Didi Kempot

22 1 0
                                    

Beberapa waktu yang lalu, berita mengenai Didi Kempot yang sudah sahih menjadi The Godfather of the Brokenheart menjadi sesuatu yang menarik bagi saya pribadi. Jujur saja, saya adalah anak yang bertumbuh dan berkembang dengan alunan tembang campursari Lord Didi Kempot. Mulai dari lagu sewu kutho, parangtritis, terminal tirtonadi, tanjungmas ninggal janji, sampai lagu barunya banyu langit.

Awalnya lirik dari Didi Kempot sempat saya remehkan sebagai lirik yang menye dan sangat klise. Hingga hari ini saya baru menyadari bahwa Didi Kempot sungguh memainkan kata-kata yang dekat untuk menggambarkan bagaimana kesedihan itu dijalani dan dihidupi. Judul lagu Didi Kempot tidak jauh-jauh dari tempat perpisahan bagi para pasangan yang dirundung asmara. Entah itu terminal ataupun pelabuhan. Namun di balik itu, ia ingun menggambarkan bagaimana ngenteni janji adalah sebuah ibadah suci bagi para pecinta sejati.

Belum lagi lewat lagu banyu langit , Didi Kempot saya akui sebagai seorang penyair dan pujangga di zaman modern. Bayangkan, betapa susahnya menerjemahkan banyu langit ke dalam bahasa Indonesia. Banyu langit bukan hanya hujan yang jatuh ke bumi tetapi adalah sebuah harapan yang jatuh ke bumi, sebuah penantian yang berakhir, hujan di akhir musim kemarau. Galau sekaligus melegakan. Dan di dalamnya ada lirik yang begitu menyejukkan seperti :

"Udan grimis telesono klambi iki,
Jroning dodo ben ra garing ngekep janji..."

Basah, dingin, dan masih saja menanti. Lantas kurang romantis dan melankolis apa lagi Didi Kempot dalam menggambarkan bagaimana seseorang mencintai. Maka saya setuju jika Didi Kempot adalah puisi sendu itu sendiri, rerintik hujan yang jatuh dan akhirnya menabrak tanah lalu meresap ke relung hati kita masing-masing.

Otak serong KananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang