Hanya sedikit mengkhawatirkan tentang sedikitnya ruang imajinasi anak-anak. Mungkin tulisan saya ini adalah tulisan yang sangat sok tahu. Bukan karena apa-apa tapi karena saya bukan anak-anak. Jadi jelas tulisan ini tidak valid. Hanya, saya membayangkan jika saya menjadi anak-anak di jaman sekarang. Imajinasi anak-anak mungkin saja belum mendapat ruang yang cukup.
Yang pertama adalah sekolah. Sedari dini, orang tua mencari guru-guru les bagi anak-anak mereka supaya mereka bisa belajar skill tertentu. Ya saya juga setuju jikalau saja anak-anak mendapat saluran untuk mereka berkembang sedari kecil. Tapi yang perlu dilihat kembali adalah membedakan mana keinginan (bahkan ambisi) orang tua ataukah murni keinginan dari anak-anak. Ya mungkin baik jika ambisi orang tua sebagai pemantik awalnya. Tapi menurut saya, anak-anak juga dibiarkan memilih. Banyak anak-anak yang ditekan sedari dini untuk menuruti ambisi orang tuanya. Entah ingin masa depan si anak yang cerah ataupun kebanggaan orang tua akan si anak. Di sekolah secara formal pun, anak-anak juga kadang tidak mendapat ruang yang cukup. Banyak anak-anak yang tenggelam dalam mengerjakan tugas harian tanpa mampu merayakan asyiknya belajar. Banyak anak-anak yang tenggelam dalam jadwal les pelajaran dan akhirnya klenger dan tidak dapat menikmati sekolah (yang seharusnya menyenangkan).
Kedua, imajinasi anak-anak sekarang makin dijajah televisi dan youtube. Dapat dimaklumi karena saya yakin gadget berperan penting dalam perkembangan psikis anak, termasuk imajinasi. Tayangan televisi, yang katanya untuk anak, disusupi oleh imajinasi orang dewasa tentang anak. Atau bahkan lebih parahnya juga banyak isu-isu imajinasi yang menurut saya kurang pantas untuk disajikan kepada anak-anak. Misalnya saja, acara voice kids yang ternyata banyak lagu-lagu yang bertemakan orang dewasa (hubungan percintaan, kisah patah hati,dll). Saya yakin patah hati seorang anak adalah hal-hal sederhana yang belum sekompleks masalah percintaan.
Dari beberapa argumen ini, saya mengajak para pembaca juga berpikir ulang mengenai apa yang saya katakan. Belum tentu benar dan belum tentu salah. Mari mengajak anak-anak untuk semakin liar imajinasinya dan jangan mau hanya menerima tapi juga merespon imajinasi yang ditawarkan. Anak-anak pantas mendapatkan ruang yang lebih untuk berimajinasi dan membiarkan mereka berkarya dan "menabrak" ekspektasi imajinasi orang dewasa.
Yogyakarta, 23 September 1991