungi. "Sekarang kau sudah tahu dosamu. Berarti kau harus menyadari bahwa cukup pantas dirimu kami hukum dipendam dalam tanah begitu rupa!"

"Tidak bisa! Kalian bukan Tuhan yang bisa menghukumku seenaknya!" teriak Sinto Gendeng lantang.

Sepasang Naga Putih tertawa panjang.

"Ketika kau membunuhi musuh-musuhmu apa terpikir olehmu bahwa kau juga bukan Tuhan yang bisa menghukum dan membunuh orang lain seenaknya?!"

"Jahanam! Kalian berdua tidak lebih dari mahluk keji yang kesasar! Keluarkan aku dari dalam tanah. Mari kita bertempur secara satria!"

Kembali Sepasang Naga Putih tertawa.

"Selamat tinggal Sinto Gendeng!" Naga Nini dan Naga Nina berucap lalu didahului dengan menebarnya kabut putih, sosok kedua mahluk aneh itu lenyap dari tepian telaga.

"Jahanam pengecut!" teriak Sinto Gendeng karena dua mahluk pergi begitu saja tanpa berani melayani tantangannya. Dia mengira dengan perginya Sepasang Naga Putih dia akan bisa keluar dari pendaman. Tapi tetap saja sia-sia. Tekanan berat di sebelah atas tidak kunjung lenyap, masih menindih kepala dan bahunya. Sinto Gendeng pukuli kepalanya sendiri lalu menggerung keras.

Mengenai riwayat/kisah Boma dapat pembaca ikuti dalam buku-buku serial Boma Gendenk : Episode I Suka Suka Cinta Episode II ABG (Anak Baru Gendenk) Episode III Tripping Episode IV Muridku Machoku

Pengarang : BASTIAN TITO

Penerbit : DUTA MEDIA

KEMBALI kepada apa yang terjadi di kawasan samudera kekuasaan Nyi Roro Agung, di balik tembok Karang Abadi, di belakang Pintu Gerbang Naga Biru. Seperti dituturkan dalam akhir Bab Ke Empat ketika Pendekar 212 Wiro Sableng baru saja melesat melewati pintu gerbang, patung batu yang membentuk sosok seekor naga berwarna biru yang selama ratusan tahun mendekam di atas bangunan pintu gerbang tiba-tiba seolah hidup, meluncur ke bawah. Air laut terbelah. Sosok Naga Biru bergelung melingkari Nyi Kantili dan lima orang gadis jelita anak buahnya serta Pendekar 212 Wiro Sableng. Kepala binatang ini tegak mendongak, matanya yang merah memancarkan sinar maut, siap hendak menerkam siapa saja yang ada di bawah sana.

Tiba-tiba dari hidung dan mulut Naga Biru melesat cairan berwarna kebiru-biruan. Saat itu juga air laut di sekitar tempat itu menebar bau harum semerbak. Di tempat lain, dalam peristiwa lain keharuman ini akan mendatangkan rasa sejuk. Tapi yang dirasakan Pendekar 212 saat itu justru adalah suasana angker menggidikkan, suasana berbau kematian!

Tiba-tiba ekor Naga Biru melenting ke atas. Air laut mencuat laksana kepulan asap. Bersamaan dengan itu Naga Biru buka mulutnya lebar-lebar. Lalu dengan kecepatan luar biasa, kepala itu melesat turun ke bawah. Nyi Kantili dan semua anak buahnya keluarkan seruan tertahan. Mereka sudah membayangkan apa yang bakal terjadi. Sosok Pendekar 212 Wiro Sableng akan amblas masuk ke dalam mulut Naga Biru, seterusnya ditelan masuk ke dalam perut.

Sesaat lagi kepala dan tubuh Pendekar 212 akan amblas masuk ke dalam mulut Naga Biru, tiba-tiba binatang yang tadinya adalah batu mati ini rundukkan kepalanya hingga dagu dan leher menyentuh dasar samudera. Sepasang matanya yang tadi bersinar garang kini meredup sayu, sesekali dikedip-kedipkan. Kalau tadi mulutnya mengeluarkan cairan aneh dan menimbulkan gelombang air laut yang dahsyat, kini mulut itu terkatup rapat, mengeluarkan suara menggeru perlahan. Sikap binatang raksasa ini berubah menjadi jinak. Ketika lidahnya diulurkan, lidah ini dipergunakan untuk menjilat-jilat dua kaki Wiro.

"Nyi Kantili, apa yang terjadi?!" salah seorang anak buah Nyi Kantili bertanya. Bersama Nyi Kantili dan teman-temannya saat itu dia tegak ketakutan, merapat ke pintu gerbang.

"Aku tak bisa menduga," jawab Nyi Kantili. "Kalian semua tetap berlaku waspada!"

Dijilati kedua kakinya seperti itu membuat Wiro takut ada geli pun ada. Dia sampai terlonjak-lonjak menahan geli.

"Binatang ini, apa maunya. Tadi begitu galak seperti mau menelanku. Sekarang mengapa jadi begini jinak. Apakah...."

Belum habis Wiro berucap dalam hati tiba-tiba Naga Biru angkat kepalanya ke arah pinggang kiri Wiro di mana tersisip Kapak Maut Naga Geni

212. Dengan mulutnya Naga Biru singkapkan pakaian Wiro. Begitu senjata sakti mandraguna warisan Eyang Sinto Gendeng itu tersembul sang naga menjilat-jilatnya lalu sekali mulutnya menyedot Kapak Maut Naga Geni 212 melesat masuk ke dalam mulutnya.

"Astaga! Kapakku ditelan!" Seru Wiro tercekat. Dalam bingung dia juga merasa kawatir.

Bagaimana dia bisa mendapatkan senjata itu kembali? Berkelahi melawan Naga Biru? mustahil dia bisa menghadapi naga raksasa ir. Sekali tubuhnya dikibas atau ditelan hidup-hidup, tamatlah riwayatnya.

Selagi Wiro kebingungan Naga Biru dilihatnya letakkan kepala di dasar samudera, mata dipejamkan dan dari mulutnya ada suara menggeru halus. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Naga Kuning angkat kepalanya kembali. Mata yang terpejam dibuka merah. Mulut menganga. Lalu seperti meniup, dari dalam mulut Naga Biru melesat keluar Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata sakti ini secara luar biasa tersisip kembali ke balik pinggang Wiro. Saat itu juga Wiro merasa ada hawa aneh mengalir dari dalam kapak memasuki seluruh tubuhnya. Tubuhnya terasa ringan. Ketika hawa aneh memasuki kepalanya, pemandangannya menjadi lebih terang dan telinganya kini bisa menangkap suara-suara yang sebelumnya tidak terdengar.

"Aneh," membatin Pendekar 212. Dia pandangi sosok Naga Biru di hadapannya.

Naga Biru kedipkan sepasang mata lalu angguk-anggukkan kepala tiga kali berturut-turut. Kemudian dengan suara menggemuruh sosoknya melesat ke atas, hinggap bergelung ke tempatnya semula di atas pintu gerbang dan berubah kembali menjadi batu mati.

Nyi Kantili dan anak buahnya segera mendekati Wiro.

"Pendekar 212, kau tidak apa-apa?" tanya Nyi Kantili yang sejak tadi merasa kawatir.

"Aku tidak apa-apa," jawab Wiro.

"Kejadian aneh," ucap salah seorang anak buah Nyi Kantili.

"Memang luar biasa. Tidak pernah terjadi yang seperti tadi. Patung batu mati berbentuk naga itu bisa hidup. Tidak pernah kejadian yang seperti ini." Ucap Nyi Kantili pula.

"Mungkin kau tahu apa sebabnya?" tanya Wiro.

"Kami tak bisa menjawab. Kami tidak tahu. Mungkin nanti bisa kita tanyakan pada Nyi Roro Manggut. Pendekar, mari ikuti kami."

"Tunggu sebentar. Aku akan memeriksa senjataku lebih dahulu." Kata Wiro. Lalu dikeluarkannya Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi ditelan Naga Biru. Ketika senjata itu dipegang Wiro menjadi heran.

"Kenapa bisa jadi enteng begini rupa?"

Wiro memeriksa.

Ternyata senjata itu menjadi lebih bersih dari keadaannya semula. Dua mata kapak memancarkan cahaya terang walaupun dia memegang tanpa mengerahkan tenaga dalam. Di sekujur mata dan gagang kapak samar-samar terlihat cahaya merah seolah membungkus senjata sakti itu.

"Mahluk itu, aku yakin dia telah memberikan satu kekuatan tambahan pada diriku dan pada Kapak Maut Naga Geni 212," membatin murid Sinto Gendeng. Wiro mendongak ke atas meman-dang pada sosok Naga Biru, si batu mati. Lalu Wiro membungkuk dalam-dalam sampai tiga kali, kemudian berucap.

"Sahabat di atas sana, siapa pun kau adanya, aku mengucapkan terima kasih."

Sepasang mata patung naga tiba-tiba memancarkan cahaya merah dan berkedip tiga kali.

Wiro tersenyum, garuk-garuk kepala sambil lambaikan tangan dia berenang mengikuti Nyi Kantili dan anak buahnya.

MAKIN jauh berenang makin keras terdengar suara alunan gamelan. Setelah melewati sebuah taman yang sangat indah tapi sunyi, Wiro dan rombongannya sampai di sebuah bangunan besar memiliki tiga pintu dan tiga menara tinggi di atasnya. Pintu sebelah tengah paling besar dan menaranya juga paling tinggi.

Nyi Kantili menghampiri pintu sebelah kiri. Dia memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Si anak buah lalu menarik seutas tali kuning yang berhubungan dengan sebuah genta yang terletak di atas pintu. Suara genta mengalun aneh terdengarnya di telinga murid Sinto Gendeng.

Sesaat setelah genta berdentang, pintu yang tertutup perlahan-lahan terbuka. Tiga sosok melesat keluar. Ketiganya ternyata gadis-gadis jelita mengenakan pakaian hijau berkilat. Yang dua mengambil tempat di kiri kanan pintu sementara gadis ketiga menghampiri Nyi Kantili.

Nyi Kantili segera mendatangi gadis itu.

"Saya Nyi Kantili pimpinan rombongan. Kami datang membawa seorang tamu untuk menemui Nyi Roro Manggut."

Gadis yang diberi tahu anggukkan kepala lalu bertanya.

"Siapa tamu yang kalian bawa?"

"Namanya Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga geni 212. Dia datang dari Tanah Jawa."

"Katakan apa keperluannya menemui Nyi Roro Manggut."

"Saya hanya pengawal, tak layak bertanya. Biar Nyi Roro Manggut sendiri yang nanti ajukan pertanyaan," jawab Nyi Kantili pula.

Si gadis melirik ke arah Pendekar 212. Diam-diam dadanya jadi berdebar. Seorang tamu segagah pemuda itu jarang sekali berkunjung ke tempat mereka. Kalau pun ada yang datang biasanya tua-tua dan bukan untuk menemui Nyi Roro Manggut.

"Kalian tunggu di sini. Aku akan memberi tahu Nyi Roro Manggut apa bersedia menerima tamu ini." Lalu pada temannya si gadis berkata.

"Kalian tetap berjaga-jaga di sini, jangan ada yang boleh masuk sebelum aku kembali."

Si gadis menghilang masuk ke balik pintu. Tak lama kemudian dia muncul kembali. Melirik sebentar ke arah Wiro lalu memandang pada Nyi Kantili dan berkata.

"Nyi Roro Manggut tidak bersedia menerima tamu ini."

Pendekar 212 Wiro Sableng karuan saja jadi terkejut mendengar kata-kata si gadis. Nyi Kantili juga tampak kecewa.

"Kalian hanya diberi kesempatan untuk datang lagi tiga purnama di muka."

Wiro garuk-garuk kepala. Nyi Kantili memandang padanya.

"Bagaimana?" tanya Nyi Kantili.

Wiro pencongkan mulut. "Kalau orang tidak bersedia menerima dan bertemu diriku, mau bilang apa? Tiga purnama rasanya terlalu lama." Wiro berpaling pada gadis di depannya. "Sampaikan rasa terima kasihku pada Nyi Roro Manggut. Tapi menunggu tiga bulan percuma saja. Orang yang akan aku tolong mungkin sudah menemui ajal untuk kedua kalinya."

Gadis yang diajak bicara kerutkan kening.

"Kalian manusia-manusia yang hidup di daratan, bukankah cuma punya satu nyawa? Mengapa kau menyebut ada orang menemui ajal untuk kedua kalinya?"

"Jawabannya akan aku berikan tiga purnama di muka," jawab Wiro sambil tersenyum.

Si gadis kelihatan bersemu merah wajahnya diejek begitu rupa. Dia memberi tanda pada dua anak buahnya yang tegak di kiri kanan pintu. Dua gadis itu segera bersiap hendak menutup pintu kembali.

Wiro tiba-tiba ingat sesuatu.

"Tunggu!" serunya.

Dari balik pakaiannya dia keluarkan sebuah kaleng rombeng yang diterimanya dari Kakek Segala Tahu. Sambil menyodorkan kaleng butut itu kepada si gadis dia berkata.

"Tolong berikan kaleng ini pada Nyi Roro Manggut."

Tentu saja si gadis jadi pelototkan mata.

"Beraninya kau menghina pimpinan kami dengan menyerahkan kaleng butut dan kotor menjijikkan itu!" Bentak sang dara penjaga pintu.

Wiro menyeringai. Dia goyangkan kaleng butut itu. Saat itu juga suara kerontang kaleng rombeng yang diisi bebatuan itu menggema keras di Seantero tempat. Air laut menggelombang.

Suara alunan gamelan terhenti beberapa ketika.

Para gadis di depan pintu termasuk Nyi Kantili dan lima anak buahnya sama menekap telinga tak tahan suara kerontang kaleng yang menusuk seolah terasa sampai mencucuk benak.

"Kau pelayan dari pimpinanmu. Kewajibanmu untuk menyerahkan kaleng ini pada Nyi Roro Manggut. Siapa bilang aku menghina pimpinan kalian. Kaleng ini milik seorang tokoh rimba persilatan Tanah Jawa. Aku dipesan untuk menyerahkannya pada Nyi Roro Manggut. Kalian tidak mau menerima aku sebagai tamu tidak apa. Tapi jangan berani menolak pesanan orang. Jika kalian sampai salah berbuat apa tidak takut kena dampratan Nyi Roro Manggut?"

Kata-kata Wiro membuat si gadis berpakaian hijau berkilat jadi terdiam sesaat. Akhirnya dia ulurkan tangan seraya berkata.

"Baik, aku terima kaleng ini. Akan kusampaikan pada Nyi Roro Manggut. Tapi kalian semua harap segera tinggalkan tempat ini!"

Wiro tersenyum, kedipkan matanya lalu membungkuk memberi penghormatan. Tiga gadis masuk kembali. Pintu ditutup. Begitu sampai di dalam, salah satu dari mereka berkata.

"Kalau saja pemuda itu tidak setampan yang aku lihat, mungkin sudah kulabrak agar mengerti tata tertib di kawasan ini."

Temannya yang satu ikut bicara.

"Nyi Nuning, buat apa kaleng itu kau ambil dan mau kau serahkan pada Nyi Roro Manggut. Buang saja! Salah-salah kita semua bisa kena damprat."

"Aku rasa kaleng ini bukan benda sembarangan. Ingat ucapan si pemuda. Kaleng ini milik seorang tokoh rimba persilatan Tanah Jawa. Lalu ketika kaleng ini diguncangnya, ada suara dahsyat membuat air laut bergelombang, gamelan berhenti mengalun dan telinga kita seperti kemasukan angin panas."

Dua gadis yang tadi banyak bicara akhirnya tak mau berkata apa-apa lagi. Mereka hanya mengikuti Nyi Nuning menuju tempat kediaman Nyi Roro Manggut.

Sampai di tempat yang dituju Nyi Roro Manggut seperti biasanya hanya mau bicara dari balik sehelai tirai hingga sosok dan wajahnya tidak kelihatan.

"Nyi Roro Manggut, kami Nyi Nuning dan kawan-kawan datang kembali."

"Tamu tak diundang itu sudah kau suruh pergi?" Suara lembut bertanya dari balik tirai.

"Sudah Nyi Roro. Hanya saja sebelum pergi dia menyerahkan sebuah benda pada kami untuk disampaikan pada Nyi Roro Manggut. Menurut tamu ilu. benda ini adalah milik seorang tokoh rimba peisilalan Tanah Jawa."

"Nyi Nuning, kau tahu aturan di tempat ini. Jika aku tidak bersedia menerima sang tamu berarti aku juga tidak mau menerima barang titipan apa pun dari siapa pun!"

Dua teman Nyi Nuning sama memandang pada Nyi Nuning.

"Nyi Roro Manggut, harap maafkan diri kami. Menurut sang tamu, benda ini bukan benda biasa."

"Hemm, begitu? Lantas benda apa itu adanya? Sesuatu yang terbuat dari emas? Atau batu permata sebesar kepalan?!" ujar Nyi Roro Manggut dari balik tirai.

"Bukan benda terbuat dari emas, bukan pula batu permata sebesar kepalan Nyi Roro Manggut. Melainkan sebuah kaleng rombeng yang di dalamnya berisi batu-batu."

Sunyi sejenak. Tiba-tiba dari balik tirai terdengar suara Nyi Roro Manggut.

"Apa katamu Nyi Nuning? Benda itu sebuah kaleng rombeng berisi batu-batu?"

"Betul sekali Nyi Roro Manggut."

Dari balik tirai terdengar suara tercekat lalu satu tangan mencuat keluar. "Serahkan benda itu padaku!" Nyi Nuning serahkan kaleng rombeng itu pada orang yang mengulurkan tangannya dari balik tirai, kaleng diambil lalu untuk kedua kali terdengar suara orang keluarkan seruan tertahan.

"Gusti Allah, jadi masih hidup dia rupanya!"

Sunyi sesaat.

"Nyi Nuning?!"

"Saya di sini Nyi Roro Manggut."

"Lekas temui kembali tamu itu. Antar dia masuk ke sini!" "Tapi Nyi Roro, tamu itu dan para pengawal sudah saya suruh pergi," sahut Nyi Nuning. "Oo ladalah! Tewas aku! Nyi Nuning!" "Saya Nyi Roro Manggut!" "Cari! Kejar tamu itu sampai dapat. Bawa dia ke sini! Atau kau dan dua anak buahmu akan menerima hukuman berat!"

Nyi Nuning dan dua anak buahnya ketakutan setengah mati. Ketiga gadis itu segera tinggalkan ruangan, menghambur ke arah pintu keluar.

SETELAH pintu tertutup kembali Pendekar 212 Wiro Sableng bukannya pergi, malah duduk di dekat sebuah arca berbentuk seekor singa di samping pintu sebelah luar.

"Pendekar 212, perlu apa kau duduk di situ? Kami sudah siap mengantarkanmu ke pintu gerbang keluar." Berkata Nyi Kantili.

"Kalian pergi saja. Aku akan menunggu di sini. Aku yakin tiga gadis tadi akan keluar lagi dan mempersilakan aku masuk menemui Nyi Roro Manggut."

"Pendekar 212, kau dengar sendiri gadis bernama Nyi Nuning itu tadi berkata. Nyi Roro Manggut tidak bersedia menemuimu. Kalaupun suka, kau harus menunggu sampai tiga purnama di muka."

Wiro tersenyum.

"Tenang Nyi Kantili, tenang saja. Tunggu. Setelah Nyi Roro Manggut melihat kaleng rombeng itu, dia akan berubah pikiran dan akan bersedia menemuiku...."

"Aneh, memangnya kenapa?" tanya Nyi Nuning.

Wiro angkat kepalanya. Setelah menerima aliran hawa aneh yang diberikan Naga Biru pendengarannya menjadi jauh lebih tajam. Saat itu dia mendengar ada kaki-kaki halus berlari cepat di lorong di belakang pintu.

"Aku tak bisa menjawab mengapa Nyi Roro Manggut bakal berubah pikiran. Yang jelas saat ini aku mendengar ada orang berlari di balik pintu. Sebentar lagi mereka akan segera muncul."

Nyi Kantili dan anak buahnya tidak percaya. Mereka ingin cepat-cepat mengantar Wiro ke pintu gerbang keluar.

Wiro sendiri tetap saja duduk tenang-tenang dekat arca singa.

Tiba-tiba pintu terbuka. Tiga gadis berpakaian hijau berkilat muncul kembali. Wiro memandang tertawa pada Nyi Kantili.

"Nyi Kantili," ucap murid Sinto Gendeng. "Apa kataku!"

NYI NUNING membawa Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki sebuah ruangan besar. Di tengah ruangan terdapat sebuah tirai berbentuk lingkaran, terbuat dari kain tebal berwarna biru muda berkilat. Wiro tidak tahu apa yang ada di balik tirai tersebut. Namun telinganya yang kini menjadi sangat tajam mendengar suara seseorang berkata perlahan, menyatakan kekecewaan.

"Ah.... Bukan dia. Tapi seorang pemuda yang aku tidak kenal. Atau mungkin dia sengaja merubah ujud, menyamar? Tapi sepanjang pengetahuanku dia tidak punya ilmu kesaktian seperti itu. Dan dia paling tidak suka menyamar."

Wiro usap-usap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut-janggut kasar tak tercukur. Dalam hati dia membatin. "Jika orang di dalam tirai keluarkan ucapan seperti itu berarti dia punya kemampuan menembus melihat keluar tirai. Aku sendiri tak bisa melihat ke dalam sana walau Naga Biru aneh itu telah memberikan hawa sakti yang sanggup membuat aku melihat segala sesuatu lebih jelas. Coba aku pergunakan Ilmu Menembus Pandang dari Ratu Duyung." Wiro lalu alirkan tenaga dalam ke mata, mata dikedipkan. Namun tetap saja dia tidak bisa melihat apa-apa di balik tirai biru tebal. "Tidak tembus!" ucap Wiro dalam hati. "Kesaktian orang ini sungguh luar biasa!"

"Nyi Roro," Nyi Nuning yang tegak di samping Pendekar 212 berucap. "Tamu yang Nyi Roro suruh panggil sudah hadir di ruangan ini."

"Aku tahu... aku tahu." Terdengar ucapan perempuan dari dalam tirai. Suaranya perlahan, merdu dan penuh kelembutan. "Kau dan anak buahmu silakan meninggalkan ruangan . Jangan lupa menutup pintu."

"Perintah Nyi Roro akan kami laksanakan," kata Nyi Nuning. "Tapi apakah kami tidak perlu menunggui, berjaga-jaga?"

Pendekar 212 Wiro Sableng tadi memperhatikan. Ketika orang di balik tirai bicara, tirai biru tebal bergerak-gerak bergelombang laksana permukaan samudera. "Hebat! Perempuan itu pasti memiliki tenaga dalam luar biasa. Suaranya sanggup membuat tirai tebal bergerak-gerak. Baru sekali ini aku menyaksikan kejadian seperti ini!"

Dari dalam tirai ada suara menjawab ucapan Nyi Nuning tadi.

"Nyi Nuning, buat apa kau menunggui. Perlu apa pengawalan? Yang datang cuma seorang bocah ingusan, kelihatannya kurang waras pula. Tidak ada yang perlu dikawatirkan. Kalian boleh pergi. Jangan lupa menutup pintu. Berjagalah di luar. Tidak boleh satu orang pun masuk ke ruangan ini tanpa izinku."

Wiro menjadi jengkel disebut bocah ingusan kurang waras. "Sialan!" maki Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala.

Nyi Nuning memberi isyarat pada dua anak buahnya. Tiga gadis cantik itu terlebih dulu membungkuk dalam-dalam sebelum mereka kemudian meninggalkan ruangan itu.

Wiro memandang memperhatikan tirai biru berbentuk lingkaran di hadapannya. Dia melangkah mendekati. Tiba-tiba dari balik tirai suara lembut menegur. Untuk kesekian kalinya Wiro melihat bagaimana tirai tebal itu bergoyang bergelombang.

"Tak ada yang menyuruh, mengapa mengatur langkah berani mendekati Tirai Samudera Biru?"

"Aahhh...." Wiro hentikan langkah, tegak diam tapi garuk-garuk kepala sambil senyum-senyum.

"Bocah ingusan, benar kau manusia bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212? Bukannya seseorang yang pernah aku kenal lalu masuk ke sini dengan cara merubah perwujudan menyamar diri?" Orang di balik tirai bertanya. Walau nada bicara mengejek tapi suaranya tetap lembut.

Wiro jadi kesal. "Kalau tidak aku kerjai, belum tahu rasa dia!"

Wiro batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. "Orang di balik tirai, salam hormatku untukmu. Terima kasih kau telah mengizinkan aku masuk ke ruangan bagus ini walau kau rupanya agak malu-malu unjukkan diri. Sebelum menjawab pertanyaanmu tentang siapa diriku sebenarnya, izinkan aku membuang ingus lebih dulu!"

Dengan ujung jari Wiro tekap cuping hidung kanan lalu sekuat tenaga keluarkan angin dari hidung yang terbuka. Selesai satu lubang, dia semburkan angin keras dari lubang hidung kedua.

Setiap dia menyembur, tirai biru bergoyang keras. Orang di dalam tirai berteriak marah. "Tamu kurang ajar! Jangan berani mengotori ruangan dan Tirai Samudera Biru!"

"Aahh, aku mohon maaf. Hidungku gatal sekali. Aku tak tahan kalau tidak menyemprotkan ingus. Eh, bukankan tadi kau menyebut aku bocah ingusan? Aduh, tidak sengaja. Ingusku nempel di tiraimu yang bagus. Biar aku bersihkan...." Wiro pura-pura hendak melangkah. Padahal memang tidak ada ingus atau kotoran lain yang menempel di tirai biru.

Orang di balik tirai kembali melarang. Walau suaranya keras tapi tetap saja bernada lembut.

"Tetap di tempatmu. Jangan berani bergerak. Apalagi mendekati tirai. Sekarang jawab pertanyaanku. Apa kau Pendekar 212 Wiro benaran atau cuma perujudan jejadian dari seorang yang menyamar?"

"Ah, dari dalam tirai kau bisa lihat sendiri. Aku berdiri dengan dua kaki menginjak lantai. Aku bukan bangsa manusia jejadian karena orang tuaku manusia betulan. Aku juga bukan bangsa atau turunan hantu atau dedemit. Memangnya kau kira aku ini siapa? Kalau tidak percaya apa kau mau lihat aku loloskan pakaian telanjang bulat?!" Habis berkata begitu Wiro pura-pura hendak loloskan celana putihnya.

"Jangan berani kurang ajar! Kalau kau berani melakukan itu, seumur-umur kau akan kubuat telanjang bugil terus-terusan!"

Wiro tertawa lebar lalu tarik kembali tangannya.

"Jawab pertanyaanku tadi bocah ingusan!"

"Aku datang apa adanya. Aku tidak merubah ujud, tidak menyamar. Seperti kau lihat sendiri. Aku ini 'kan bocah ingusan kurang waras. Tapi manusia betulan! Sekarang aku mau tanya, apakah kau Nyi Roro Manggut orang yang ingin kutemui dengan segala hormat?"

Bukannya menjawab, orang dalam tirai bicara lain dan bertanya.

"Sebelumnya kau memberikan sebuah kaleng butut pada Nyi Nuning. Dengan pesan agar diserahkan padaku. Dari siapa kau menerima benda itu?"

"Dari seorang kakek ingusan yang otaknya sama dengan diriku. Sama-sama kurang waras," jawab Wiro sambil menyeringai.

Orang di dalam tirai terdiam. "Rasakan!" ujar Wiro dalam hati. Tiba-tiba di dalam tirai terdengar suara tertawa merdu.

"Kau pandai bergurau. Aku suka orang yang pandai bercanda. Tapi kau bercanda tidak pada tempatnya. Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa."

"Bagaimana bisa tahu! Habis kau menutup dirimu sembunyi di balik tirai!" sahut Wiro yang jadi kesal dan lupa bahwa dia datang ke situ membawa satu kepentingan besar yakni mendapatkan ilmu kesaktian untuk menyelamatkan Bunga gadis dari alam roh yang disekap Iblis Kepala Batu Alis Empat.

"Kau tidak lulus syarat yang aku tentukan agar dapat menghadapku."

"Aku tidak tahu di tempat ini ada persyaratan lulus atau tidak segala. Mengapa tidak memberi tahu lebih dulu? Walah biyung!" Wiro garuk-garuk kepala lalu lanjutkan ucapannya. "Kalau kau memang punya persyaratan dan aku kau nyatakan tidak lulus, tidak jadi apa. Aku dengan suka rela akan tinggalkan tempat ini. Tapi, kembalikan dulu padaku kaleng butut yang aku titipkan melalui pengawalmu."

Orang didalam tirai tercekat diam. Sesaat kemudian terdengar suaranya bertanya.

"Kalau aku tidak mengembalikan?"

"Berarti kau seorang, pencuri. Apakah di kawasan keramat ini boleh tinggal seorang pencuri?"

Mendengar kata-kata Pendekar 212 orang di dalam tirai tertawa panjang.

"Bocah ingusan berotak kurang waras. Ternyata selain pandai bergurau kau juga pandai bicara. Sekarang hentikan semua senda gurau. Jawab pertanyaanku. Siapa yang tadi kau sebutkan sebagai kakek ingusan berotak kurang waras si pemilik kaleng butut ini?"

"Aku memanggilnya Kakek Segala Tahu."

Orang di dalam tirai keluarkan suara desahan panjang lalu menarik nafas dalam berulang kali.

"Di mana dan kapan kau terakhir kali bertemu dengan kakek itu?"

"Di Bukit Menoreh, pada suatu malam beberapa waktu yang lalu." Jawab Wiro.

"Bukit Menoreh.... Ah, bagaimanakah. keadaannya sekarang? Apakah masih seindah dulu?" Perempuan di dalam tirai bicara perlahan seolah bicara pada dirinya sendiri.

"Orang dalam tirai, apakah kau pernah ke Bukit Menoreh?"

"Bocah ingusan, sebelum kau lahir aku sudah berada di tempat itu."

"Oh, begitu?" Wiro garuk-garuk kepala kembali sambil senyum-senyum.

"Seberapa jauh kenalnya dirimu dengan Kakek Segala Tahu?" Orang dalam tirai melingkar bertanya.

"Aku menganggap dia sebagai kakek sendiri. Kakek benaran. Tapi dia orangnya aneh. Lebih banyak menghilang hingga sulit ditemui."

"Waktu dia memberikan kaleng ini, apakah dia memberi pesan untukku?"

"Tidak. Kakek Segala Tahu tidak menitipkan pesan apa-apa. Dia hanya bilang, berikan kaleng ini padamu. Dan kau pasti akan memberikan ilmu kesaktian padaku untuk menolong gadis dari alam roh."

"Jadi dia tidak memberi pesan apa-apa? Ahhh...." Perempuan dalam tirai kembali mendesah dan menarik nafas panjang. Lalu dengan suara sangat perlahan, tapi bisa didengar oleh Wiro orang itu berkata.

"Kelihatannya dia tidak melupakan diriku. Tapi mengapa tanpa pesan sama sekali?" Diam sejenak. Ruang besar dengan tirai berbentuk lingkaran di dalamnya diselimuti kesunyian. "Apakah kakek itu masih suka mengenakan caping?" Tiba-tiba orang di dalam tirai bertanya.

"Ke mana-mana dia selalu pakai caping. Malah waktu kencing, buang air besar dan tidur capingnya itu tidak pernah dibuka!"

Perempuan di dalam tirai tertawa. Namun suara tawanya bukan suara tawa bahagia karena dalam tawa itu ada rasa ganjalan yang mungkin ada hubungannya dengan masa lalu dan ada kaitannya dengan Kakek Segala Tahu.

Sementara orang tertawa Wiro membatin. "Agaknya orang di dalam tirai banyak tahu perihal Kakek Segala Tahu."

"Orang di dalam tirai, kalau aku boleh bertanya. Apakah kau Nyi Roro Manggut adanya?"

"Ya... ya, memang aku Nyi Roro Manggut."

"Aku tidak bisa bicara dengan orang yang terus-terusan sembunyi di balik tirai. Apakah kau tidak mungkin keluar dari tirai memperlihatkan diri?"

"Mungkin saja," jawab orang yang ditanya. "Tapi aku perlu kejelasan atas beberapa hal. Tadi kau mengatakan kakek yang memberikan kaleng ini berucap jika kaleng kauberikan padaku maka aku akan bersedia memberi ilmu kesaktian untuk menolong gadis dari alam roh. Ilmu kesaktian apa yang kau maksudkan, lalu siapa gadis dari alam roh itu? Apa yang telah terjadi?"

"Menurut kakekku itu kau memiliki ilmu kesaktian yang disebut Meraga Sukma. Seorang sahabatku, gadis dari alam roh bernama Suci, biasa dipanggil Bunga, disekap oleh seorang tokoh silat jahat dalam sebuah guci tembaga. Kakekku bilang hanya dengan ilmu Meraga Sukma aku bisa menyelamatkan gadis dari alam roh itu. Itu sebabnya dia menyuruhku ke sini untuk menemui sorang bernama Nyi Roro Manggut. Yaitu dirimu. Aku sangat berharap, tapi tidak tahu apakah kau mau menolong. Mau memberikan ilmu itu."

Lama tak ada suara jawaban dari dalam tirai.

"Nyi Roro Manggut? Apakah kau masih di dalam situ?" tanya Wiro.

"Aku tidak ke mana-mana. Aku masih di sini." Terdengar jawaban. "Orang jahat yang menyekap sahabatmu itu, siapakah dia?"

"Tokoh silat golongan hitam berjuluk Iblis Kepala Batu Alis Empat. Apakah kau mengenalnya?" tanya Wiro.

"Aku mengenalnya seperti mengenal telapak tanganku sendiri...."

Wiro garuk-garuk kepala. "Jika Nyi Roro Manggut kenal baik dengan manusia iblis itu, besar kemungkinan dia tidak akan mau memberikan Ilmu Meraga Sukma," pikir Wiro.

"Nyi Roro, apakah kau bersahabat dengan Iblis Kepala Batu?" bertanya Pendekar 212.

"Aku? Nyi Roro Manggut bersahabat dengan Iblis Kepala Batu?" Nyi Roro tertawa panjang. "Manusia jahat satu itu sudah saatnya disingkirkan dari muka bumi ini."

Wiro merasa lega. "Jadi Nyi Roro, kau bersedia memberikan Ilmu Meraga Sukma padaku?"

"Eh, apakah kau pernah mengucapkan permintaan? Kau hanya menuturkan keterangan Kakek Segala Tahu, tidak meminta ilmu itu padaku."

Murid Sinto Gendeng tertawa dan garuk-garuk kepala. Dia memang belum mengatakan maksudnya. Maka cepat-cepat Wiro berkata.

"Nyi Roro, maafkan kelalaianku. Aku datang ke sini atas petunjuk Kakek Segala Tahu, menemuimu untuk mendapatkan Ilmu Meraga Sukma. Semoga kau berkenan."

"Gadis dari alam roh itu, apakah kalian hanya sekedar bersahabat. Atau ada hubungan lain?"

"Dia lebih dari sahabat. Dia telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku. Aku banyak berhutang budi padanya."

"Budi.... Sesuatu yang sangat baik. Tapi kerap kali menjadi beban di pundak manusia."

"Nyi Roro Manggut, kita sudah sejak tadi bercakap-cakap. Tapi sampai saat ini aku belum melihat dirimu. Apakah memang ini satu pantangan kau tidak boleh memperlihatkan diri terhadap tamu yang datang?"

"Aku kawatir kau akan terkejut melihat diriku."

"Ah, selama kau tidak punya dua kepala empat tangan dan empat kaki masakan aku akan terkejut," jawab Wiro pula.

Di dalam tirai Nyi Roro Manggut tertawa mer-du. "Bocah ingusan, kukabulkan permintaanmu."

Lalu terdengar suara berdesir. Tirai biru tebal berbentuk lingkaran terbuka. Di tengah ruangan ada satu hamparan permadani berbentuk bulat. Di atas permadani ini terdapat satu bantalan tebal. Dan di atas bantalan empuk inilah duduk bersimpuh orang bernama Nyi Roro Manggut itu.

Ketika memandang wajah dan sosok Nyi Roro Manggut Wiro jadi terkesiap kaget. "Ah...." Dia sampai keluarkan desah tertahan.

SELAGI Nyi Roro Manggut memperhatikan pemuda gondrong di hadapannya itu dari kepala sampai ke kaki, Wiro sendiri menatap Nyi Roro dengan air muka kejut tak percaya. Ternyata Nyi Roro Manggut adalah seorang nenek bertubuh cebol. Sepasang matanya juling, hidung pesek hampir sama rata dengan dua pipi berkulit keriput. Rambut putih panjang, menjela sampai ke bantalan yang didudukinya. Sesekali kepalanya diangguk-anggukan seperti orang tersedak. Mung-kin ini sebabnya dia bernama Nyi Roro Manggut alias Nyi Roro Angguk.

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Kesal ada, mau tertawa pun ada. Dia tidak menyangka kalau orang yang namanya Nyi Roro Manggut itu begini rupa penampilannya. "Sekarang rasanya aku tidak akan jengkel kalau dia memanggil diriku bocah ingusan. Paling tidak nenek satu ini usianya sama dengan Eyang Sinto Gendeng."

"Kakek Segala Tahu sialan!" Wiro memaki.

"Bocah ingusan, siapa yang barusan kau maki dalam hati?"

Wiro tersentak lalu tertawa lebar sambil garuk-garuk kepala. "Luar biasa, nenek cebol ini bisa mendengar suara hatiku!"

"Nyi Roro, aku barusan ingat pada Kakek Segala Tahu. Waktu dia menerangkan mengenai dirimu, dia mengatakan kau adalah seorang gadis cantik jelita...."

Nyi Roro Manggut anggukkan kepala dua kali lalu tertawa panjang dan merdu. Tidak dapat dipercaya suara tawa semerdu itu keluar dari seorang nenek jelek bermata juling.

"Hidup di alammu sana memang tidak boleh selalu percaya pada ucapan orang. Dan pada saat melihat sekali pun kau tidak bisa percaya pada pandangan matamu. Hidup di dunia penuh dengan kata manis puji sanjungan tapi juga bantak tipu dayanya."

Wiro cuma anggukkan kepala. Dalam hati dia berkata. "Yang aku lihat jelas-jelas saat ini adalah nenek cebol jelek, mata juling. Bagaimana aku harus tidak mau percaya pada pandangan mata sendiri?"

Nyi Roro Manggut tersenyum. "Kau kecewa melihat keadaanku karena tidak sesuai dengan ucapan sahabatmu Kakek Segala Tahu?"

Wiro golongkan kepala. "Tidak, aku cuma ingin menjitak kepala Kakek Segala Tahu kalau bertemu nanti. Dia mendustai diriku...."

"Kualat kau kalau melakukan hal itu," kata Nyi Roro Manggut pula sambil tersenyum. "Kau sungguh-sungguh ingin mendapatkan Ilmu Meraga Sukma?"

"Dengan izinmu, aku sangat mengharap. Demi keselamatan sahabatku Bunga."

Nyi Roro Manggut mengangguk.

"Untuk mendapatkan ilmu itu ada dua hal yang harus kau lakukan. Jika kau tidak mampu melakukan maka Ilmu Meraga Sukma tidak mungkin kuberikan padamu."

"Harap Nyi Roro mau memberi tahu kedua syarat itu. Mudah-mudahan aku bisa melakukan...."

"Bukan mudah-mudahan, tapi harus kau lakukan. Untuk itu kau harus berjanji."

"Maaf Nyi Roro Manggut, aku tidak bisa berjanji untuk sesuatu yang tidak aku ketahui. Turut ucapanmu tadi jangan percaya perkataan orang. Walau sudah melihat sekali pun kita masih bisa -tertipu pada apa yang kita lihat."

Nyi Roro Manggut tatap wajah Pendekar 212. Dalam hatinya ada rasa kagum terhadap pribadi pemuda yang dipanggilnya dengan sebutan bocah ingusan itu.

"Pendekar 212, aku mulai saja dengan syarat pertama. Kau siap mendengarkan?"

"Aku siap Nyi Roro...."

"Kita akan masuk ke sebuah kamar. Di kamar itu kau harus mencumbui diriku layaknya seorang suami mencumbui istrinya."

Murid Sinto Gendeng sampai tersurut satu langkah mendengar ucapan Nyi Roro Manggut itu. Dia pandangi si nenek dengan mata tak berkesip, mulut ternganga.

"Jangan diam melongo. Jawab pertanyaanku. Kau sanggup melakukan hal itu atau tidak?"

"Nyi Roro, aku memang sangat inginkan Ilmu Meraga Sukma untuk menolong sahabatku Bunga. Tapi kalau aku harus mencumbuimu, aku...." Wiro gelengkan kepala. "Maafkan aku Nyi Roro. Aku tak bisa melakukan hal itu...."

"Berarti kau tidak menjalani hal yang diisyaratkan. Berarti kau tidak akan mendapatkan Ilmu Meraga Sukma. Berarti kau tidak bisa menolong sahabatmu."

"Tidak jadi apa Nyi Roro. Aku tidak mau melakukan hal itu sekali pun akhirnya aku tidak mendapatkan ilmu dan menolong sahabatku Bunga."

"Kau tidak mau karena aku seorang nenek cebol dan jelek?" tanya Nyi Roro Manggut.

"Sekali pun kau seorang bidadari, aku tetap tidak akan mau melakukan hal itu." Jawab Wiro pula.

"Sungguh?"

"Sungguh!" jawab murid Sinto Gendeng tegas. "Nyi Roro, aku telah mengganggu dirimu, maafkan. Aku minta diri untuk meninggalkan tempat ini."

"Tunggu dulu. Aku akan menguji dulu ucapan mu tadi." Habis berkata begitu klik... klik... klik! Nyi Roro Manggut jentrikkan tangannya tiga kali berturut-turut. Ruangan besar itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah kamar yang sangat bagus dan mewah. Nyi Roro Manggut lenyap entah ke mana. Ketika Wiro memandang ke samping kiri di situ ada sebuah tempat tidur rendah dilengkapi bantal-bantal lembut. Dan di atas tempat tidur itu tergolek sosok seorang gadis yang wajahnya luar biasa cantik. Kepalanya tidak manggut-manggutan lagi. Saat itu juga tercium bau wangi harum semerbak dan lapat-lapat terdengar suara alunan gamelan.

"Wiro, inilah ujud diriku sebenarnya sebagaimana ucapan sahabatmu Kakek Segala Tahu. Sekarang apakah kau masih menolak melakukan syarat yang aku sebutkan?"

Pendekar 212 Wiro Sableng terkesiap. Nafasnya tertahan. Matanya masih memandang tak berkesip. Suara yang barusan bicara sama seperti suara Nyi Roro Manggut yang nenek tadi. Wiro menggosok matanya.

Di atas pembaringan gadis cantik tertawa panjang.

"Wiro, sekali ini pandanganmu tidak tertipu. Inilah ujud diriku sebenarnya. Ujud Nyi Roro Manggut yang asli. Mendekatlah ke mari, berbaring di sebelahku. Saat ini kita telah menjadi suami istri. Aku bersedia melayanimu...." Sambil berucap si gadis gerakkan kakinya hingga pakaiannya yang terbelah menyingkapkan sobagian auratnya sebelah bawah.

"Gila!" ujar murid Sinto Gendeng.

"Wiro, kau ingin Ilmu Meraga Sukma. Kau ingin menolong sahabatmu gadis bernama Bunga itu. Kau tunggu apa lagi?"

"Nyi Roro...."

"Ah, suaramu gemetar menyebut namaku. Mendekat ke mari...."

"Nyi Roro, aku mengagumi kecantikan wajah dan kebagusan tubuhmu. Tapi sayang, aku tetap tidak bisa menerima permintaanmu."

"Kau takut berdosa?"

"Semua orang bisa saja berdosa. Tapi untuk urusan yang beginian aku tidak bisa. Maafkan aku...."

"Aku sudah menjadi istrimu. Berarti tidak ada dosa apa pun atas dirimu jika kau mencumbui diriku...."

"Tidak Nyi Roro. izinkan aku keluar dari sini."

"Wiro, ketika kau menyelamatkan Ratu Duyung dari kutukan, kau bersedia menidurinya. Mengapa saat ini kau menolak melakukan hal yang sama?"

"Kau salah menduga Nyi Roro. Mungkin juga mendengar cerita yang keliru. Aku tidak pernah meniduri Ratu Duyung. Keselamatannya dari kutukan itu adalah atas kehendak dan kuasa Gusti Allah."

"Begitu?"

"Memang begitu," jawab Wiro.

Tiba-tiba secara aneh tempat tidur besar itu bergerak meluncur mendekati Wiro. Demikian dekatnya hingga Wiro melihat jelas kecantikan wajah nan kebagusan tubuh Nyi Roro Manggut.

"Kau masih ingin menolak, Pendekar 212? Aku tahu hatimu bimbang. Dengar, kau adalah manusia biasa, terdiri dari daging, tulang dan darah. Di dalam dirimu ada hati nurani yang dlbungkus oleh satu hasrat yang tidak bisa kau Ingkari. Tidurlah di sampingku. Kita sudah menjadi sepasang suami istri. Aku siap melayanimu." Nyi Roro ulurkan tandannya.

Wiro garuk-garuk kepala. Dalam hati dia berkata. "Ngacok! Ke pan nikahnya aku sama dia!"

"Wiro...,"

"Maafkan aku Nyi Roro."

"Kau benar-benar menolak?"

"Aku sudah melupakan untuk mendapatkan Ilmu Meraga Sukma itu. Aku akan berusaha mencari cara lain untuk menyelamatkan Bunga."

Nyi Roro Manggut turun dari atas tempat tidur besar. Berdiri di hadapan Wiro dan pegang pundak kiri kanan si pemuda dengan kedua tangannya. Wiro merasa nafasnya seperti berhenti dan darahnya seperti tidak mengalir lagi.

Nyi Roro Manggut tiba-tiba dekatkan mulutnya ke wajah sang pendekar. Wiro mengira dirinya hendak dicium. Ternyata Nyi Roro Manggut berbalik.

"Kau lulus syarat pertama...."

Wiro lepaskan nafas lega.

"Tapi masih ada satu syarat lagi yang harus kau laksanakan. Kau bersedia melakukan?"

Wiro mengangguk. "Kalau aku punya kemampuan," jawabnya.

Nyi Roro Manggut mundur dua langkah.

Seperti tadi dia jentikkan tangannya tiga kali. Kamar besar dengan tempat tidur mewah serta merta lenyap. Tapi ujud dirinya tidak berubah, tetap sebagai seorang gadis cantik jelita berpakaian tipis.

"Wiro, lihat ke sisi kananmu." Ucap Nyi Roro Manggut.

Wiro berpaling ke arah yang dikatakan. Dia melihat satu pemandangan aneh. Kira-kira dua puluh langkah di sebelah kanan terdapat serumpunan semak belukar dan jejeran pohon-pohon besar. Di tengah semak belukar ada sebuah goa yang batu-batunya terbuat dari batu menyala, panas merah menyala. Di mulut goa terdapat satu batu empat persegi yang juga merupakan batu menyala panas, mengepulkan asap menggidikkan.

Nyi Roro merobek ujung pakaiannya, membuntalnya lalu melemparkan ke atas batu empat persegi.

"Bleepp!"

Serta merta robekan pakaian itu berubah menjadi kobaran api lalu lenyap jadi asap." Dari sudut ruangan Nyi Roro Manggut mengambil sebuah jambangan terbuat dari besi. Jambangan besi ini dilemparkannya ke atas batu.

"Cesss!"

Hanya dalam waktu sekejapan saja benda itu dikobari api, leleh dan akhirnya amblas lenyap!

"Wiro, tanggalkan semua pakaian luarmu. Melangkah ke mulut goa. Lalu kau harus duduk bersila di atas batu menyala itu!."

Murid Sinto Gendeng melengak kaget. Berpaling pada Nyi Roro Manggut.

"Nyi Roro...."

"ITU SYARAT kedua. Kalau kau ingin dapatkan Ilmu Meraga Sukma. Kalau kau ingin menolong sahabatmu Bunga."

Wiro garuk kepala habis-habisan. Dia memandang pulang balik dari wajah cantik jelita Nyi Roro Manggut yang tersenyum padanya ke batu merah menyala di mulut goa.

"Gila, besi saja amblas begitu rupa. Apalagi pantatku jika aku duduk bersila di atasnya!"

"Wiro, aku tidak punya waktu lama. Kau mau menjalankan syarat atau tidak?"

Wiro gigit-gigit bibirnya. Dia coba menguatkan nati menabahkan semangat.

"Nyi Roro, aku akan lakukan apa yang kau syaratkan," jawab Wiro dengan mata menatap tajam ke arah goa dan batu menyala empat persegi.

Nyi Roro Manggut tersenyum, anggukkan kepala.

Wiro melangkah ke arah goa merah menyala. Masih lima belas langkah hawa panas dari goa dan batu di dalamnya telah menerpa dirinya. Wiro melangkah terus walau saat itu rasanya tubuhnya seperti terpanggang. Sepuiuh langkah dari depan goa dia hentikan langkah, di sini Wiro buka baju serta celana panjang putih yang dikenakannya.

Kapak Maut Naga Geni 212 dan kantong hitam berisi batu sakti diletakkan di atas tumpukan pakaian. Otot-otot di dada dan perutnya menggembung keras. Kulit tubuhnya berubah merah.

"Tuhan, tolong saya...." ucap Wiro dalam hati ketika rasa kebimbangan menyeruak dalam dirinya. Kemudian dengan langkah mantap dia berjalan ke arah goa. Makin dekat ke goa semakin Keras hawa panas yang menerpanya. Tubuhnya laksana leleh. Matanya perih sakit luar biasa seolah ada ratusan jarum menusuk.

Tepat di depan goa Wiro balikkan badan, melangkah mundur lalu rundukkan badan, siap untuk duduk di atas batu empat persegi merah menyala. Wiro menggigit bibirnya kencang-kencang hingga luka dan berdarah saking tak kuat menahan hawa panas yang menghantam tekujur tubuhnya terutama di bagian belakang. Wiro pejamkan mata. Tubuhnya bergetar hebat, basah oleh keringat yang seolah berupa guyuran air panas mendidih. Wiro dudukkan tubuhnya di atas batu menyala panas.

"Cosss!"

Suara kencang terdengar pada saat tubuh Wiro duduk di atas batu menyala. Dia sudah siap untuk amblas dan leleh bahkan mati mengenaskan! Tapi hal itu tidak terjadi, yang dirasakannya adalah hawa dingin luar biasa tiba-tiba memasuki tubuhnya, berasal dari batu merah menyala yang didudukinya, dan dari batu menyala goa di sekelilingnya. Rahangnya sampai bergemeletakkan. 

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang