SATU
Malam hari di pantai Losari. Walau angin bertiup cukup kencang dan udara dingin, air laut tampak tenang. Sejak senja sebuah kapal kayu besar berbendera merah bergambar naga hitam telah melego jangkar di perairan Tanjung Losari.
Pada saat malam bertambah gelap karena bulan separuh lingkaran tertutup awan, dari pintu di lambung kapal sebelah kanan keluar dua orang bertubuh tinggi tegap, berpakaian dan berikat kepala serba putih. Orang pertama masih muda, bertampang keren, berkumis kecil. Di sampingnya berdiri seorang lelaki berusia lanjut, kakek memelihara janggut dan kumis menjulai sampai di bawah dagu, berwarna hitam karena dicat. Kedua orang ini sama-sama memiliki alis tinggi mencuat, bermata sipit dan berkulit kuning.
Saat itu sebuah tangga telah terpasang, menghubungi pintu di kapal dengan sebuah sampan yang sejak petang hari telah merapat di perut kapal kayu. Sampan ini ditunggui seorang pendayung berpakaian hitam. Orang tua di pintu kapal berpaling pada lelaki muda di sampingnya.
"Ingat rencana. Begitu sampai di daratan tukang perahu itu harus kau habisi! Kita tidak mau ada seorangpun saksi hidup dalam urusan ini! Kau mengerti Siauw Cie?" Lelaki muda berkumis kecil yang dipanggil dengan nama Siauw Cie anggukkan kepala. Lalu berkata.
"Silahkan Bun enghiong. " (enghiong = orang gagah/panggilan kehormatan).
Orang tua she Bun mundur satu langkah. "Kau turun duluan," katanya. Kedua orang ini bicara dalam bahasa Cina.
Siauw Cie kencangkan buhul kain putih ikat kepala lalu tidak menunggu lebih lama tanpa menuruni tangga langsung saja melompat, melayang masuk ke dalam sampan. Ketika dua kakinya menginjak lantai sampan, perahu kecil ini sedikitpun tidak oleng. Satu pertanda bahwa Siauw Cie memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Hal ini diperhatikan oleh pemilik sampan dengan berdecak penuh kagum.
Hanya sesaat setelah Siauw Cie berada di atas sampan, orang tua bernama Bun Pek Cuan melesat pula ke bawah. Ternyata dia memiliki gerakan lebih sebat serta ilmu meringankan tubuh lebih andal dibanding Siauw Cie. Ini terlihat selain sampan tidak bergerak, sampan kayu kecil ini juga tidak diberati dan tidak turun masuk ke dalam air laut. Di atas sampan kedua orang Cina itu tidak duduk melainkan tetap berdiri.
Begitu dua orang berpakaian serba putih sudah berada di atas sampan serta melihat isyarat anggukan kepala dari Siauw Cie, pemilik sampan yang sejak tadi menunggu segera mendayung sampannya.
Sambil berdiri rangkapkan dua tangan di depan dada sementara angin laut menerpa dingin, Bun Pek Cuan berkata.
"Sampan ini meluncur lamban. Seperti kura-kura merangkak. Kapan kita sampai? Aku tidak sabaran. Kita harus kembali ke kapal dan berangkat sebelum tengah malam. Siauw Cie, lakukan sesuatu. "
"Baik Bun enghiong," jawab Siauw Cie. Lalu dia jongkok di lantai sampan, tangan kanan dicelupkan ke dalam air laut yang dingin. Sekali tangan itu dikibaskan ke belakang, sampan kayu serta merta meluncur pesat ke depan seolah didayung enam orang. Pemilik sampan yang mendayung dan berada di bagian sampan terheran-heran. Setelah beberapa kali memperhatikan tangan Siauw Cie menyapu air dan sampan melesat kencang, pemilik perahu akhirnya letakkan dayung di atas pangkuan dan hanya duduk tertawa-tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian Tito
Ficción GeneralWiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...