Angan-angan

31 2 0
                                    

Terkadang tiap malam saya selalu saja dihantui oleh rasa gelisah tentang akan menjadi apa saya kelak. Ketakutan saya jelas-jelas lebih mengarah kepada alur hidup saya yang tidak terarah dan kadang berhenti menjadi pemimpi.

Oke begini saya ceritakan. Saya adalah salah satu orang yang mungkin bisa bercerita ribuan angan-angan tetapi saya tidak bisa bercerita banyak mengenai bagaimana angan-angan saya itu bisa terwujud. Nah malam ini, justru saya ingin menuangkan segala kegalauan saya tentang angan-angan yang berhenti di alam gagasan tanpa memanifestasikan dirinya sendiri ke realitas.

Barusan saya mencoba membedah mengapa angan-angan saya ini tidak bisa direalisasikan. Dan ternyata saya menemukan beberapa kendala yang bagi saya, saya belum bisa mengatasi kendala yang ada.

Yang pertama adalah kendala lingkungan yang kadang kurang suportif. Saya harus mengakui bahwa saya tumbuh dan berkembang dengan mengikuti angan-angan dari orang tua saya. Tentu hal ini terjadi secara imajiner dan bukan seperti gambaran tentang orang tua saya yang selalu mengkekang dan memberi instruksi tentang apapun yang harus saya lakukan. Tapi yang terjadi demikian. Proses "negasi" imajiner ini terjadi sehaei-hari dan mungkin kerap tidak disadari. Sebagai contoh, orang tua saya adalah orang tua yang tidak membiarkan anaknya untuk maju sesuai pilihannya. Selalu saja ada "kekhawatiran" dan asumsi yang diberikan sebelum saya dan kakak saya melangkah. Ya mudahnya, orang tua saya selalu memberikan prediksi yang dini ketika saya dan kakak saya ingin memutuskan sesuatu. Jika ini dilakukan terus menerus, maka lambat laun yang terjadi adalah proses "negasi" imajiner yang seperti saya sebutkan tadi. Secara tidak sadar, saya lantas ketakutan dan bingung ketika ingin menyusun rencana. Lantas dapat dikatakan bahwa jika ingin melangkah maka dibutuhkan sikap "keras kepala" yang mana saya tidak punya atau belum terbiasa dengan pilihan semacam itu. Dan ini menjadi sebuah kendala bagi saya untuk melangkah.

Kedua, tidak berani untuk menjalani langkah itu sendirian. Ada ungkapan bahwa elang terbang sendiri adalah benar adanya. Dan saya yakin, seseorang harus yakin dengan langkahnya sendiri sebelum dia mengajak orang lain melangkah. Sumber daya untuk melakukan sebuah rencana pun tetap ada batasnya. Maka dari itu sebuah kenekatan diperlukan untuk mendasari sebuah langkah besar mewujudkan angan-angan.

Yang ketiga adalah kurang konsisten dalam melangkah. Saya masih harus banyak belajar mengenai konsistensi dan bertahan pada pendirian. Ini susah. Karena di zaman sekarang, mau tidak mau orang semakin ditawarkan untuk segera berbelok. Dibentuk untuk menjadi manusia yang fleksibel dan mudah "beradaptasi". Maka dari itu jika kita tidak mengontrol kemampuan "adaptif" kita, maka yang terjadi adalah kita terlepas dari angan-angan kita. Terlepas dari langkah langkah menuju manifestasi dari angan-angan. Dan jelas, proses adaptif yang berlebihan menjauhkan diri saya sendiri untuk mewujudkan angan-angan.

Nah itu semua kendala yang belum bisa saya atasi. Rasanya berat jika harus berjalan sendirian dan menjadi keras kepala di tengah minimnya sumber daya (atau saya yang belum cukup lebar membuka mata dan mulai bersyukur lantas bergerak). Bukankah manusia itu sendiri juga digerakkan oleh angan-angan dan tidak sekadar kebutuhan mendasar? Mustahil dan omong kosong rasanya ketika kita bisa menikmati rutinitas tanpa perlu berangan-angan! Ah seandainya sekolah adalah proses mewujudkan angan-angan dan bukan hanya menyerap ilmu bla bla bla bla yang membosankan. Maka mari beranjak untuk berangan-angan (ngomong sama diri sendiri)

Otak serong KananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang