Lawan! Lawan! Lawan!

25 0 0
                                    

Nampaknya seruan melawan ketidakadilan dan sistem kapitalisme yang dianggap biang keladi kemiskinan global sungguh sangat heroik. Banyak pula mahasiswa, yang melabeli dirinya sosialis murni dan penentang kapitalis, berdemo dan melakukan aksi untuk menuntut keadilan sosial. Semua aksi yang melawan dan seakan membela kaum yang tertindas ini memang terlihat heroik. Tapi justru disinilah saya lantas memiliki beberapa pikiran yang ingin saya bagi melalui tulisan ini. Aksi perlawanan disini saya khususkan pada aksi-aksi fisik seperti demonstrasi dan aksi turun ke jalan.

Yang pertama adalah motivasi. Apa motivasi kita semua melawan? Demi terciptanya keadilan sosialkah apa demi fantasi heroisme yang selalu ditawarkan pada setiap aksi perlawanan? Terkadang, saya hanya membayangkan dari sekian banyak mahasiswa yang melawan dan "sok kekiri-kirian", pasti ada orang dan oknum yang hanya ingin "ndompleng" pada aksi perlawanan. Bisa jadi mereka sedang mencari "muka" atau "jualan kaos dan stiker" di saat aksi perlawanan berlangsung. Toh kaos sudah menjadi alat propaganda yang pas. Disinilah mungkin para tukang sablon dan penjual kaos untung besar. Tentu mereka mengharapkan setiap hari ada aksi perlawanan sehingga setiap hari pula mereka bisa meraup keuntungan. Atau mungkin juga ada beberapa orang yang sedang mencari koneksi dan jaringan sehingga mereka butuh ikut masuk dan terjun ke dalam aksi. Siapa tahu nantinya mereka akan terhubung dengan orang-orang dari daerah lain sehingga bisa meluaskan jaringan. Di dalam aksi seperti inilah kemungkinan melebarkan sayap relasi terbuka lebar.

Kedua, saya yakin mereka yang mengutip kata-kata tokoh-tokoh "kiri" belum tentu memahami konteks tulisan itu sendiri. Saya terkadang suka geli sendiri pada orang-orang yang senang menempelkan kutipan-kutipan pemikiran para tokoh "kiri" ini tanpa paham konteks tulisan itu sendiri. Tokoh yang kerap dikutip adalah tokoh-tokoh kritis seperti Karl Marx dengan Das Kapital-nya atau tokoh seperti Tan Malaka yang dikenal dengan semangat revolusionernya. Namun amat disayangkan terkadang konteks dalam tulisan yang dikutip tidak dipahami dengan baik sehingga hanya sekadar melawan.

Minimnya bentuk aksi perlawanan yang dilakukan mahasiswa. Yang saya maksud adalah jenis aksi yang dilakukan mahasiswa sungguh tidak beragam. Mereka hanya tahu demonstrasi (unjuk rasa), Long March ataupun orasi. Saya rasa masih ada bentuk lain yang mungkin bisa dicoba sebagai bentuk perlawanan. Kita masih miskin dalam repertoar aksi perlawanan. Ya hanya itu-itu saja dan selalu ada yang nyinyir apabila satu atau dua orang tokoh publik tidak mendukung aksi perlawanan (kasus JRX vs Via Vallen). Melawan bukan berarti harus turun ke jalan. Itu bentuk yang sangat kuno. Bisa juga melawan dari sisi akademis. Membuat tulisan dan disebar. Saya rasa juga dulu intelektual Indonesia menulis dan berbagi gagasan. Tidak sekadar turun ke jalan dan mengangkat bambu runcing melawan Belanda. Bahkan dapat dikatakan bahwa gagasan lebih menakutkan bagi pihak yang berkuasa daripada sekadar aksi turun ke jalan.

Jujur, saya hanya muak dengan beberapa orang yang "melawan". Melihat kasus Jerinx SID yang mengkritik Via Vallen membuat saya tertawa terbahak-bahak. Dangdut yang dinyanyikan Via Vallen belum tentu kurang revolusioner dibanding dengan lagu yang dinyanyikan SID. Saya rasa tetap ada resistensi yang muncul dari pemaknaan lagu dangdut yang merakyat. Setidaknya dangdut ini bisa menyatukan semua orang lebih cepat dari lagu-lagu perlawanan yang dicap sebagai "lagu adiluhung" para kaum perlawanan.

Toh melawan bisa dengan cara apa saja. Yang penting adalah terus menerus merebut ruang pemaknaan yang ada di masyarakat dan jangan pernah puas dengan makna yang sudah terbentuk! Dan jangan lupa, perlawanan yang paling mutlak dimanifestasikan dalam kemandirian hidup yang berusaha tidak tergantung dengan siapapun juga.


Jogjakarta, 14 november 2018

Otak serong KananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang