Kegagalan Akademis(i)

21 0 0
                                    

Bukan. Saya tidak akan bercerita mengenai bagaimana payahnya pendidikan negeri ini. Juga bukan akan bercerita dan menumpahkan uneg-uneg tentang orang yang nilainya buruk di kelas. Tapi saya hanya sedikit berbagi kegelisahan dan refleksi mengenai pengalaman saya sebagai seorang akademisi atau gampangnya, sebagai anak sekolahan.

Kegelisahan saya muncul ketika menyadari bahwa ada perasaan yang sama di antara teman-teman muda yang sedang masuk dalam tahap penulisan akademis atau disederhanakan sebagai skripsi atau thesis atau apalah namanya. Perasaan yang muncul adalah merasa berjuang sendiri dan akhirnya tersesat dan berhenti. Padahal, mungkin saja jalannya tinggal sebentar lagi. Saya juga pernah mengalami hal ini ketika menulis skripsi. Melihat teman-teman angkatan mulai sidang satu per satu dan hilang dari peredaran adalah hal yang mengerikan untuk dibayangkan. Pada akhirnya yang saya lakukan hanya meratapi keadaan dan menyesal mengapa saya tidak berlari secepat dia atau mengapa saya punya proses yang lebih lambat dari teman-teman yang lain.

Dari pengalaman akan merasakan ditinggalkan dan sendirian inilah saya mulai gelisah. Kok bisa? Padahal, yang saya tahu seorang akademisi tentunya harus rajin berdiskusi dan mewacanakan apa yang sudah ditulisnya entah dalam kesempatan apapun. Ciri khas dari hal yang akademik adalah dapat dikritisi atau dengan kata lain dapat diperdebatkan. Buat saya sih  dunia akademik tidak ada yang absolut. Maka dari itu, tulisan akademik seharusnya bersifat menggugat apa yang sudah ada. Bukan malah mereproduksi ulang gagasan dan wacana yang ada. Saya hanya mencoba menelusuri ulang proses demi proses penulisan akademik yang saya alami. Akhirnya saya merasakan dan mencurigai bahwa apa yang kita lakukan dalam dunia akademik di Indonesia, atau setidaknya yang saya alami, masih merupakan suatu reproduksi makna dan gagasan yang sifatnya berulang dan membosankan.

Tetapi di sisi lain pun, perasaan "ditinggalkan" dan "berjuang sendirian" inilah yang menjadi pertanyaan besar saya. Kok bisa? Padahal, dalam sistem yang diterapkan pada kampus dan universitas, seorang mahasiswa sudah diberi satu pembimbing. Pertanyaan kembali muncul dalam benak saya. Bukankah rekan-rekan sesama mahasiswa lainnya juga seorang akademisi? Saya rasa, peran rekan-rekan sesama mahasiswa tidak kalah pentingnya dengan peran seorang dosen pembimbing. Adanya perasaan "berjuang sendirian" ini mengindikasikan bahwa proses penulisan akademik, yang saya amati selama ini, perlu dipertanyakan kembali. Apakah solidaritas dan kepekaan sesama akademisi sudah terbentuk? Ataukah selama ini yang terjadi adalah malah sebuah sistem "kompetisi"? Saya rasa, dunia akademik bukan melulu soal siapa yang terbaik ataupun siapa yang paling argumentatif. Tapi juga soal kesegaran ide dan membangun jaringan di dalam sesama akademisi itu sendiri. Jika kita sudah mulai membudayakan "diskusi" dalam dunia akademik, saya rasa tidak akan muncul perasaan "berjuang sendiri". Bagaimana sebenarnya seorang akademisi pada kenyataannya tidak akan bisa berjuang sendirian. Maka dari itu, perlu membentuk sebuah komunitas yang saling memberi kritik dan saran.

Apa yang saya bagikan kali ini cuma sebuah refleksi dari pengalaman "berjuang sendiri" ketika menulis tugas akhir yang berbentuk tulisan akademik. Bagaimana sebenarnya akademisi harus saling membantu untuk memberikan kritik dan dorongan bagi rekan-rekannya. Karena menurut saya, disitulah letak pedagogisnya. Proses penulisan akademik jangan sampai jatuh dalam sebuah pemahaman kompetitif yang akhirnya mendangkalkan pemaknaan mengenai proses penulisan akademik itu sendiri.

Yogyakarta, 6 desember 2018

Jogja dingin.

Otak serong KananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang