137. Aksara Batu Bernyawa

5.2K 80 2
                                    

SATU

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SATU

PANTAI Selatan. Arah timur Parangteritis. Menjelang tengah malam. Langit kelihatan hitam diselimuti awan tebal yang telah menggantung sejak senja berlalu. Tiupan angin keras dan dingin terasa menusuk sangat. Kalau saja tidak ada suara debur gulungan ombak yang kemudian memecah di pasir, kawasan pantai selatan itu niscaya diselimuti kesunyian berkepanjangan.

Di balik sederetan semak belukar liar, dua sosok berpakaian dan berdestar hitam mendekam tak bergerak laksana batu. Mata masing-masing yang nyaris hanya sesekali berkedip memandang lekat ke tengah lautan. Ketika salah seorang diantara mereka keluarkan ucapan memaki, hanya mulut saja yang bergerak. Kepala dan tubuh tetap diam.

"Sialan!" Orang yang memaki ini memiliki kepala besar. Sepasang alis kelihatan aneh karena yang kiri hitam lebat sebaliknya alis sebelah kanan berwarna putih rimbun. Hidung besar tapi kelihatan seperti penyok. Pada kening dan pipi ada bentol-bentol hitam. Wajah manusia satu ini sungguh sangat tidak sedap untuk dipandang.

"Apa yang sialan Putu Arka?" tanya kawan si alis aneh yang duduk mencangkung di sebelah. Orang ini bernama Wayan Japa, berwajah panjang lancip. Kalau Putu Arka memiliki keanehan pada sepasang alis maka Wayan Japa punya keanehan pada mata kiri. Mata ini putih semua seolah tidak ada bola mata, tapi anehnya mampu melihat seperti mata kanan yang terlihat jelas bola matanya.

"Langit itu!" Jawab Putu Arka sambil tudingkan telunjuk tangan kanan ke atas.

"Langit?" Teman yang bertanya mendongak ke atas, menatap ke arah langit. "Ada apa dengan langit?"

"Apa matamu buta?!" Suara Putu Arka menyentak tapi perlahan. Kedua orang ini sengaja tak mau bicara keras-keras. Kawatir ada orang lain yang tak mereka ketahui mendekam di sekitar tempat itu dan mendengar percakapan mereka.

"Belum, mataku belum buta. Memangnya kenapa?" sahut Wayan Japa yang disusul dengan pertanyaan.

"Langit ditelan kegelapan. Aku tidak bisa melihat bintang satupun! Aku tidak bisa menentukan saat ini apakah menjelang atau sudah tengah malam atau sudah lewat tengah malam! Waktu sangat penting bagi pekerjaan ini. Meleset sedikit kita tidak akan mendapatkan benda itu. Percuma jauh-jauh dari Buleleng datang ke sini. Kalau kita gagal, apa kata guru. Sekarang apa kau mengerti mengapa aku tadi memaki Wayan?" Wayan Japa anggukkan kepala. "Cuaca memang tidak membantu. Sebentar lagi mungkin akan turun hujan lebat. Jadi sebaiknya kita teruskan memperhatikan kearah laut. Aku menduga saat ini baru menjelang tengah malam. Seandainya.."

Putu Arka pegang lengan kawannya.

"Ada apa?" tanya Wayan.

"Hidungmu belum rusak?"

"Maksudmu?" Wayan Japa bertanya heran.

"Tadi langit, sekarang hidungku."

"Apa kau tidak mencium bau sesuatu?" Putu Arka bertanya sambil pelototkan mata.

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang