SATU
HUTAN Ngluwer ternyata luas sekali. Setelah matahari menggelintir ke barat, dalam keadaan tangan kanan cidera berat, kepala rampok Surah Nenggolo akhirnya sampai ke tempat yang dituju. Tempat ini terletak dekat sebuah danau kecil, dikelilingi pohon-pohon besar. Bayangan dedaunan pepohonan yang berbagai ragam membuat air danau seperti berwarna ketika sinar matahari memantul di permukaan air.
Di pinggir danau terlihat tiga bangunan beratap rumbia, dua agak kecil dan tertutup dinding. Satunya besar tanpa dinding. Di dalam bangunan besar sembilan orang duduk mengelilingi sebuah meja panjang terbuat dari bambu.
Di kepala meja sebelah kanan duduk seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan, berwajah cakap, memiliki kening tinggi dan alis mata tebal. Rambut panjang sebahu. Dibanding semua orang yang ada di tempat itu, dia satusatunya yang berpakaian dan berpenampilan apik rapi.
Di kiri kanan meja bambu, duduk delapan orang yang rata-rata telah berusia lebih dari setengah abad. Dari raut wajah serta pakaian, jelas menunjukkan sebagai orang rimba persilatan. Satu-satunya perempuan yang hadir di tempat itu adalah seorang nenek berhidung seperti paruh burung kakak tua, bermata dingin kelabu.
Di luar bangunan dua puluh orang bertubuh tegap, memakai blangkon dan pakaian serba hitam tegak berjagajaga.
Di dada kiri baju yang mereka kenakan tertera sulaman kuning rumah joglo dan dua keris bersilang. Lelaki cakap di kepala meja sebelah kanan memandang berkeliling lalu bertanya, "Keluarga seperjuangan yang hadir, apakah pertemuan bisa dimulai?"
Ada yang menganggukkan kepala, banyak yang berkata mengiyakan.
"Terimakasih. Terimakasih saudara-saudara seperjuangan bisa hadir dalam pertemuan Keraton Kaliningrat yang ke sembilan belas ini. Seperti pertemuan yang sudah-sudah, Ayahanda Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata meminta saya mewakili diri beliau."
"Pangeran Muda, apakah Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata berada dalam keadaan baik?" seorang peserta pertemuan bertanya.
"Tentu saja." Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda menjawab sambil anggukkan kepala. "Ayahanda berkirim salam untuk semua saudara seperjuangan. Ada beberapa hal penting yang akan kita bicarakan. Pertama perihal madat asal kapal Cina yang sampai saat ini tidak ketahuan di mana beradanya. Dua orang kerabat kita yang diketahui membawa madat itu ditemukan tewas. Kita masih menelusuri siapa pembunuhnya. Dua orang kerabat lainnya kembali dengan tangan hampa, malah salah seorang dari mereka mendapat. Hal kedua..."
Belum sempat Pangeran Muda meneruskan ucapan tiba-tiba di kejauhan terdengar satu jeritan keras. Lalu suara orang berlari. Tak lama kemudian muncullah sosok lelaki pendek berkepala botak, bercambang bawuk lebat. Dia langsung masuk ke dalam bangunan pertemuan. Nafas mengengah, dada turun naik. Muka sepucat kain kafan.
Ada luka cukup dalam di mata kanan yang membuat bola matanya yang juling seperti hendak meloncat keluar. Tangan kanannya yang hancur berlumuran darah setengah mengering diletakkan di atas meja. Tubuh terhuyunghuyung. Kalau tidak lekas dipegang orang niscaya akan jatuh terkapar di tanah. Pertemuan menjadi geger. Seorang cepat mendekati si botak, mengurut beberapa bagian tubuhnya sambil alirkan hawa sakti dan tenaga dalam, memberi kekuatan. Si botak ini lalu didudukkan di sebuah kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian Tito
General FictionWiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...