Barusan saja saya menyaksikan kembali acara Ngobam : Didi Kempot bersama Gofar Hilman di kanal youtube. Menarik untuk melihat bagaimana saya dan mungkin penonton, baik yang menonton langsung ataupun lewat youtube, sungguh histeris ketika menyanyikan lagu-lagu dari pakdhe Didi Kempot (Kempot ternyata kepanjangan dari Kelompok Pengamen Trotoar). Ada yang histeris merayakan kehilangannya dengan senandung cidro, Banyu Langit, Parangtritis, dll. Mereka seakan menumpahkan segala kenangan yang tidak mampu mereka bahasakan ke dalam nyanyian yang sungguh histeris.
Melihat itu, saya membayangkan bagaimana bisa seorang Didi Kempot yang menulis lagu cidro pada tahun 1989 masih bisa membuat histeris anak muda yang mungkin baru lahir ketika lagu cidro diciptakan? Saya sendiri masih agak histeris sekaligus kagum menyaksikan pakdhe Didi Kempot menyanyi. Apalagi di tengah gempuran grup-grup indie yang menelurkan banyak lagu tentang senja, kopi dan puisi. Kita sedang dibombardir band-band indie yang menyajikan lirik-lirik lagu puitis nan rumit untuk dinikmati. Berbeda dengan band-band indie tersebut, pakdhe Didi Kempot seakan membawa masalah yang lebih sederhana mengenai bagaimana sakitnya perpisahan di terminal dan pelabuhan. Tanpa banyak membawa kiasan yang rumit, pakdhe Didi Kempot secara magis menyihir kita semua untuk setuju "Iya, ini perasaan saya yang sebenarnya".
Lantas mengapa pakdhe Didi Kempot menjadi viral? Saya hanya sederhana menganalisa bagaimana anak muda sekarang butuh kanalisasi alias penyaluran akan kekecewaan hidup yang tidak mungkin dapat dibahasakan lagi. Mereka kehabisan bahasa sehingga di tengah tawaran band-band indie dengan kerumitan liriknya, justru pakdhe Didi Kempot pemenangnya. Ini adalah kecerdasan luar biasa seorang Didi Kempot dalam membaca melankolia dan menerjemahkannya ke dalam lirik-lirik sederhana namun magis. Lihat berapa banyak orang yang hampir menangis ketika ia menyanyikan lagu kalung emas, cidro, ataupun banyu langit. Bahkan saya juga agak percaya diri untuk mengatakan bahasa jawa mendominasi perasaan yang melankolik ini sehingga beberapa orang yang tidak tahu bahasa jawa seperti Gofar sepertinya kepo dan ingin merasakan dan merayakan melankolia ini.
Terlepas dari itu semua, saya rasa Indonesia memang negara yang sungguh unpredictable. Di tengah gempuran teknologi, isu-isu politik cebong dan kampret, isu-isu zonasi, ataupun berita tentang harga cabai dan bawang merah yang menglanglang buana, Didi Kempot tetap bisa dinikmati oleh siapapun juga, karena ia menawarkan kanalisasi histeria kita semua.
Yogyakarta, 21 juli 2019