Entah kenapa ungkapan bahwa orang yang paling bijaksana di dunia adalah orang yang mengatahui bahwa dirinya tidak tahu menjadi tamparan tersendiri buat saya sore ini. Masih terngiang ngiang di telinga saya betapa saya acap kali bergosip ria mengenai keburukan orang. Dan dengan gagahnya saya mengatakan bahwa si A begini dan si B begitu dengan nuansa yang begitu negatif.
Jelas ungkapan yang tadi saya sebutkan menjadi pertanda bagi saya sendiri bahwa hidup saya perlu direvisi lebih jauh. Mungkin asyik jika kita mendiskusikan apa yang menjadikan orang tersebut lebih rendah daripada kita. Atmosfer superioritas memang menjadi kebutuhan semua umat manusia. Kita perlu pembanding yang justru lebih buruk daripada kita sendiri. Parahnya, dengan cara yang seperti ini pula, kita malah menemukan cara untuk mensyukuri hidup. Rasa syukur kita berawal dari sebuah "nyinyir" yang biasa kita lakukan terhadap orang lain.
Merasa lebih memiliki keberuntungan dari pada orang lain, terkadang menjadikan kita orang yang membuat sebuah strata dalam hidup kita. Strata yang kita yakini secara hakiki dan kadang kita bela mati-matian. Padahal, tujuan kita dididik adalah mengangkat kiri dan kanan kita menuju tempat yang lebih baik, bukannya membuat sebuah strata atau tingkatan yang menjadikan kita "berbeda" dengan orang lain. Dalam hal ini, saya pun sering tertawa sendiri melihat saya mencoba "beradaptasi" dengan orang orang yang mungkin kurang beruntung dalam pendidikan. Tak jarang, saya memberi jarak.
Tapi selalu ada dalam benak saya untuk berusaha belajar dari lingkungan sekitar, bagaimanapun caranya. Bagaimanapun caranya pula, pikiran pikiran yang menganggap bahwa kita berada di strata yang berbeda selalu saya lawan dengan prinsip alam terkembang menjadi guru. Bahwa sebenarnya, pemilik ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi dalam dunia ini adalah milik mereka yang selalu mencoba merendah dan melihat secara objektif apa yang terjadi. Dan adakalanya pula perspektif itu harus kita lihat pada titik yang paling rendah. Singkatnya, semakin tinggi pendidikan seseorang, seharusnya menjadikan mereka manusia paling rendah hati yang pernah ada di muka bumi, bukannya menjadi menara gading di tengah hutan belantara.
Dan di akhir tulisan saya ini, saya sekali lagi mengajak kita semua para pembaca yang budiman untuk belajar dari sekitar. Bukan bersyukur yang bertitik awal dari sebuah nyinyiran. Nyinyir melambai.